Abdul Hadi W. M.
Kini marilah saya uraikan sedikit tentang kedudukan adab yang dalam tradisi intelektual Islam kerap diindetikkan dengan sastra atau cara bertutur yang baik secara lisan atau melalui tulisan. Dari kata adab itulah dibentuk kata 'peradaban' dalam bahasa Indonesia. Pemakaian kata peradaban itu menyiratkan bahwa salah satu sendi utama peradaban dan kebudayaan adalah bahasa dan sastra. Ini benar dalam kaitannya dengan kebudayaan Arab Islam, Persia, Turki Usmani, dan Melayu Islam.
Adab dan Hikmah
Pengertian adab pada mulanya dikaitkan dengan cara berbuat atau bertindak sesuai aturan sopan santun dan budi pekerti yang dianggap selaras dengan nilai-nilai Islam. Sedangkan perkataan tersebut mula-mula diartikan sebagai disiplin jiwa atau pikiran, sifat-sifat terpuji dan tanda seseorang yang menggunakan akal budi dalam setiap tindakannya. Dalam filologi ia diartikan sebagai karya sastra yang mengandung hikmah atau kebijakan falsafah. Dalam lingkup pengertian ini jelas perkataan adab terkait dengan jenjang pendidikan atau tingkat keterpelajaran seseorang.
Adab mulai dikaitkan dengan kreativitas penulisan sastra pada abad ke-8 M. Dalam abad ke-9 M ia dikaitkan dengan disiplin lain baik ilmu-ilmu agama maupun ilmu pengetahuan umum. Penyair Arab terkemuka Mutannabi (915-965 M) mengaitkannya dengan orang yang piawai menulis syair. Pada abad ke-11 M Abu al-`Ala al-Ma`arri (973-1057 M) dalam bukunya Risalat al-Gufran menghubungkan kata adab dengan kemampuan rasional dan intelektual seseorang, termasuk dalam melahirkan karya sastra atau puisi. Namun dalam perkembangan selanjutnya kata adab sering digunakan untuk menyebut karya-karya bercorak didaktis, termasuk karya yang membahas masalah sosial, politik, hukum dan pemerintahan atau ketatanegaraan.
Pada abad ke-10 dan 11 M, ketika dunia intelektual Islam didominasi pemikiran kaum rasionalis (mu`tazila) karya-karya yang digolongkan ke dalam genre sastra adab biasanya karya yang lebih bercorak intelektual dibanding imaginatif. Karena itu kitab-kitab yang membicarakan masalah psikologi dan etika seperti Kitab al-Bayan karangan al-Jahiz (w. ) dimasukkan ke dalam kelompok sastra adab terkemuka. Begitu pula Kitab al-Ma`arrif karangan Ibn Qutayba (w. 889 M) yang menguraikan persoalan sejarah. Kitab lain yang sejenis ialah Kitab al-Aghani karya Abu al-Farraj al-Isfahani (abad ke-10) yang menguraikan kehidupan para penyair, musikus dan penyanyi dengan lagu-lagu dan lirik ciptaan mereka, Kitab al-Buldan (903 M) karangan Ibn al-Faqih; Kitab Muraj al-Dhahad (943 M) karangan Mas`udi yang menguraikan geografi dan sejarah; Kitab I`jaz al-Qur`an karangan al-Baqillani (w. 1103 M); serta Kitab Tawf al-Hamamah karangan Ibn Hazm (w. 1064 M) yang menguraikan masalah cinta.
Kalau karya bercorak sejarah juga dimasukkan ke dalam sastra adab maka lebih banyak lagi jumlahnya. Pelopor penulisan karya bercorak sejarah ialah Muhammad Ibn `Ishaq (w. 767 M), penulis kitab masyhur Sirat al-Nabi`. Kitab ini menjadi sumber rujukan penting dalam penulisan sejarah dan hikayat yang membeberkan kehidupan dan perjuangan Nabi Muhammad S. A. W.
Dalam perkembangan lebih lanjut, khususnya dalam sastra Melayu, karya-karya yang digolongan sastra adab ialah yang membicarakan masalah etika, termasuk politik, hukum dan pemerintahan. Yang terkenal di antaranya ialah Siyasat-namah karangan Nizam al-Mulk, perdana menteri Bani Saljug di Persia pada akhir abad ke-11 M. Nizam al-Mulk adalah sahabat karib Umar al-Khayyami (1048-1131 M) dan hidup sezaman dengan Imam al-Ghazali (w. 1111 M). Pengaruh bukunya sangat besar dalam ilmu pemerintahan dan politik.
