Oleh: Reza Ageung
“Jika hendak mengenal orang berbangsa
lihat kepada budi dan bahasa”
(gurindam Raja Ali Haji)
DALAM konteks nation building, bahasa memainkan peran yang amat penting di samping faktor kesatuan geografis dan ras/etnik. Misalnya, China yang terbentuk atas dataran yang luas itu disatukan oleh bahasa mandarin. Mustafa Kemal, ketika ia memulai upaya menegaskan identitas nasional bangsa Turki, mengganti bahasa Arab dengan bahasa Turki dan betul-betul men-turki-kan penggunaan bahasa. Bahkan secara ekstrem ia melarang azan dalam bahasa Arab, bahasa yang membuat setiap bangsa muslim penggunanya merasa menjadi bagian dari nation Arab walaupun sebenarnya bukan orang Arab. Demikian pula, dalam rangka membentuk nasionalisme Indonesia, ditegaskanlah bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan pada momen Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. Bahasa Indonesia menjadi semacam prasyarat bagi keanggotaan nation Indonesia.
Dengan ditegaskannya bahasa Melayu/Indonesia sebagai bahasa persatuan, maka ruang lingkup nation indonesia mencakup setiap wilayah yang memakai atau familiar dengan bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar (lingua franca) di samping bahasa ibunya. Secara kebetulan, pengguna bahasa tersebut berada para teritori yang persis sama dengan teritori Hindia Belanda sepanjang masa kolonialisme. Maka, ketika Indonesia merdeka dan terbentuk nation Indonesia berdasarkan anasir-anasir yang disepakati dalam Sumpah Pemuda, negara republik baru lahir mewarisi persis bekas batas-batas administrasi Hindia Belanda.
Namun ada kontradiksi-kontradiksi yang entah disadari atau tidak, lahir dalam penggunaan bahasa Indonesia ini. Bahasa Indonesia adalah adaptasi bahasa Melayu, maka boleh dikatakan bahwa bangsa Indonesia ini menggunakan bahasa Melayu. Bahkan, nama Melayu itu sendiri lebih dulu lahir daripada nama Indonesia, dengan demikian menamakan bahasa ini dengan bahasa Melayu tentu lebih genuin, merujuk kepada rumpun bangsa Melayu. Bangsa Melayu bukan saja orang Indonesia, melainkan tentu saja bangsa tetangga, Malaysia dan bahkan, menurut Prof. Dr. Datuk Zainal Kling, mencakup pula Mindanao-Luzon dan Champa.
Dengan logika tersebut, seharusnya nation yang lahir adalah nation Melayu dan ruang cakupannya bukanlah orang Indonesia semata melainkan juga bangsa-bangsa lain pengguna bahasa ini, setidaknya Malaysia. Namun, fakta yang terjadi ada perbedaan dan bahkan menjurus kepada konfrontasi antar dua entitas yang seharusnya satu bangsa itu.
Konflik yang termasuk paling awal adalah ketika pada tahun 1961 Presiden Sokarno menentang keras pembentukan Federasi Malaysia oleh Inggris yang memasukkan Kalimantan Utara sebagai bagian wilayahnya. Tahun 1963, sang Penyambung Lidah Rakyat itu pun mengumandangkan seruan masyhurnya “ganyang Malaysia”. Tahun 1969, pemerintah Indonesia menolak tegas klaim Malaysia atas pulau Simpadan, Ligitan dan Batu Puteh.
Sengketa Blok Ambalat berawal pada tahun 1979 dan sempat memanas pada tahun 2005 yang lalu. Di tahun-tahun belakangan, gesekan antara dua negara serumpun itu berkisar pada isu perlakuan TKI/TKW dan klaim kesenian daerah.
Meskipun tidak pernah berujung pada perang frontal, berulangnya konflik antara dua bangsa itu menunjukkan adanya perbedaan yang lebih disebabkan oleh batas geopolitis dibandingkan perbedaan bahasa, sejarah dan agama. Justru dalam ketiga faktor terakhir itu kedua bangsa menemui kesamaan yang hampir identik : bahasa melayu, sejarah kesultanan Islam dan agama Islam. Adapun batas geopolitis adalah warisan penjahahan yang tercipta akibat Melayu dipecah oleh dua kolonialis: Belanda di Indonesia dan Inggris di Malaysia. Dengan kata lain, adanya entitas “Bangsa Indonesia” dan “Bangsa Malaysia” tidak lain adalah warisan penjajah.
Bahasa Melayu dan Islam
Kontradiksi kedua dalam penggunaan Bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan adalah penyelewengan terhadap kandungan genuin bahasa tersebut. Penggunaan Bahasa Melayu kini tidak lagi terasa sebagai penggunaan bahasa Islam, bahkan sastra-sastra Melayu (dan Indonesia) hari ini sangat langka berakar pada nilai sastsra dan budaya Islam. Apalagi, dengan penetrasi westernisasi yang masif, Bahasa Melayu/Indonesia kini dalam konteks ilmu pengetahuan menjadi berfungsi tidak ubahnya sekedar translator bagi bahasa asing yang membawa nilai-nilai Barat yang berakar dari worldview Barat. Bahasa Melayu seharusnya menjadi cermin dan mempengaruhi alam pikiran penggunanya menjadi beralam-pikir Islam, namun alam pikiran umum orang Indonesia tidaklah berdasar worldview Islam.
