ataku mulai berkaca-kaca, menahan tetesan air yang hendak jatuh ke
pelupuknya. Meski tidak merasakan langsung, meski bukan melihat tayangan
utuh. Hanya sedikit gemuruh semangat yang bisa saya lihat dari rekaman
video yang di-download suamiku.
Sementara putri kecilku berada di barisan VIP, paling depan, di
depan laptop tua suamiku. Sembari sesekali tangannya diangkat ke atas
dan berkata, "Allahu akbar", dalam pelapalan lidahnya yang belum
sempurna. Dia mengikuti setiap takbir yang terdengar dari riuhan suara
yang memenuhi Gelora Bung Karno hari itu, dan seperti menyimak dengan
khusyu taujih Ustadz Hilmi yang lantang keluar dari speaker laptop tua
itu. Aaah gadis polos yang mungkin belum memahami setiap
untaian kata yang terucap di sana, hanya semangatnya yang dia ikuti dan
gerakan membahana yang membuatnya betah duduk di tempatnya.
Lalu mengapa Ummu Wafa menangis?
Melankolis, mungkin itu salah satu jawabannya.
Jujur, perasaanku bercampur aduk saat itu. Rasa haru menyelusup
dalam kalbu, rindu, kangen akan semangat yang bergelora dalam setiap
kumandang takbir yang terucap, dalam setiap taujih yang terdengar.
Teringat beberapa masa yang lalu, ketika taujih yang menggelorakan
jiwa kudengar langsung lewat telingaku, kurasakan auranya dan ku
melihat semangatnya. Air mata ini pun senantiasa mengiringi, aaah
entah kenapa. Jujur waktu itu aku tak menemukan alasan yang jelas akan
setiap tetesan air mata yang keluar, mengiringi semangatku dan rasa
syukurku karena diberi kesempatan untuk bisa bergerak membela agama
Alloh, insyaAlloh. Padahal kalau dipikir, heuheu.. seringnya ketika ada taujih, aku harus memakai seragam coklat itu. Bayangkan.. seorang yang berjaga tapi matanya berkaca. Heuheu semoga tak ada yang memperhatikan.
Tetesan air mata kali ini juga mengalir atas rasa syukur yang
teramat dalam. Alloh masih menjaga barisan dakwah ini, setelah berbagai
cobaan dan tiupan angin kencang menerpanya. Berbagai makar, tuduhan
dan cacian. Meskipun aku bukan siapa - siapa, hanya seonggok pasir
dalam bangunan ini, namun badai itu telah mampu membuat batinku
manangis, jiwaku terluka.
Gerbong dakwah ini bukanlah gerbong yang berisi kumpulan malaikat,
hanya manusia biasa yang berusaha memperbaiki diri. Manusia dhaif yang
penuh dengan khilaf dan salah, banyak aib yang hanya Alloh dan
dirinyalah yang mengetahui. Jangan terlalu jauh mengacungkan telunjuk
dan ujung jari, contoh terdekat adalah diri ini. Jikalau bukan Alloh
swt yang menutup aib-aibku, mungkin tak satu pun saudara yang bersedia
berkawan denganku. Dan kini, aku seorang yang penuh dosa dan kesalahan
diijinkan untuk berada dalam gerbong dakwah yang sama. Bukan untuk
menjadi sosok malaikat, tapi berjuang dan berusaha untuk menjadi hamba
yang mencintai dan dicintai oleh Alloh swt dalam ketidaksempurnaan
dirinya sebagai manusia biasa.
Manusia, ketidaksempurnaan adalah sebuah fitrah, yang membedakan
adalah usahanya untuk senantiasa memperbaiki diri dan memberikan
keta'atan pada Rabb Penggenggam Diri. Islam hadir dengan sistem yang
sempurna, sistem yang memperlakukan manusia begitu halus, santun dan
sesuai dengan kefitrahannya, untuk menjaga manusia agar tak seenaknya.
Sistem yang berusaha meminimalisir berbagai kekurangan manusia.
Begitu pula yang saya rasa dalam gerbong dakwah ini, berbagai tipe
manusia berada di dalamnya, namun satu sistem yang mengatur laju dan
geraknya, sistem Islam.
Kurang lebih 12 tahun yang lalu, aku mengenal kata dan makna dakwah.
Aku mengenal Islam yang selama 18 tahun sebelumnya hanya menjadi baju
luaranku. Tanpa kefahaman dan tanpa kecintaan... hampa ..
Dengan semangat yang maju mundur, aku bertemu dengan teman, saudara
yang mempunyai semangat yang luar biasa. Yang senantiasa menarikku
untuk setia menghadiri majlis ilmu, menambah kefahaman dan mengamalkan
apa yang diketahui. Teman teman seperjuangan yang penuh semangat dengan
segala kelebihan dan kekurangannya.
Selama perjalanan 12 tahun ini, aku bertemu dengan berbagai tipe,
karakter dan kepribadian. Membuatku makin menyadari akan keMaha Agungan
Alloh swt. Menempaku untuk semakin melapangkan hati dan belajar
memahami setiap perbedaan yang ada.
Selama bersama 12 tahun ini, tak pernah ku menemukan sosok yang
sempurna. Hanya sosok-sosok yang dengan kesabaran dan keistiqomahan
berusaha untuk menjadi hambaNya yang ta'at, dalam ketidaksempurnaannya.
Ketika perjalanan hampir menuju satu dekade, beberapa hal mulai
menelisik hati terdalam. Namun, alhamdulillah Alloh swt tetap berkenan
menjaga kefahaman, seperti dalam doaku di awal-awal perjalanan. "Yaa
Rabb, jangan sampai aku kehilangan kefahaman ini, jagalah aku agar
senantiasa berada dalam barisan ini, jangan pernah lepaskan dakwah dari
sisiku".
Saat ini, ketika badai itu datang mendera, insyaAlloh hatiku makin
kuat. Bukan karena taklid buta, tapi justru karena makin menyadari,
bahwa barisan ini tidak pernah mentaklidkan satu orang tertentu.
Barisan ini senantiasa berpegang pada satu sistem yang mulia, sistem
yang insyaAlloh akan menjaganya untuk tetap bertahan dalam setiap
cobaan.
Badai ini justru menunjukan bahwa jamaah ini memang jamaah manusia
yang berusaha untuk memperbaiki diri dan senantiasa ta'at kepadaNya.
Ada 'hukum' yang ditegakkan atas setiap kekhilafan yang terjadi. Tak
peduli setinggi apapun status orang tersebut, maka 'hukum' akan
ditegakan dengan cara yang baik dan sesuai dengan sistem Islam.
Seperti Rasulullah pernah berkata, jika Fatimah binti Muhammad yang
mencuri, maka beliaulah yang akan memotong tangannya..Allahu’alam bi
showab. (Ummu Wafa/ Islamedia.web.id)