Dalam khazanah sastra Turki karya adab terkenal ialah Nasa`ih al-Vuzara wa al-Umara` karangan Sari Mehmed Pasha pada abad ke-17 M. Sedangkan dalam khazanah sastra Melayu dapat disebut kitab Taj al-Salatin (1603 M) karangan Bukhari al-Jauhari dan Bustan al-Salatin (1641 M) karangan Nuruddin al-Raniri. Kedua buku itu ditulis pada zaman emas kesultanan Aceh Darussalam.
Walaupun kitab tersebut ditulis beberapa abad yang silam, namun relevansi dan
aktualitas masalah yang dikemukakan tidak diragukan lagi berlaku sampai kini. Masalah kepemimpinan wanita dalam pemerintahan yang kini hangat dibicarakan di negeri kita, sudah dibahas panjang lebar dalam Taj al-Salatin. Penulis kitab itu tidak menolak kepemimpinan wanita, lebih-lebih jika terpaksa. Namun ia mengingatkan bahwa fitnah akan lebih mudah merajalela apabila sebuah kerajaan dipimpin oleh seorang wanita.
Taj al-Salatin hanya dijadikan pegangan oleh raja-raja Melayu, tetapi juga oleh raja-raja Jawa. Sampai abad ke-19 Taj al-Salatin masih diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa. Pangeran Diponegoro sangat menyukai kitab ini, begitu pula Mangkunegara IV dan menjadikannya rujukan dalam menulis kitab Wedatama. Karena pengaruh buku inilah maka sejak abad ke-17 M tidak pernah ada raja wanita di kerajaan-kerajaan Jawa.
Karangan bercorak adab terkemuka paling awal yang muncul dalam sejarah kesusastraan Islam dan tetap populer sampai kini ialah Khalilah wa Dimnah gubahan Ibn al-Muqaffa’ (w. 737 M). Walaupun disadur dari kitab India Pancatantra karangan Bidpai, melalui salinan bahasa Persia Lama (Pahlewi), namun karya Ibn al-Muqaffa` dapat dikatakan orisinal, karena karya Bidpai itu diolah kembali secara kreatif. Dalam buku ini dibentangkan antara lain bahaya yang ditimbulkan oleh fitnah dan tipu muslihat. Berkat karya Ibn al-Muqaffa` ini pulalah fabel-fabel India tersebar dan dikenal luas di Eropah dan dari situ ke seluruh dunia.
Kitab lain yang dapat digolongkan sebagai karya adab terkenal dan unggul ialah Bustan dan Gulistan karangan Sa`di (w. 1292 M). Buku ini bercorak sufistik dan ditulis berdasarkan pengalaman pribadi penulisnya yang senang mengembara ke berbagai negeri. Penulis-penulis besar seperti Schiller, Goethe dan Emerson sangat mengagumi karya Sa`di ini. Kitab Taj al-Salatin karangan Bukhari al-Jauhari dipengaruhi juga oleh karya Sa`di, di samping oleh karya Nizam al-Mulk dan lain-lain.
Tidak lengkap jika kita tidak mengemukakan genre sastra penting lain yang disebut maqama atau maqamat. Selain genre prosa lain seperti al-Qisas (kisah) dan al-Tawqi`at (tawqi`), maqamat sangat digemari. Genre inilah yang dipandang sebagai asal-usul cerita pendek Arab dan Persia. Secara harafiah perkataan tersebut mempunyai arti penuturan atau cerita yang disampaikan sambil berdiri tegak di sebuah majelis. Dalam maqamat penulis menyampaikan gagasan, kritik, pemikiran dan sindiran, yang diramu dalam sebuah cerita. Sindiran biasanya diselipkan pada bagian akhir cerita dan ditulis dalam bentuk sajak ringkas.
Himpunan maqamat biasanya menampilkan seorang tokoh yang banyak mengembara dan memiliki segudang pengalaman dan hikmah. Karena memiliki kepandaian dan bijak bertutur kata maka ia ditampilkan oleh pengarang sebagai tukang kisah (al-Rawi). Kisah-kisah yang disampaikan pendek-pendek, sangat menarik dan mengenai berbagai peristiwa yang ganjil. Cerita-cerita tersebut biasanya melukiskan kepincangan yang terdapat dalam masyarakat, diperkaya dengan kritik dan sindiran yang halus namun tajam. Pengasas genre ini ialah Ibn Durayd (w. 321 H), namun yang mempopulerkan ialah pengarang terkenal asal Persia abad ke-11 M yang menulis dalam bahasa Arab, yaitu Badi`uzzaman al-Hamadhani. (968-1008 M ) Genre ini mencapai puncaknya pada abad ke-13 M di tangan penulis masyhur Abu Muhammad bin Ali al-Hariri (1054-1122) Penulis maqamat yang lain ialah Umar bin Makhmud al-Balkhi (w. 597 H).
