Siapa Lagi diIndonesia Masih Berjiwa Nasionalis?
Jakarta (voa-islam.com) Mungkin nasionalisme hanya tinggal teriakan kosong. Nasionalisme sudah terkubur di dasar laut. Di dasar laut kehidupan modern, yang sudah sangat mengacu kepada kehidupan materialisme.Bangsa Indonesia sudah menjadi sangat sekuler. Tidak ada lagi bau nasionalisme, khususnya dalam kehidupan bangsa ini. Idiom dan simbol nasionalisme sudah terkikis. Dari hari ke hari. Tak ada lagi yang tersisa.
Di zaman Bung Karno masih hidup, dia melarang musik "ngak-ngik-ngok", yang dinyanyikan oleh Koes Plus yang dianggap Barat, yang sangat merusak sendi-sendi nasionalisme. Bung Karno selalu diidentikkan sebagai seorang nasionalis. Soekarno menjadi pendiri PNI (Partai Nasionalis Indonesia).
Soekarno juga dianggap sebagai "bapak nasionalisme". Ideolog marhaenisme di Indonesia, yang merupakan ideologi sosialisme, komunisme, dan nasionalisme, kemudian diaduk-aduk menjadi marhaenisme (kerakyatan), yang kemudian lebih dekat dengan komunisme.
Memang, semua menjadi fakta sejarah, Soekarno bukan lagi menjadi seorang nasionalis, tetapi sudah menjadi tokoh "komunis", yang sumber ajaran berupa marhaenisme. Sekalipun, Bung Karno pernah melarang budaya "manikebu" (manifesto kebudayaan), yang dianggap bentuk penyusupan budaya Barat, ke dalam budaya nasional, yang sangat merusak.
Karena itu, Soekarno demi memurnikan nasionalisme, melarang budaya "manikebu" itu. Bahkan, Soekarno termasuk pernah juga melarang pemusik seperti Koes Plus, yang dianggap penyebar manikebu.
Namun, tentu yang paling pokok, hari ini, semua pemimpin yang mengaku sebagai nasionalis, sudah tidak ada lagi memililki jiwa dan rasa nasionalisme. Mereka berbicara di berbagai forum dan membuat pernyataan tentang nasionalisme, tetapi mereka tidak lagi memiliki jiwa nasionalis.
Rasa cinta terhadap tanah air, akhirnya hanya menjadi slogan kosong belaka. Sejatinya mereka yang sering berbicara tentang kepentingan nasional, mereka hanyalah para pengkhianat dan penjual negara dan bangsa.
Sejak awal kemerdekaan, bagaimana mereka yang disebut sebagai tokoh-tokoh nasional, hanya bisa bertekuk lutut dengan para penjajah, seperti mereka menerima berbagai perjanjian, yang akhirnya negara Indonesia, kemudian dikota hanya ada di Yogyakarta.
Masih lebih baik Kartosuwiryo, yang menolak perjanjian Renville dan bersikukuh menolak hijrah ke Yogyakarta, dan terus melawan Belanda. Kartosuwirjolah yang sebenarnya seorang tokoh yang sangat cinta terhadap tanah air. Meskipun, sesudah kemerdekaan Kartosuwirjo, ditangkap dan dihukum mati.
Ini semua karena para pemimpin Indonesia yang disebuat sebagai seorang nasionalis, bersedia berunding dengan penjajah, dan kemudian mereka menyerahkan Republik ini, dan hanya tinggal Yogyakarta, yang dipertahankannya.
Di Orde Baru dibawah Jenderal Soeharto, negara Indonesia lebih terpuruk lagi, di mana Soeharto, awal pemerintahan sudah memberikan upeti atau sesaji kepada Barat, di mana tambang emas PT Free Port, diserahkan kepada Mc Moran, yang kemudian mengeduk tambang emas, dan kemudian dibawa ke Amerika.
Namun, sejatinya yang diberikan oleh Soeharto itu, bukan hanya emas, tetapi wala' (loyalitas) Indonesia diserahkan kepada Amerika Serikat. Jika Indonesia pernah di jajah Belanda selama 350 tahun, maka di era Orde Baru, Indonesia memasuki abad penjajahan baru yaitu Amerika Serikat.
Amerika Serikat mengendalikan Indonesia dibelakang layar, dan menempatkan Jenderal Soeharto, sebagai "centeng", guna melanggengkan hegemoninya di Indonesia, sesuah berhasil menggulingkan Soekarno.
Di bawah Soeharto, faham nasionalisme yang merupakan jahiliyah yang sangat kuno itu, kemudian diganti dengan orientasi baru, yaitu kapitalisme. Jenderal Soeharto yang berkolaborasi dengan sejumlah teknokrat dari Berckeley, Widjojo Nitisasto dan temannya, berhasil mengubah situasi Indonesia, yang benar-benar menjadi bagian dari kepentingan Barat.
