; Gadis Kangkung
ya! di Taipei, kita merumuskan nasib
hingga ke bawah tanah dan lorong jantung
Musim-musim belum juga akan mengabarkan
datangnya Tiong Ciu, tapi ku tahu hujan ini, Za,
akan membawamu kembali melintasi pematang-pematang
yang berjajaran sepanjang ingatan. Tak serupa rel-rel kaku
tanpa persilangan dengan stasiun warna-warni sepanjang
kota Hsinchu hingga Taipe main station yang memuntahkan
senyap setiap kali pintu kereta terbuka dan orang-orang
bergegas melupakan deru nafas sendiri, kau pandangilah
dinding-dinding yang memajang bayangan beku itu, Za
jauh di bawah bantal tidurmu adakah katak-katak
masih berloncatan seperti dalam mozaik huruf-huruf
tanpa koma yang terpajang di papan-papan reklame
atau penunjuk arah itu?
Mendung dan kilat mulai meraih ujung kampungmu
yang menggigil kedinginan. Batang-batang kangkung
menjalar ke ubun-ubun. Perihnya terus merambati
hati. Anak-anak itu, masihkah akan bertanya kapan ibunya
pulang, Za? Sementara di beranda atau ruang tamu,
kamr tidur hingga WC, televisi dan barang imporan
mulai menjajakan lupa, membunuh waktu tanpa sedikitpun
peduli harga diri dan kesempatan. Sedang masa depan
entah di mana, entah di mana
Ya, di Formosa, Pulau hutan rawa dengan rimbun
pohon beton tanpa tulang, tempat naga-naga
saling beradu dadu dan berpijah dalam sebotol arak
hingga matahari lupa menenggelamkan diri,
akan ku bayangkan namamu terbit dari sebuah cawan
menghampiri setiap bibir dengan buaian lain
yang tak kalah syahdu dari seribu bintang
yang mengambang di jelaga malam. Meski nasib
tak menyurukkan takdir serupa Oei Hui Lan si Nyonya Semarang
atau Madame Song Mei Ling --yang berdiri angkuh di puncak suar
namun ku percaya matamu memendam riak api yang sama;
gugusan kejora berselancar, di antara kabel-kabel tanpa pintu
dan jendela, geletar nyinyir yang urung menina-bobokkan
anak-anak sesiapa hingga mereka akan terus bertanya
tentang ribuan sungai tanpa muara tempat mengalir
keringat para ibu, atau garis nasib yang tak seharusnya
berjibaku dengan keadaan.
Entahlah. Setiap kali hujan turun
namamu, Za, selalu terpercik dalam sepiku
Meski tak segerimis do’a yang kau panjatkan
ia terus meruntuki jantung, dan menyeretku
ke sebuah labirin lain, tempat bertemunya
ingatan-ingatan; sama-sama berkisah
tentang ribuan masjid yang memugar hati
atau biara bersusun
tempat bersemayamnya doksa dan harapan
tampias yang mengekalkan kenangan!