Oleh : Paox Iben Mudhaffar
Memprihatinkan.
Hanya kata itu yang sanggup saya ucapkan ketika sebagian besar calon
gubernur NTB, termasuk incumbent--disinyalir melakukan praktik Poligami.
Bahkan salah seorang calon disinyalir memiliki istri lebih dari dua.
Jikapun ada calon yang tidak berpoligami, namun diinternl partai
pengusungnya, para kader partai ini –sebagaimana dikemukakan sang
pendiri diberbagai media--sering diasumsikan sebagai orang-orang yang
pro-poligami. Memang ada yang salah dengan Poligami?
Dalam
sejarah Islam maupun kajian fikih klasik, poligami memang memiliki
legitimasi yang cukup kuat. Meminjam istilah Derrida, hal itu seakan
telah menjadi logosentrisme: kebenaran yg terang-benderang dan tidak
bisa diperdebatkan lagi. Sebab selain mendapat legitimasi tekstual
(nash) juga mendapat dukungan secara kultural dan terus direproduksi
dalam praktik atau wacana sosial. Tapi jelas pula, dalam kehidupan
modern, praktek poligami amat problematik. Apalagi jika itu menyangkut
pejabat publik semisal calon Bupati atau Gubernur ini. Kita tidak bisa
menutup mata jika persoalan istri para pejabat adalah semata persoalan
privat, individual, yang tidak boleh diketahui oleh publik. Sebab ketika
seorang (laki-laki) menjadi pejabat biasanya secara otomatis, istrinya
juga menduduki posisi strategis dalam lembaga-lembaga publik semisal
organisasi Dharma Wanita, Tim Penggerak PKK dst. Organisasi tersebut
juga di support oleh dana pemerintah yang nota bene adalah uang publik.
So, bukankah persoalan ini layak menjadi perbincangan publik? Apalagi
seorang Istri pejabat sekelas gubernur! Biasanya istri pejabat itu juga
terlibat aktif dalam kampanye program-program pemerintah ketika suaminya
menjabat. Lihat saja foto-foto mereka di sepanjang jalan atau di depan
kantor-kantor pemerintahan.
Kemandulan Teologis
Dalam
konteks Fiqiyyah maupun diskursus tafsir keagamaan kontemporer,
mempraktekkan poligami dalam masyarakat modern sekarang ini bisa dibaca
sebagai bukti kemandulan teologis. Dari sisi historis, konteks
pembolehan poligami dalam Islam pada mulanya bertujuan justru untuk
membatasi, bukan menambah jumlah istri. Sebab, dalam masyarakat Arab
ketika itu, perempuan ibarat "obyek" yang boleh diapasajakan oleh
laki-laki. Maka banyak orang, termasuk Umar ibn al-Khatab, sebelum
menjadi muslim, tega mengubur bayinya yang terlahir perempuan. Di masa
Arab jahiliyah, orang bisa beristri berapa saja, siapa saja. Asalkan
mampu, asalkan bisa.
Kemudian Islam datang dengan
menawarkan sebuah aturan "jika terpaksa, maksimal empat". Mengapa empat?
Kajian Leonard Swidlerdalam
Women in Judaism: The Status of Women in Formative Judaism
(1976: 144-8) cukup menarik disimak. Sebagaimana bisa diduga, poligami
adalah praktek budaya yang dulunya juga lumrah di kalangan kaum Yahudi.
Dalam tradisi Yahudi, rupanya pembolehan poligami juga dibatasi sampai
maksimal empat. Agaknya, poligami sebagai model hubungan
lelaki-perempuan yang turun-temurun diwarisi dari tradisi Yahudi itu di
zaman Muhammad SAW telah berkembang demikian tak terkendali di tanah
Arab. Sehingga Al-Quran kemudian mengembalikan tradisi itu kepada batas
toleransi "maksimal empat" tersebut.
Terlepas
benar-tidaknya hal di atas, menurut hemat saya, pada dasarnya monogami
adalah bentuk hubungan sah lelaki-perempuan paling ideal dalam Islam.