Mungkin pembaca bertanya-tanya: mengapa dapat disimpulkan ada kontradiksi sebagaimana dijelaskan di atas Memangnya Bahasa Melayu itu ada kaitannya dengan agama Islam? Dengan penuh rasa hormat, penulis menyayangkan keterlupaan kita, Bangsa Melayu, akan sejarah besar bangsa Islam ini.
Sejak abad ke-12, di Melayu berjaya Kesultanan Pasai yang perlahan menggerogoti kedigdayaan Sriwijaya, pendahulu tahta Melayu dari kalangan Budha. Kesultanan ini beradaulat di jalur perdagangan yang termasuk paling penting di dunia. Bahkan, menurut Syed Naquib al-Attas dan beberapa sejarawan lain, Islam sudah masuk ke Indonesia pada masa Khulafaur-Rasyidin pada abad ke-7 lewat tangan dan lisan para ‘misionaris Islam’ yang handal. Dengan demikian, proses Islamisasi Nusantara—yaitu tanah dan air Melayu—berjalan secara sistematis.
Tidak dapat dipungkiri bahwa proses Islamisasi akan juga merambah aspek bahasa. Maka, al-Attas sangat meyakini adanya islamisasi bahasa Melayu sejak berabad lampau seiring islamisasi budaya Melayu. Dalam bukunya “Islam dalam Sejarah Kebudayaan Melayu”, al-Attas menulis;
“Salah satu kejadian baru yang terpenting mengenai kebudayaan, yang dengan secara langsung digerakkan oleh proses sejarah kebudayaan Islam adalah penyebaran bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar, bukan sahaja dalam kesusasteraan epik dan roman, akan tetapi –lebih penting– dalam pembicaraan falsafah. Penggunaan bahasa Melayu sebagai bahasa kesusasteraan falsafah Islam di kepulauan Melayu-Indonesia menambah serta meninggikan perbendaharaan katanya dan istilah-istilah khususnya dan merupakan salah satu faktor terutama yang menjunjungnya ke peringkat bahasa sastera yang bersifat rasional, yang akhirnya berdaya serta sanggup menggulingkan kedaulatan bahasa Jawa sebagai bahasa sastera Melayu-Indonesia.”
Itulah sebabnya Bahasa Melayu mengandung banyak kosakata serapan dari Bahasa Arab. Bahkan, oleh Direktur Pendidikan Tinggi Islam Departemen Agama RI (2009), Machasin, mengatakan, Bahasa Melayu disejajarkan dengan Urdu dan Turki dalam hal banyaknya keterpengaruhan Bahasa Arab, yaitu kisaran 40%-60% dari seluruh kosakata. Ini terlihat dari penggunaan bahasa ini dalam sastra-sastra dan karya tulis di abad-abad kejayaan Islam Melayu. Masih menurut al-Attas, para sastrawan dan penulis Islam-Melayu handal pada masa itulah yang menjadi pelopor kesusastraan Melayu, seperti Hamzah Fansuri, Abdul Rauf Singkel, Syamsuddin Pasai dan Nuruddin ar-Raniry. Nama terakhir adalah ulama penasehat kesultanan Aceh pada masa Sultan Iskandar II, penulis kitab Bustan as-Salatin.
Selain maraknya karya tulis dan sastra bernapaskan Islam, juga berkembang jenis huruf baru, yaitu huruf Melayu-Arab yang menggantikan dominasi huruf palawa-sansekerta pada bahasa Melayu.
Kini rasa Islam pada bahasa Melayu hampir hilang, menunjukkan adanya sekularisasi bahasa melayu dan tergantikannya secara radikal worldview Islam—yang mana bahasa melayu menjadi pengantarnya semula—dengan worldview Barat dalam asas bahasa ini. Tentu saja, sekularisasi ini tidak lepas dari pengaruh kolonialisme yang sekian lama di tanah Melayu, di samping faktor internal umat Islam sendiri yang perlahan melemah kadar kepahamannya akan agama.
Mengislamkan Kembali Bahasa Melayu
Karena bahasa adalah pembentuk alam pikiran, anasir peradaban dan menjadi pengantar sampainya gagasan-gagasan, maka Islamisasi kembali bahasa Melayu sangat diperlukan dalam rangka membangun kembali peradaban Islam. Namun, dalam upaya tersebut, dua pertanyaan mestilah dijawab oleh para intelektual muslim yang hendak berjuang di front tersebut :
Pertama, dari mana kita memulai Islamisasi bahasa melayu tersebut? Apakah dari penulisan kembali atau re-sosialisasi karya-karya sastrawan Melayu-Islam tempo dulu, atau menggalakkan kembali penulisan “sastra Islam”, ataukah perlahan mengganti istilah-istilah terentu dengan istilah lain yang bermuatan Islam?