Di era Reformasi sekarang ini, Barat melalui Bank Dunia dan IMF, berhasil menguliti Indonesia, dan bahkan Barat berhasil melakukan "take over" secara silence (diam-diam), di mana dengan menukangi partai politik dan anggota perlemen, kemudian lahirlah undang-undang yang sangat liberal, yang menjamin semua kepentingan asing masuk ke dalam kedaulatan Indonesia.
Liberalisasi alias penjajahan baru yang dilakukan Barat, berhasil dengan sangat efektif. Melalui legislatif bersamaan dengan lahirnya sejumlah undang-undang yang sangat liberal, yang memungkinkan fihak asing mengambil alih semua asset negara, tanpa ada lagi restriksi (hambatan), karena semua telah dijamin oleh undang-undang yang dibuat oleh lembaga legislatif.
Jadi, penjajahan Barat itu terhadap kedaulatan Indonesia, yang terjadi sekarang ini, diberikan kekuatan hukum oleh legislatif. Tengok saja undang-undnag minyak, undang sumber daya air, undang-undang keuangan, dan sejumlah undang-undang lainnya, semuanya itu hanya memberikan jalan bagi pihak asing mencaplok asset negara, yang berarti bentuk penyerahan Republik kepada asing, yang dilindungi oleh undang-undang yang dibuat legislatif.
Orang berteriak adanya penguasaan asing terhadap sumber daya alam (SDA) Indonesia, tetapi fihak asing itu, sejatinya telah memiliki legitimasi adanya undang-undang yang disyahkan oleh wakil rakyat Indonesia. Jadi, apalagi masalahnya, yang sekarang diperdebatkan?
Di era SBY, begitu pula asset SDA diserahka kepada asing, seperti minyak di blok Cepu (Jawa Tengah), blok gas Mahakam, yang akan habis masa kontraknya tahun 2017, yang memiliki cadangan gas triliun kubik, tetapi sekarang akan diperpanjang lagi, dan ini sangat menguntungkan kepada fihak asing.
Padhaal, Pertamina sudah sangat mampu menelolanya, dan ini sangat menguntungkan bagi kepada kepentingna nasional Indonesia. Tetapi, mengapa blok Mahakam ini, kontraknya akan diperpanjang lagi dengan fihak asing?
Sekarang, barang-barang import masuk bagiakan air bah, tak ada lagi perlindungan terhadap industri dalam negeri. Apalagi, di zamannya Menteri Perdagangannya Mari Pangestu, mantan Direktur CSIS, semuanya barang dari Cina seperti air bah, dan tak ada lagi pembatasan, dan bahkan barang selundupan pun menjadi sangat marak. Benar-benar menjadi malapetaka. Terutama bagi industri dalam negeri.
Sekarang orang berbicara tentang nasionalisme dan identitas Indonesia, yang sekarang sudah habis tergerus oleh asing. Seperti diucapkan oleh anak Bung Karno, Megawati, di Mukernas di Surabaya, di mana cucunya, sudah ketagihan terhadap tokoh bintang film dan pemusik Barat, yaitu Justin Bieber.
Kalangan nasionalis dan nasrani lebih galau lagi, karena ideologi negara Pancasila, sudah ditinggalkan dan tidak laku lagi dikalangan muda.
Hasil survei di 5 perguruan tinggi negeri, 86 persen mahasiswa sudah tidak lagi mengenal Pancasila, dan menolak ideologi negara yang dibuat oleh Soekarno. Bukan hanya di Jakarta, sebuah media di Jakarta, menyebutkan sampai universitas di Lombk dan NTT pun, mahasiswa sudah tidak lagi mengenal Pancasila.
Pancasila yang menjadi ideologi kaum nasionalis itu, sekarang sudah ditinggalkan oleh kaum muda, dan sekarang diam-diam merasuk dikalangan muda, nilai-nilai Islam.
Maka, tak aneh sebuah media telivisi di Jakarta, yang dengan sangat ketus, mengatakan bahwa Rohis (Rohanis Islam) di sekolah-sekolah, sudah menjadi tempat pembibitan lahirnya teroris. Telivisi nasionali itu membuat fitnah dan insinuasi yang sangat kotor terhadap generasi Islam, yang ingin hidup secara Islami, dan kemudian dikaitkan dengan teroris.
Nasionalisme sebagai dokrin ideologi, sejatinya telah ditinggalkan oleh para penggagas dan ideolognya. Mengapa harus masih diperdebatkan tentang nilai-nilai nasionalisme yang sudah usang itu. Nasionalisme di tengah-tengah perubahan global, sudah tidak aktual lagi, terutama untuk memberikan solusi bagi kehidupan modern sekarang ini?
Tengoklah kepada Islam yang pernah dipraktekkan selama 14 abad, dan sangat faktual, konkrit, dan dicontohkan mulai generasinya salafus shalih, sampai hari ini. Berkutat dengan nasionalisme hanya akan gulung tikar, dan tidak lagi dapat memberikan apapun bagi kehidupan umat manusia modern. Wallalu'alam.