Sebab kata kuncinya adalah “ADIL” . Jika kita baca kembali terutama QS
4: 3-4, dan ditegaskan lagi dalam (QS 4: 129), adil itu hampir mustahil
bisa dicapai seorang suami beristri lebih dari satu. Artinya, dengan
pesan universal yang bisa diterima pemahaman manusia dari berbagai latar
budaya dan sejarah, dengan ketentuan "maksimal empat" itu, Al-Quran
sebenarnya sedang meletakkan fondasi penting buat kesederajatan
lelaki-perempuan. Dengan "adil" sebagai hakikat pesannya, soal wujud
hubungan legal itu selanjutnya diserahkan kepada kematangan umat Islam
dalam mempraktekkannya. Tapi arahnya jelas, dari satu laki-laki dengan
jumlah istri tak terbatas, menjadi maksimal empat istri, menuju monogami
sebagai bentuk ideal.
Karena watak patriarkis yang
mengidap ketidakadilan itu, jangan lupa, dari sisi hukum, poligami juga
selalu menjadi perdebatan aktual. Ingat, betapa tidak berkenannya
Rasulullah saat Ali r.a., sang menantu, menunjukkan isyarat hendak
memadu Fatimah, putri kesayangannya. Sembari berdiri di atas mimbar,
Rasulullah berkata, "Aku tidak akan kasih izin, kecuali Ali ibn Abi
Talib terlebih dulu menceraikan anak perempuanku jika ia mau mengawini
anak-anak gadis mereka. Sebab, Fatimah adalah bagian dari tubuhku, aku
membenci apa yang dia benci untuk dilihat, dan apa yang melukainya juga
melukaiku" (
Sahih Bukhari, Vol. 7, Kitab 62, No. 157).
Sekali
lagi, jika diskusi seputar isu poligami ini ditambatkan hanya pada soal
hukum, kita tidak akan sampai ke mana-mana. Lebih-lebih menempatkannya
semata sebagai urusan pribadi. Ini adalah persoalan sosial, perkara
relasi kuasa yang timpang, masalah ketidakadilan atas kaum perempuan.
Jelas pula, status poligami mendesak untuk direvisi kedudukannya dalam
hukum Islam yang kita anut. Menggugat poligami dalam konteks masyarakat
kita bukanlah menentang ayat Tuhan, melainkan justru menerjemahkan pesan
esensial dari agama Islam: tentang keadilan. Dan perempuan, sebagai
kaum yang dilemahkan sekian lama, menurut Chandra Mohanty dalam
Feminism without Borders (2003: 236) memiliki "
potential epistemic privilege" guna mewujudkan sistem sosial yang adil bagi semua pihak.
Mengekalkan Penindasan
Sebagai
pemimpin yang dijadikan panutan banyak orang, mempraktekkan tindakan
yang dari banyak segi jelas problematik amatlah tidak mendidik. Demikian
juga yang terjadi dibumi Nusa Tenggara Barat ini. Ketika seorang
pemimpin atau calon pemimpin mempraktikkan poligami, maka ia telah
“menyakiti” sebagian besar ranah publiknya sendiri dengan menimbulkan
huru-hara pewacanaan yang kontra produktif terhadap arah pembangunan dan
cita-cita kepemimpinannya.
Ketika masyarakat, mendengar
rumor Gubernurnya yang masih muda, Tuan Guru dan “ganteng” itu kawin
lagi misalnya, publik pun—terutama ibu-ibu diperkampungan-- berekasi
cukup keras. Apa pasal? Sebab ia bukan sekedar sosok idola sebagaimana
para artis. Ia adalah sosok panutan; Muda, cerdas, berkuasa, dan layak
menjadi panutan karena predikatnya sebagai Tuan Guru. padahal itu baru
rumor(yang bersangkutan sllu menolak berkomentar soal itu). Publik pada
umumnya sangat menaruh harapan jika Gubernur NTB TGH M. Zainul Majdi
baik secara pribadi maupun sebagai tuan guru adalah sosok yang moderat
dan terbuka, karena itu ia akan memberi suri tauladan yang baik serta
“melindungi” hati para pengikutnya, terutama para ibu-ibu dan perempuan
pada umumnya dengan memberantas budaya kurang baik.
