Suatu pagi dengan langit yang nggak ada malu-malunya merekahkan kemilau surya. Ditemani dengan lalu lalang kendaraan yang saling berebut jalan, aku berusaha tetap santai dalam pekerjaan menunggu kepulangan keponakanku. Duduk di atas dipan kecil yang ada di bawah pohon "kismis" di dekat sekolah keponakanku sambil terus melemparkan wajah sok manis bagi beberapa pengendara yang sempat kukenal.
Nggak lama kemudian, datanglah seorang pria penjual koran harian. "Koran... koran... koran," ujarnya menjajakan koran jualannya. Pria itu berhenti tepat di sebelah motor matik yang terparkir di depanku. Hahay... sepertinya pria penjual koran itu terpukau dengan senyum manisku. Hiks... padahal seingatku, aku nggak melempar senyum sumringah, hanya sekadar reaksi otot bibir atas yang tertarik sedikit ke atas.
"Koran, Mbak. Ini kabar terbaru tentang desa ini lho, Mbak. Berita ini masih panas-panasnya lho," pria itu berusaha merayuku agar membeli korannya.
Reaksiku datar. Pria itu turun dari motornya, mendekatiku, lantas menjulurkan korannya padaku. Aih lagi-lagi reaksiku tetap datar dengan sedikit memicingkan sebelah alis dan bibir atas, aku menggelengkan kepala sebagai jawaban atas tawarannya. Memang belum berakhir sampai di situ. Saking datarnya aku menanggapi rayuannya, pertanyaan konyol itu pun melesat dari mulutku.
"Memangnya berita tentang apa toh, Mas?"
"Tentang warga desa ini, Mbak."
"Iya... tentang apa, Mas?"
"Tentang murid SMK teeeeeeeeeetttttt yang dipinang polisi, MbaK."
"Wew..., kabar bagus itu, Mas. Alhamdulillah masih banyak kabar bagus di desa ini."
"Lawong dipinang polisi buat dimasukin ke penjara kok bisa dikatakan bagus toh, Mbak."
"Wealah! Masnya juga sih ngejelasinnya pakai blibet segala. Memangnya anak itu kena kasus apa kok sampai dipinang polisi gitu, Mas?"
Pria penjual koran melempar senyum cibirannya sekilas sebelum akhirnya ia menjawab santai pertanyaanku itu.
"Hehehe... dua ribu, Mbak." Jawabnya slengean sambil terus berusaha menjulurkan korannya ke arahku.
"Ha? Kasus dua ribu apa maksudnya, Mas?"
"Beli koran ini dua ribu! Setelah itu Mbak akan tahu kasusnya apa."
Jiahahahaha..., akhirnya aku tercekat, mati kutu mendengar jawaban santai sekaligus mematikan akalku. Jangankan membalas ucapannya, senyum atau sekadar mencibir datar seperti sebelumnya saja rasanya susah. Hiks... perut belum terisi juga, pagi-pagi setengah siang sudah dapat sarapan senapan kata dari pria yang baru dikenal. Lagian waktu itu hanya ada uang tujuh ratus rupiah dalam jok motorku.
"Piye, Mbak? Tertarik beli?"
"Lain kali aja, Mas. Nunggu beritanya jadi dingin. Soalnya yang panas-panas bisa merusak gigi dan gusi, Mas."
"Yeeee, si Mbak. Bilang dari tadi kek. Hemmmm...." pria penjual koran melengos cepat membawa motornya menjauhi keberadanku.
Aku hanya bisa ngakak sendiri di pinggir jalan, masih untung nggak ada yang mengira aku gila. Huft... jadwal pulang sekolah keponakanku mundur hampir setengah jam. Masih setia menunggu hingga berpuluh-puluh menit setelahnya. Tetap duduk sambil menikmati lalu lalang orang di 'jalan raya mini', bersama wali murid lain yang juga bertujuan sama.