Tidak perlu diuraikan perkembangan puisi di dunia Islam sejak abad ke-9 sampai abad ke-19 M yang luar biasa kreatif. Yang perlu diketahui ialah kenyataan bahwa perkembangan itu sepenuhnya disulut oleh pengaruh kitab suci al-Qur`an, himpunan wahyu ilahi yang walaupun bukan karya sastra, namun memiliki nilai sastra yang tinggi. Puisi disebut sebagai pengucapan dengan bahasa terikat (manzum), sebagai kebalikan dari prosa yang disebut bahasa longgar (mantsur). Lebih lanjut puisi yang berbobot dikiaskan sebagai untaian pertama yang membentuk kalung yang indah. Seorang penyair sering disebut sebagai ahli permata (al-jauhari), dan permatanya ialah kata-kata. Sedangkan dalam tradisi Persia Islam puisi sering diumpamakan sebagai taman atau kebun (bustan) yang penuh pohon rimbun dengan buah lebat dan tersedia pula minuman lezat. Kadang puisi disamakan dengan galeri lukisan (arzang) yang penuh dengan lukisan-lukisan indah dan bermutu.
Pengaruh al-Qur`an
Sebagai kitab suci yang mengandung nilai sastra tinggi tidak diragukan lagi al-Qur`an memiliki pengaruh yang besar bagi perkembangan kesusastraan. Lebih daripada itu kitab ini mampu membangkitkan perkembangan ilmu bahasa, teori sastra dan puitika yang menakjubkan, yang semua itu dinikmati bukan saja oleh sastra Arab tetapi juga sastra di negeri Islam lain seperti Persia, Urdu, Turki, Melayu dan lain-lain.
Di samping itu al-Qur`an juga mengandung rujukan yang melimpah untuk berbagai cabang ilmu dan di dalam al-Qur`an pula terdapat banyak kisah yang disajikan dengan cara khas dan gaya yang memikat. Pola penceritaan yang terdapat dalam al-Qur`an itu pada gilirannya mempengaruhi corak naratif kesusastraan Islam.
Keindahan bahasa dan puitika al-Qur`an telah menarik banyak penulis Muslim untuk mempelajari rahasia keindahan seni sastra yang terdapat di dalam kitab itu. Kajian mengenai hal ini disebut Dala`il al-Ijaz. Banyak sarjana sastra Arab dan Persia menceburi bidang ini, di antaranya yang terkemuka ialah al-Jahiz, Abu Hasan al-Jurjani, al-Kumani, al-Khattibi, al-Baqillani, Abdul Qahir al-Jurjani dan lain-lain. Tokoh-tokoh sastra penting seperti Imam al-Ghazali, Ibn `Arabi, Jalaluddin Rumi, Hafiz si Penghafal Qur`an dan juga penulis modern Muhammad Iqbal, sangat menguasai ilmu Dala`il al-Ijaz ini. Karena itu tidak mengherankan kalau karya-karya mereka bukan saja merupakan tafsir atau takwil terhadap ayat-ayat al-Qur`an dengan melihat konteks falsafah dan sosilogisnya, tetapi pengucapan puitik mereka juga dipengaruhi oleh puitika al-Qur`an.
Para sarjana terkemuka seperti Ismail al-Faruqi (dalam buku The Cultural Atlas of Islam, 1992) sepakat berpendapat bahwa al-Qur`an memang mengandung unsur-unsur estetik yang kaya. Di antara unsur-unsur estetik itu ialah:
Pertama. Walaupun ayat-ayat al-Qur`an bukan puisi atau prosa berirama (saj`) murni menurut ukuran sastra Arab pada waktu kitab itu diturunkan, malahan dapat dikatakan sebagai prosa mutlak (al-nathir al-mutlaq), namun banyak ayat-ayatnya memiliki persamaan rima dan sajak yang menjadikan ayat-ayat itu sangat indah dengan unsur puitik yang sugestif.
Kedua. Kitab al-Qur`an digubah menggunakan kata-kata dan frasa yang maknanya dapat disesuaikan dengan berbagai konteks persoalan hidup. Apabila dirubah malah janggal. Penambahan dan pengurangan terhadap ayat-ayat itu akan merusak keindahan ungkapan dan makna.