Dengan
melakukan Poligami, itu sama saja memberi anjuran dan memberi
legitimasi kepada setiap lelaki di Nusa Tenggara Barat ini untuk
melakukan praktik yang sama. Hal tersebut juga sangat kontra produktif
misalnya dengan kampanye keluarga sehat, sejahtera, yang selama ini
digembar-gemborkan pemerintahan yang dipimpinnya. Bukankah keluarga itu
merupakan pilar utama pembangunan?
Dengan melakukan
praktik poligami, sesungguhnya dia telah terjerat dalam permainan
kekuasaan patriarkhis dan mengekalkan struktur penindasan terhadap kaum
perempuan secara nyata.
Memang belum ada penelitian yang
secara rigid menyebutkan, berapa jumlah poligami yang dilakukan di NTB
ini, berapa istri-istri berikut anak-anak yang terlantar akibat praktik
“semena-mena” itu. Berapa kasus KDRT yang terjadi dalam rumahtangga yang
melakukan praktik Poligami? Apa efek sosial dan budaya dari hal ini.
Semua itu memang belum muncul kepermukaan, tetapi publik, terutama
ibu-ibu dan kaum perempuan-- tidaklah buta.
Jika kita
menerima bahwa kedudukan laki-laki dan perempuan, baik secara sosiologis
maupun teologis, memang sederajat, mari kita bersepakat pula bahwa
poligami bukanlah persoalan pribadi. Sebagai praktek sosial, ia adalah
lembaga patriarkal yang memberikan privilese kuasa bagi laki-laki
sembari menempatkan perempuan sebagai pecundang. Jangan lupa, jika
ditelusuri, nalar ini tidak berhenti di sini. Ketika asumsi "lelaki
superior, perempuan inferior" telah diterima sebagai common sense, siapa
saja yang"dilelakikan" dengan sendirinya memiliki privilese atas kuasa
dan kebenaran. Sementara itu, siapa saja yang "diperempuankan" harus
tunduk sebagai kaum lemah yang sewaktu-waktu siap sedia menjadi korban,
menjadi tumbal.
Karena itu, sesuai dengan capaian
kematangan kita dalam pemahaman atas keadilan, termasuk kesederajatan
laki-laki dan perempuan, secara sosiologis poligami tidak bisa
dibenarkan. Dalam hal ini, isyarat positif pemerintah untuk segera
memperluas cakupan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
dan Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 tentang Izin Perkawinan dan
Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil perlu mendapat dukungan luas dari
masyarakat.
Penutup
Mencermati
perkembangan perpolitikan di NTB, terutama diseputar pemilihan Gubernur
Nusa Tenggara Barat ini, saya jadi sangsi, adakah calon Gubernur yang
berpihak pada nasib kaum perempuan? Padahal merekalah jumlah penduduk
terbesar, sekaligus pemilih terbesar dan potensial yang diperebutkan
oleh para kandidat. Kondisi ini tentu sangat memprihatinkan. Wacana
peningkatan kualitas IPM yang menjadi agenda utama para kandidat,
termasuk pengentasan gizi buruk dll tentu akan mengalami hambatan yang
signifikan. Apa pasal? Sebab kekerasan struktural yang berbasis pada
pembiakan budaya patriarkhal ini akan terus berlangsung dan itu, tentu
saja akan mengesampingkan program keluarga harapan seperti
digembar-gemborkan pemerintah melalui program PKH yang sudah
berlangsung.
Saya juga tidak tahu bagaimana kesan dan
tanggapan para aktivis perempuan pada umumnya dengan fenomena ini. Namun
dari beberapa komentar di facebook, saya cukup kaget juga sebab
nampaknya sebagain mereka—terutama yang berafiliasi dengan parpol
pendukung kandidat calon gubernur justru bersikap kooperatif dengan
mendomestifikasi persoalan poligami ini sebagai ranah personal.
Wallahu’alam bi al shawwab
Mataram, 13 Feb 2013