Start By Reading

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ "Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang". الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ "Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam". الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ "Maha Pemurah lagi Maha Penyayang". مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ "Yang menguasai di Hari Pembalasan". إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ "Hanya Engkaulah yang kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan". اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ "Tunjukilah kami jalan yang lurus", صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ "(yaitu) Jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat".
Friday, February 15, 2013

CAGUB KOK POLIGAMI?

0 comments


Oleh : Paox Iben Mudhaffar

Memprihatinkan. Hanya kata itu yang sanggup saya ucapkan ketika sebagian besar calon gubernur NTB, termasuk incumbent--disinyalir melakukan praktik Poligami. Bahkan salah seorang calon disinyalir memiliki istri lebih dari dua. Jikapun ada calon yang tidak berpoligami, namun diinternl partai pengusungnya, para kader partai ini –sebagaimana dikemukakan sang pendiri diberbagai media--sering diasumsikan sebagai orang-orang yang pro-poligami. Memang ada yang salah dengan Poligami?

Dalam sejarah Islam maupun kajian fikih klasik, poligami memang memiliki legitimasi yang cukup kuat. Meminjam istilah Derrida, hal itu seakan telah menjadi logosentrisme: kebenaran yg terang-benderang dan tidak bisa diperdebatkan lagi. Sebab selain mendapat legitimasi tekstual (nash) juga mendapat dukungan secara kultural dan terus direproduksi dalam praktik atau wacana sosial. Tapi jelas pula, dalam kehidupan modern, praktek poligami amat problematik. Apalagi jika itu menyangkut pejabat publik semisal calon Bupati atau Gubernur ini. Kita tidak bisa menutup mata jika persoalan istri para pejabat adalah semata persoalan privat, individual, yang tidak boleh diketahui oleh publik. Sebab ketika seorang (laki-laki) menjadi pejabat biasanya secara otomatis, istrinya juga menduduki posisi strategis dalam lembaga-lembaga publik semisal organisasi Dharma Wanita, Tim Penggerak PKK dst. Organisasi tersebut juga di support oleh dana pemerintah yang nota bene adalah uang publik. So, bukankah persoalan ini layak menjadi perbincangan publik? Apalagi seorang Istri pejabat sekelas gubernur! Biasanya istri pejabat itu juga terlibat aktif dalam kampanye program-program pemerintah ketika suaminya menjabat. Lihat saja foto-foto mereka di sepanjang jalan atau di depan kantor-kantor pemerintahan.

Kemandulan Teologis

Dalam konteks Fiqiyyah maupun diskursus tafsir keagamaan kontemporer, mempraktekkan poligami dalam masyarakat modern sekarang ini bisa dibaca sebagai bukti kemandulan teologis. Dari sisi historis, konteks pembolehan poligami dalam Islam pada mulanya bertujuan justru untuk membatasi, bukan menambah jumlah istri. Sebab, dalam masyarakat Arab ketika itu, perempuan ibarat "obyek" yang boleh diapasajakan oleh laki-laki. Maka banyak orang, termasuk Umar ibn al-Khatab, sebelum menjadi muslim, tega mengubur bayinya yang terlahir perempuan. Di masa Arab jahiliyah, orang bisa beristri berapa saja, siapa saja. Asalkan mampu, asalkan bisa.

Kemudian Islam datang dengan menawarkan sebuah aturan "jika terpaksa, maksimal empat". Mengapa empat? Kajian Leonard Swidlerdalam Women in Judaism: The Status of Women in Formative Judaism (1976: 144-8) cukup menarik disimak. Sebagaimana bisa diduga, poligami adalah praktek budaya yang dulunya juga lumrah di kalangan kaum Yahudi. Dalam tradisi Yahudi, rupanya pembolehan poligami juga dibatasi sampai maksimal empat. Agaknya, poligami sebagai model hubungan lelaki-perempuan yang turun-temurun diwarisi dari tradisi Yahudi itu di zaman Muhammad SAW telah berkembang demikian tak terkendali di tanah Arab. Sehingga Al-Quran kemudian mengembalikan tradisi itu kepada batas toleransi "maksimal empat" tersebut.