Ketiga. Setiap ayat atau frasa mengimbangi susunan bahasa ayat-ayat yang telah
mendahuluinya. Itulah sebabnya susunan ayat dan bahasa al-Qur`an dipandang rapi (tawazun).
Keempat. Kias dan simpulan bahasa al-Qur`an mengandung konsep atau gagasan serta unsur pengajaran yang berpengaruh besar kepada pembacanya. Di samping itu memberi kesan mendalam terhadap imaginasi pembacanya.
Kelima. Susunan bahasa al-Qur`an yang sempurna itu menjelmakan ayat-ayat al-Qur`an sebagai karya seni yang tinggi, serta memberi ilham bagi lahirnya bentuk-bentuk seni puisi, musik dan seni suara yang unggul.
Keenam. Gaya bahasa al-Qur`an ringkas, tegas dan efektif, langsung menyentuh kesadaran pembacanya. Menurut Jirji Zaidan dalam Kitab al-Adab al-Lughah, banyak penulis Arab meniru keringkasan kata-kata dan ungkapan al-Qur`an beserta balaghahnya. Keringkasan itu juga tampak dalam Hadis Nabi. Nabi malah pernah mengatakan: “Aku dianugerahi kemampuan menggunakan kata-kata yang ringkas tetapi sangat dalam maknanya dan selalu kupilih kata-kata yang padat dan ringkas”. Baik al-Qur`an maupun Hadis telah menyadarkan bangsa Arab bahwa prosa juga dapat dikembangkan menjadi pengucapan estetik bermutu tinggi. Sebelumnya mereka hanya memandang syair atau puisi sebagai bentuk pengucapan yang bermutu sastra.
Ketujuh. Struktur teks al-Qur`an tidak seperti karya sastra biasa. Dalam struktusnya al-Qur`an mencampur aspek-aspek pembicaraan tentang peristiwa yang telah silam, sedang terjadi dan akan atau mungkin terjadi. Setiap ayat merupakan unit yang berdiri sendiri dan sekaligus saling berkaitan dengan unit yang lain.
Selain itu al-Qur`an mengandung banyak kisah atau cerita perumpamaan yang masing-masing disampaikan secara khusus dan menarik, dan ini mendorong timbulnya genre-genre baru dalam kesusastraan Islam. Ada kisah yang disampaikan secara ringkas, ada yang disampaikan agak panjang dan ada yang sangat panjang. Kisah Nabi Yusuf misalnya disampaikan secara panjang lebar dan cukup detail dalam sebuah surah saja. Sedangkan kisah Nabi Musa yang konteks hikmah dan moralnya sangat luas disebar dalam ayat dan surah yang berbeda-beda. Di antara kisah Nabi Musa yang konteksnya luas ialah kisah yang terdapat dalam Surah al-Kahfi. Di situ Nabi Musa ditampilkan bersama guru kerohanian beliau, seorang nabi gaib yang biasa dikenal sebagai Nabi Khaidir.
Dalam menceritakan tokoh-tokoh tersebut al-Qur`an menekankan pada pentingnya watak dan kepribadian tokoh, ciri peristiwa yang melibatkan tokoh dan klasifikasi peristiwa yang memiliki makna dan konteks berbeda. Sering kisah disampaikan melalui dialog, seakan-akan al-Qur`an menggunakan seorang pencerita yang arif dalam menyampaikan pesan-pesannya.
Dalam al-Qur`an terdapat cerita tentang bencana dahsyat yang menimpa sebuah kaum disebabkan kekufuran dan kebejatan moralnya telah melampaui batas, demikian juga kedhaliman dan keserakahannya. Misalnya kisah yang menimpa suku Tsamud, umat Nabi Nuh dan Nabi Saleh, serta orang kaya yang kikir dan tamak seperti Qarun dan lain sebagainya. Mengenai tokoh-tkoh historis seperti Fir`aun, Namrud, Qarun dan lain-lain, dalam sastra Islam sering ditransformasikan menjadi simbol-simbol sosiologis dan historis untuk menggambarkan sistem kekuasaan yang dhalim, egosentris, monolitik, otoriter, serakah, penuh dengan KKN dan mengandalkan kelanggengan kekuasaannya dengan menyebarkan kultus individu. Melekatnya unsur-unsur estetik dan sastra dalam penyampaian ayat-ayat al-Qur`an membuktikan bahwa risalah Islam mengakui pentingnya estetika sebagaimana metafisika, epistemologi, etika dan sosiologi dalam upaya mencari dan menyampaikan kebenaran.