Kedua, bagaimana kita memposisikan Bahasa Melayu terhadap Bahasa Arab? Sebagaimana menjadi mafhum am kebanyakan Muslim, Bahasa Arab telah menempati posisi primer dalam Islam, karena lewat bahasa inilah al-Qur’an dan Hadits disampaikan, dan kitab-kitab ulama rujukan ditulis. Oleh karena itu, proses penyebaran Bahasa Arab ke luar non Arab selalu seiring sejalan dengan proses islamisasi, yang akhirnya memacu lahirnya karya-karya kebangkitan dalam peradaban besar Islam dari bangsa-bangsa non-arab. Maka, sebagaimana ditulis Taqiyuddin an-Nabhani, mundurnya umat Islam hari ini salah satunya diakibatkan oleh terlupakannya Bahasa Arab.
Oleh karena itu, jika Bahasa Melayu hendak dijadikan kembali bahasa perekat bangsa Muslim Melayu dan sekaligus Bahasa Islam, maka posisi Bahasa Arab harus jelas. Setidaknya, ia dijadikan bahasa nomor satu atau nomor dua?
Menurut hemat penulis, pertama, islamisasi bahasa berlangsung sebagai konsekuensi logis dari penanaman worldview Islam. Dahulu kala pun Bahasa Arab bukanlah Bahasa Islam, namun penetrasi worldview yang intens lewat dakwah dan juga perombakan makna istilah-istilah Arab dalam lembaran-lembaran al-Qur’an, telah mengubah secara radikal fungsi Bahasa Arab menjadi Bahasa Islam. Oleh karena itu, Bahasa Melayu hanya bisa dislamkan kembali lewat menguatkan worldview Islam di kalangan Bangsa Melayu-Islam dengan jalan dakwah. Hal ini berbanding lurus dengan dan dipengaruhi oleh kemajuan di front lain kebangkitan umat, seperti pendidikan, politik, dan sosial.
Kedua, Bahasa Arab mestilah menempati posisi pertama dalam pengantar Islam. Amat sulit untuk menganggap bahwa para ulama Melayu-Islam masa lalu itu tidak memahami Bahasa Arab sementara pada saat yang sama mereka menjadi faqih fi ad-diin (pakar dalam agama), dan tafaqquh fi ad-diin memerlukan pengetahuan Bahasa Arab yang memadai. Artinya, Bahasa Arab tentu dikuasi terlebih dahulu oleh para ulama itu yang datang berdakwah ke Nusantara. Dalam pada ini, posisi Bahasa Melayu dan islamisasinya dapat dipandang sebagai jembatan gagasan antara dakwah Islam dengan alam pikir orang Melayu. Maka dalam hal ini penulis menyepakati pandangan Dr Adian Husaini yang menyampaikan bahwa bahasa kedua yang harus dikuasai oleh umat Islam di negeri ini setelah Bahasa Arab adalah Bahasa Melayu, dengan menggaris bawahi kata ‘kedua’ dan ‘setelah’.
Dengan demikian, bahasa Melayu akan menjadi bahasa lokal Nusantara setelah Bahasa Arab, sebagaima Bahasa Persia di kekhalifahan Abassiyah dan Bahasa Turki di kekhalifahan Utsmaniyah.
Memetakan Masa Depan
Kembali ke suasana Sumpah Pemuda, setelah kita memahami kaitan antara Bahasa Melayu dengan Islam dan sejarah, maka arti nasionalisme kita menjadi absurd dan tidak begitu penting lagi. Apa artinya nasionalisme jika dua ‘bangsa’ yang berbahasa dan beragama sama dipaksa untuk bercerai dan berpisah dapur hanya karena garis administratif warisan kolonialis?
Nasionalisme yang absurd inilah masalah kita sebenarnya, yang membuyarkan kekuatan besar umat Islam di hadapan bangsa-bangsa asing yang sedang menjajah kita secara politik dan ekonomi, karena membuat sekat antar bangsa-bangsa Muslim. Padahal tanah air Melayu atau Nusantara ini memiliki potensi geografis, demografis dan kekayaan alam yang luar biasa.
Oleh karenanya, jika islamisasi bahasa Melayu dilakukan kembali, ditambah faktor kesatuan agama dan geografis, bukan mustahil umat Islam Melayu kembali bersatu dan digdaya sebagaimana masa kesultanan-kesultanan dahulu yang perkasa di darat dan di laut dalam mengusir kekuatan imperialisme dan kolonialisme—yang kini berubah wajah menjadi westernisasi, liberalisme dan kapitalisme.*
Penulis adalah pemerhati masalah keislaman