(by : Akhi Dirman Al-Amin)
Buku itu masih kupegang erat dengan deburan di dada yang tanpa henti. Kubaca berkali-kali hingga terasa ada yang luruh di jiwa; sebuah rasa yang mungkin bernama penyesalan tanpa ujung, atau keikhlasan yang seharusnya tak lepas dari hati.
“Don’t Cry, Ketika Mencintai, Tak Bisa Menikahi”
Sebab air matamu seharusnya tak jatuh begitu saja
“Don’t Cry, Ketika Mencintai, Tak Bisa Menikahi”
“Berdoalah kepadaKu, niscaya akan Kuperkenankan bagimu” (QS: Al-Mu’min 60)
“Don’t Cry, Ketika Mencintai, Tak Bisa Menikahi”
Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar dan memberinya rezeki dari arah yang tak disangka-sangkanya. Dan barang siapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan baginya keperluannya” (QS: At-Thalaq 2-3)
“Don’t Cry, Ketika Mencintai, Tak Bisa Menikahi”
Kali ini, tangisku benar-benar luruh di atas sajadahku untuk sebuah cerita yang kurangkai dengan sepenuh do’a. ‘Allah lebih tahu yang terbaik, Dirman… bersabarlah….”
* * *
Sebut saja namanya Cinta, setidaknya ia terlahir dari buah cinta Allah yang ‘menitipkannya’ pada sepasang suami istri yang juga penuh cinta.
Banyak sahabatku sesama aktivis yang bilang ia cantik, tapi bagiku tak ada yang terlalu istimewa padanya. Wajahnya memang ayu, setidaknya kedua orang tuanya yang berasal dari pulau Jawa mewariskan padanya wajah ayu dengan tutur kata yang selembut sutra. Dan hey… sejak kapan kau memperhatikan suaranya yang lemah lembut, dirman?!
Entahlah!
Ini terjadi ketika salah sepupuku, Helmy, memberondongku dengan sejuta kalimat yang membuat hatiku tak menentu ketika ia pulang sekolah (waktu itu, Cinta masih kelas III SMU, sekelas dengan Helmy)
“Gawat bang… tau Cinta kan?! Anak Remaja Masjid tuh!”
Ada apa ini?!
“Dia mau ‘ditembak’ oleh anak – anak yang nggak bener di sekolahan. Aduh… dia kan baik banget bang!”
Lho?! Kok… nyambung banget. Hehehe…
“Pokoknya gini deh bang. Cinta itu cocoknya sama abang. Gimana kalau abang tembak dia?!”
Aku tersenyum. Hampir tertawa. Kuraba jidatnya. Aduh… mungkin adikku tersayang lagi demam. Hehehe…
“Woy…” Helmy menepis tanganku di jidatnya. “Abang tau nggak sih, Cinta sering cerita tenatng abang di sekolahan. Kayaknya dia naksir sama abang. Tiap hari, kalo dia lagi cerita – cerita ama adek, selalu ceritanya abang melulu. Katanya dia suka baca cerpen-cerpen abanglah, inilah… pokoke abang tembak ya. Please….!!!”
Dan entahlah… malam itu, tidurku menjadi tak nyenyak. Wajah itu membayang tiba – tiba. Benarkah Cinta… Ia yang terlihat nyaris sempurna, dengan jilbab panjangnya yang anggun. Benarkah ini ya Allah…
Dan entah bagaimana awalnya, kuterima ‘tantangan’ itu dengan hati berdebar.
“JIka abang nggak berani ungkapin langsung, biar Helmy yang nyampaein. Atau lewat telpon aja. Bla bla bla….”
Aku seperti anak kecil sore itu, menerima pelajaran dari guru kecilku yang kenyang pengalaman ‘menembak cewek’. Dan aku me-deal-kan opsi kedua; telpon!
Dengan hati berdebar kutelpon dia. Entah, ketika mendengar suaranya di telpon, aku jadi semakin kebat kebit dengan suaranya yang lembut. Mengapa aku baru menyadarinya?!
Dan, sejak sore itu, kami JADIAN!
“Kita akan tetap menjaga sikap. Jangan sampai kita berlebihan, karena bagaimapaun kita aktivis masjid”
Itu komitmen kami. Komitmen yang akhirnya luntur seiring waktu. Keikhlasan menjalani aktivitaspun menjadi berkurang. Entah, dalam hatiku ada rasa kecewa ketika dalam kegitan yang aku ikuti, dia tiba–tiba berhalangan hadir. Ibadahpun menjadi kering kerontang.
Mengapa?!
Ya, sejuta mengapa hadir di jiwa. Lebih–lebih ketika di beberapa kesempatan aku menghadiri kajian tentang Ghodul Basyar. Astagfirullah… seolah ada beribu pasang mata yang memasung langkahku. Beribu pasang mata yang menghujam jantungku dan membuatku seolah tak mampu berkutik.
Allahu… ampuni hamba…
Maka, sehelai surat yang tertulis atas nama cinta itupun kukirim padanya….
* * *
Ukhti…,
Setiap kali menatap wajahmu, kau tahu?! Aku seperti melihat rembulan yang bulat sempurna memancarkan cahaya bagi gelapnya malam yang pekat. Terlebih jilbab panjang yang menutupi rambutmu, semakin memancarkan aura islam yang begitu indah terpancar dalam dirimu.
Dan tak akan ada habis-habisnya kata – kata pujian yang terlontar padamu. Matamu yang sebening embun itupun selalu kau tundukkan agar tak tampak lintasan hati.