Terlepas benar-tidaknya hal di atas, menurut hemat saya, pada dasarnya monogami adalah bentuk hubungan sah lelaki-perempuan paling ideal dalam Islam. Sebab kata kuncinya adalah “ADIL” . Jika kita baca kembali terutama QS 4: 3-4, dan ditegaskan lagi dalam (QS 4: 129), adil itu hampir mustahil bisa dicapai seorang suami beristri lebih dari satu. Artinya, dengan pesan universal yang bisa diterima pemahaman manusia dari berbagai latar budaya dan sejarah, dengan ketentuan "maksimal empat" itu, Al-Quran sebenarnya sedang meletakkan fondasi penting buat kesederajatan lelaki-perempuan. Dengan "adil" sebagai hakikat pesannya, soal wujud hubungan legal itu selanjutnya diserahkan kepada kematangan umat Islam dalam mempraktekkannya. Tapi arahnya jelas, dari satu laki-laki dengan jumlah istri tak terbatas, menjadi maksimal empat istri, menuju monogami sebagai bentuk ideal.

Karena watak patriarkis yang mengidap ketidakadilan itu, jangan lupa, dari sisi hukum, poligami juga selalu menjadi perdebatan aktual. Ingat, betapa tidak berkenannya Rasulullah saat Ali r.a., sang menantu, menunjukkan isyarat hendak memadu Fatimah, putri kesayangannya. Sembari berdiri di atas mimbar, Rasulullah berkata, "Aku tidak akan kasih izin, kecuali Ali ibn Abi Talib terlebih dulu menceraikan anak perempuanku jika ia mau mengawini anak-anak gadis mereka. Sebab, Fatimah adalah bagian dari tubuhku, aku membenci apa yang dia benci untuk dilihat, dan apa yang melukainya juga melukaiku" (Sahih Bukhari, Vol. 7, Kitab 62, No. 157).

Sekali lagi, jika diskusi seputar isu poligami ini ditambatkan hanya pada soal hukum, kita tidak akan sampai ke mana-mana. Lebih-lebih menempatkannya semata sebagai urusan pribadi. Ini adalah persoalan sosial, perkara relasi kuasa yang timpang, masalah ketidakadilan atas kaum perempuan. Jelas pula, status poligami mendesak untuk direvisi kedudukannya dalam hukum Islam yang kita anut. Menggugat poligami dalam konteks masyarakat kita bukanlah menentang ayat Tuhan, melainkan justru menerjemahkan pesan esensial dari agama Islam: tentang keadilan. Dan perempuan, sebagai kaum yang dilemahkan sekian lama, menurut Chandra Mohanty dalam Feminism without Borders (2003: 236) memiliki "potential epistemic privilege" guna mewujudkan sistem sosial yang adil bagi semua pihak.

Mengekalkan Penindasan

Sebagai pemimpin yang dijadikan panutan banyak orang, mempraktekkan tindakan yang dari banyak segi jelas problematik amatlah tidak mendidik. Demikian juga yang terjadi dibumi Nusa Tenggara Barat ini. Ketika seorang pemimpin atau calon pemimpin mempraktikkan poligami, maka ia telah “menyakiti” sebagian besar ranah publiknya sendiri dengan menimbulkan huru-hara pewacanaan yang kontra produktif terhadap arah pembangunan dan cita-cita kepemimpinannya.

Ketika masyarakat, mendengar rumor Gubernurnya yang masih muda, Tuan Guru dan “ganteng” itu kawin lagi misalnya, publik pun—terutama ibu-ibu diperkampungan-- berekasi cukup keras. Apa pasal? Sebab ia bukan sekedar sosok idola sebagaimana para artis. Ia adalah sosok panutan; Muda, cerdas, berkuasa, dan layak menjadi panutan karena predikatnya sebagai Tuan Guru. padahal itu baru rumor(yang bersangkutan sllu menolak berkomentar soal itu). Publik pada umumnya sangat menaruh harapan jika Gubernur NTB TGH M. Zainul Majdi baik secara pribadi maupun sebagai tuan guru adalah sosok yang moderat dan terbuka, karena itu ia akan memberi suri tauladan yang baik serta “melindungi” hati para pengikutnya, terutama para ibu-ibu dan perempuan pada umumnya dengan memberantas budaya kurang baik.

