Budaya RIMPU (CADAR ALA BIMA) MENJADI BUDAYA ISLAMI SUKU MBOJO
Bima merupakan salah satu Kerajaan
islam tersohor di Indonesia bagian Timur. Kesohorannya hingga pernah berstatus
swapraja selama kurun waktu 5-6 tahun dan hingga kini masih didapati bukti dan
peninggalannya. Beragam tradisi dan budaya terlahir dan masih dipertahankan
rakyatnya. Salah satu yang hingga kini masih kekal bahkan terwarisi adalah
budaya rimpu, sebuah identitas kemusliman yang hingga kini nyaris kehilangan
makna.
Rimpu merupakan busana adat harian tradisional yang berkembang pada masa kesultanan, sebagai identitas bagi wanita muslim di Bima. Rimpu mulai populer sejak berdirinya Negara Islam di Bima pada 15 Rabiul awal 1050 H bertepatan dengan 5 Juli 1640.
Masuknya rimpu ke Bima amat kental dengan masuknya Islam ke Kabupaten bermotokan Maja Labo Dahu ini. Pedagang Islam yang datang ke Bima terutama wanita Arab menjadi ispirasi kuat bagi wanita Bima untuk mengidentikkan pakaian mereka dengan menggunakan rimpu.
Menurut sejarawan Bima, M. Hilir
Ismail, keberadaan rimpu juga tak lepas dari upaya pemerintah (masa Sultan
Nuruddin) untuk memanfaatkan kain sarung atau kain tenun Bima yang sudah lama
dikenal bahkan menjadi komoditi perdagangan dunia yang sangat laris sekitar
abad 13 lampau. Sebab, pada masa itu, dou mbojo memanfaatkan melimpahnya
tanaman kapas untuk dijadikan kain tenun yang menjadi komoditi perdagangan yang
terjual hingga ke negeri Cina. Sejak saat itu, semua wanita yang sudah akil
baliq diwajibkan memakai rimpu apabila hendak bepergian meninggalkan rumah dan
keluarganya untuk sesuatu urusan. Kalau tidak, berarti sudah melanggar hukum
agama dan adat pada saat itu. “Hukumannya lebih kepada hukuman moral. Orang
yang melanggar dengan sendirinya akan merasa malu”, ujarnya.
Keterangan Hilir diperkuat lagi oleh Nur Farhaty Ghani, dari Forum Perempuan (ForPuan) Bima. Menurutnya, rimpu merupakan bagian dari identitas wanita Bima pada masa Islam baru berkembang di Bima. “Zaman dulu, wanita Bima dengan bangga memakai rimpu untuk menunjukkan ke khalayak bahwa mereka sudah bisa menenun dan kain yang mereka gunakan adalah hasil karya sendiri,” paparnya. Menurutnya, memakai rimpu pada masa itu semacam show (pertunjukan). “Ini loh kain hasil tenun saya. Saya sudah bisa menenun,” contohnya.
Keeratan hubungan rimpu dengan perkembangan islam pada masa itu tampak jelas. Dari keterangan pelaku sejarah, wanita Bima yang hidup pada masa itu memandang tersingkapnya aurat mereka sebagai aib. Siapapun lelaki baik sengaja atau tidak melihat aurat mereka, pria tersebut wajib menikahinya. “Dengan tersingkapnya betis saja, wanita zaman dulu sudah merasa malu dan segera minta nikah. Mereka menganggap itu sebagai bentuk pelecehan (aib) terhadap wanita,” paparnya.
Rimpu merupakan busana yang terbuat
dari dua lembar sarung yang bertujuan untuk menutup seluruh bagian tubuh. Satu
lembar untuk mernutup kepala, satu lembar lagi sebagai pengganti rok. Sesuai
penggunaannya, rimpu bagi kaum wanita di Bima dibedakan sesuai status. Bagi
gadis, memakai rimpu mpida—yang artinya seluruh anggota badan terselubung kain
sarung dan hanya mata yang dibiarkan terbuka. Ini sama saja dengan penggunaan
cadar pada kaum wanita muslim.
Caranya, sarung yang ada dililit mengikuti arah
kepala dan muka kemudian menyisakan ruang terbuka pada bagian mata. Sedangkan
bagi kaum wanita yang telah bersuami memakai rimpu colo. Dimana bagian muka
semua terbuka. Caranya pun hampir sama. Sedangkan untuk membuat rok, sarung
yang ada cukup dililitkan pada bagian perut dan membentuknya seperti rok dan
kemudian mentangkupkan pada bagian kanan dan kiri pinggang.
Adanya perbedaan penggunaan rimpu antara yang masih gadis dengan yang telah bersuami, secara tidak langsung menjelaskan pada masyarakat terutama kaum pria tentang status wanita pada zaman itu. Bagi kaum pria terutama yang masih lajang, melihat mereka yang mengenakan rimpu mpida merupakan pertanda baik. Apalagi, jika pria lajang tersebut sudah berkeinginan untuk segera berumah tangga. Dengan sendirinya, pria-pria lajang akan mencari tau keberadaan gadis incarannya dari sarung yang dikenakannya.
Seiring perkembangan zaman, keberadaan rimpu hampir terlupakan. Malah, beberapa
tahun terakhir, sebagian besar masyarakat Bima yang beragama Islam beralih
mengenakan jilbab dengan trend mode yang bermunculan. Parahnya,
generasi-generasi sekarang sudah banyak yang tak mengenal rimpu. Kalaupun ada,
mereka tak mengerti cara penggunaannya. Wanita Bima masa kini menganggap orang
yang mengenakan rimpu sebagai wanita kolot dan kampungan.
Saat ini, wanita Bima yang mengenakan Rimpu masih bisa ditemukan di daerah-daerah seperti di Kecamatan Wawo, Sape, Lambitu, Wilayah Kae (Palibelo, Belo, Woha dan Monta), juga di Kecamatan Sanggar dan Tambora Kabupaten Bima.
Saat ini, wanita Bima yang mengenakan Rimpu masih bisa ditemukan di daerah-daerah seperti di Kecamatan Wawo, Sape, Lambitu, Wilayah Kae (Palibelo, Belo, Woha dan Monta), juga di Kecamatan Sanggar dan Tambora Kabupaten Bima.
Tidak ada alasan untuk tidak melestarikan budaya rimpu ini dan sudah sepatutnya ada sebuah kebijakan yang menunjang pelestariannya. Pemerintah Bima seharusnya mulai memikirkan upaya teresbut, paling tidak sebuah kebijakan pada hari tertentu agar wanita Bima mengenakan busana harian Rimpu patut dipertimbangkan sehingga berdampak pula pada peningkatan pendapatan sektor industri rumahan khususnya tenunan tradisional Bima.