Sungguh, Ukhti, bukan untuk memuji jika kukatakan keterusterangan ini padamu, tapi lebih untuk meyakinkanmu, bahwa engkaulah satu dari sedikit cahaya yang diciptakan Allah untuk menerangi dunia yang penuh dusta dan kemaksiatan ini.
Tidakkah kau tersanjung, atas rasa cinta-Nya yang demikian besar padamu?!
Ukhti…,
Kau tahu?! Tidak semua wanita dilimpahi-Nya dengan hidayah dan kekuatan iman sepertimu. Allah adalah sahabat bagi mereka yang beriman. Dia membawa mereka dari kegelapan menuju cahaya. (QS. Al-Baqarah : 257)
Lihatlah, Ukhti. Lihatlah di sekitar kita saja, tak perlu kau layangkan pandang untuk melihat jauh ke Jakarta, dimana akan kau temukan artis-artis yang mempertontonkan aurat hanya untuk meraih kemegahan dunia. Ada juga wanita – wanita yang menjual diri hanya untuk selembar kesenangan sesaat. Naudzubillah min dzalik…
Sekali lagi, tak perlu melihat jauh-jauh, Ukhti. Ada beberapa gadis muda seusiamu yang rela membuka jilbab hanya untuk mendapatkan peran kecil dalam pementasan drama yang hanya ditonton oleh orang-orang sekampung.
“Barangkali sikap artis-artis itu bisa dimaklumi…” Ujar seorang teman dengan nada getir.
Tapi, semua itu tak pantas dimaklumi, bukan?! Tak bisa! Karena semua itu telah melanggar batas-batas yang syar’i. Bahwa selayaknya seorang wanita mempertahankan izzah mereka.
Engkau sependapat denganku, bukan?!
Kadangkala, aku ingin marah, Ukhti. Ingin sekali aku marah, karena mereka seperti mempermainkan akidah islam yang begitu mulia.
Dan Ukhti, cobalah selami hubungan kita selama ini. Terus terang, Ukhti, aku merasa sangat berdosa padamu, lebih-lebih pada Allah. Kita berpacaran, padahal kita sepenuhnya sadar, bahwa dalam Islam tak ada istilah pacaran. Aku rasa, engkapun telah mengerti hal itu dan tak perlu kujelaskan lagi, bukan?!
Maka, bukan untuk menyakiti hatimu, jika aku katakan; relakanlah aku menjadi Ikhwan! Sebab, sudah saatnya bagi kita untuk membersihkan hati kita dari cinta semu yang penuh virus dan semoga cinta tertinggi kita hanya untuk Allah, sebab hanya ialah yang patut dicintai.
***
Selesai sampai di situkah?!
Aku menangis sepanjang malam ketika surat itu sampai di tangannya. Sms-nya pun mampir seolah berondongan peluru di inboks hpku. Berjuta mengapa yang tak ku tahu harus dijawab apa.
Di beberapa acara yang kami gelar, jarang kulihat lagi wajahnya. Ia seolah menghilang dari kegiatan – kegiatan yang biasanya ia jalani dengan senyum. Padahal aku begitu ingin meminta maaf padanya.
Ah, andai saja ia tahu. Aku hampir ‘sekarat’ karena begitu ingin membunuh semua wajah Cinta dihatiku. Kubakar semua foto–foto dan benda–benda kenangan yang akan membawaku padanya. Aku semakin tenggelam dalam berbagai kegiatan kemasyarakatan.
Sampai akhirnya, ia tamat kuliah dan mengajar di sebuah TK di kota Bima, sedangkan akupun telah mengabdi di sebuah SMA. Entah, pertemuan kembali dalam sebuah organisasi yang sama seperti sewaktu kami remaja menghadirkan kembali virus merah jambu yang dulu pernah bersemi, sekalipun –tentu saja- kali ini aku bertekad tak akan pacaran, tapi ingin menjalin hubungan yang lebih dekat; menikah!
Sampai akhirnya kutemukan nama cinta dalam selembar kertas yang dikirim untukku; undangan pernikahannya, yang membuat aku berkeping – keping dan tak menentu.
Allahu… aku menangis untuk banyak hal. Untuk hati yang semakin terkotori nafsu dunia. Untuk lubang yang selalu di situlah aku jatuh berulang – ulang.
“Bacalah buku ini. Semoga sedikit menteramkan hatimu…” Ujar adikku, memberikan buku itu padaku, Don’t Cry, Ketika Mencintai, Tak Bisa Menikahi karya Fadhlan Al Ikhwani.
Awalnya tak kuhiraukan. Hatiku sibuk dengan berbagai pertanyaan; apa yang kurang padaku, Allah… sehingga tidak kau ciptakan dia untuk hamba? Bukankah kau tahu, betapa hamba mencintainya? Bukankah cintaku betul-betul tulus dan murni?!
Dan membuka lembar demi lembar buku itu, ada perasaan yang merasuk ke jantungku. Sebuah penyesalan dan semangat untuk bangkit, karena tak seharusnya aku larut dalam kesedihan yang panjang. Allah tau yang terbaik. Allah tengah menyiapkan seorang bidadari terindah untukku yang bersamanya akan aku arungi kehidupan. Allah tahu yang terbaik. Allah maha tau…
“Don’t Cry, Ketika Mencintai, Tak Bisa Menikahi”
Karena di situlah engkau belajar untuk menjadi lebih baik
Hingga Allah menyiapkan yang terbaik juga untukmu
Di mata-Nya yang maha sempourna…***