Dengan melakukan Poligami, itu sama saja memberi anjuran dan memberi legitimasi kepada setiap lelaki di Nusa Tenggara Barat ini untuk melakukan praktik yang sama. Hal tersebut juga sangat kontra produktif misalnya dengan kampanye keluarga sehat, sejahtera, yang selama ini digembar-gemborkan pemerintahan yang dipimpinnya. Bukankah keluarga itu merupakan pilar utama pembangunan?

Dengan melakukan praktik poligami, sesungguhnya dia telah terjerat dalam permainan kekuasaan patriarkhis dan mengekalkan struktur penindasan terhadap kaum perempuan secara nyata.

Memang belum ada penelitian yang secara rigid menyebutkan, berapa jumlah poligami yang dilakukan di NTB ini, berapa istri-istri berikut anak-anak yang terlantar akibat praktik “semena-mena” itu. Berapa kasus KDRT yang terjadi dalam rumahtangga yang melakukan praktik Poligami? Apa efek sosial dan budaya dari hal ini. Semua itu memang belum muncul kepermukaan, tetapi publik, terutama ibu-ibu dan kaum perempuan-- tidaklah buta.

Jika kita menerima bahwa kedudukan laki-laki dan perempuan, baik secara sosiologis maupun teologis, memang sederajat, mari kita bersepakat pula bahwa poligami bukanlah persoalan pribadi. Sebagai praktek sosial, ia adalah lembaga patriarkal yang memberikan privilese kuasa bagi laki-laki sembari menempatkan perempuan sebagai pecundang. Jangan lupa, jika ditelusuri, nalar ini tidak berhenti di sini. Ketika asumsi "lelaki superior, perempuan inferior" telah diterima sebagai common sense, siapa saja yang"dilelakikan" dengan sendirinya memiliki privilese atas kuasa dan kebenaran. Sementara itu, siapa saja yang "diperempuankan" harus tunduk sebagai kaum lemah yang sewaktu-waktu siap sedia menjadi korban, menjadi tumbal.

Karena itu, sesuai dengan capaian kematangan kita dalam pemahaman atas keadilan, termasuk kesederajatan laki-laki dan perempuan, secara sosiologis poligami tidak bisa dibenarkan. Dalam hal ini, isyarat positif pemerintah untuk segera memperluas cakupan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil perlu mendapat dukungan luas dari masyarakat.

Penutup

Mencermati perkembangan perpolitikan di NTB, terutama diseputar pemilihan Gubernur Nusa Tenggara Barat ini, saya jadi sangsi, adakah calon Gubernur yang berpihak pada nasib kaum perempuan? Padahal merekalah jumlah penduduk terbesar, sekaligus pemilih terbesar dan potensial yang diperebutkan oleh para kandidat. Kondisi ini tentu sangat memprihatinkan. Wacana peningkatan kualitas IPM yang menjadi agenda utama para kandidat, termasuk pengentasan gizi buruk dll tentu akan mengalami hambatan yang signifikan. Apa pasal? Sebab kekerasan struktural yang berbasis pada pembiakan budaya patriarkhal ini akan terus berlangsung dan itu, tentu saja akan mengesampingkan program keluarga harapan seperti digembar-gemborkan pemerintah melalui program PKH yang sudah berlangsung.

Saya juga tidak tahu bagaimana kesan dan tanggapan para aktivis perempuan pada umumnya dengan fenomena ini. Namun dari beberapa komentar di facebook, saya cukup kaget juga sebab nampaknya sebagain mereka—terutama yang berafiliasi dengan parpol pendukung kandidat calon gubernur justru bersikap kooperatif dengan mendomestifikasi persoalan poligami ini sebagai ranah personal. Wallahu’alam bi  al shawwab

Mataram, 13 Feb 2013

Leave a Reply

DisClaimer Notes: Jika di Blog kami ditemukan kesengajaan dan atau tidak sengaja menyakiti siapa pun dan dalam hal apapun termasuk di antaranya menCopas Hak Cipta berupa Gambar, Foto, Artikel, Video, Iklan dan lain-lain, begitu pula sebaliknya. Kami mohon agar melayangkan penyampaian teguran, saran, kritik dan lain-lain. Kirim ke e-mail kami :
♥ amiodo@ymail.com atau ♥ adithabdillah@gmail.com