Oleh:
Syaikh Musthofa Al-Adawi
Pada pembahasan sebelumnya, berkenaan
dengan penjelasan ayat tentang superioritas laki-laki atas wanita bagian satu
dan dua, sudah dijelaskan alasan mengapa laki-laki
lebih superior dari pada wanita khususnya dalam kehidupan rumah tangga.
Begitu juga telah dijelaskan tentang kemungkinan adanya permasalahan
yang timbul dalam kehidupan rumah tangga.
Pada bagian ini, kita akan membahas
tentang solusi dalam mengatasi permasalahan yang timbul pada kehidupan rumah
tangga. Di dalam ayat ini Allah Ta'ala
telah menjelaskan langkah-langkah yang harus diambil oleh seorang suami ketika
ada masalah dalam rumah tangga, terutama yang disebabkan nusyuznya seorang
istri. Di antara langkah-langkah tersebut adalah:
Langkah Pertama: Menasehati istri
dengan sebaik-baik nasehat.
Allah memerintahkan kita untuk
mengedepankan nasehat dalam mengatasi istri yang nusyuz, karena nasehat
mempunyai pengaruh yang besar dalam memperbaiki perilaku seseorang, terutama
wanita. Wantia cenderung mempunyai perasaan yang lembut, yang apabila suami
selalu mengingatkannya dengan surga dan ancaman pedihnya adzab Allah, niscaya
seorang istri akan mudah tersentuh dengannya. Oleh karenanya, sang suami harus
selalu menasehati istri dengan sebaik-baik nasehat.
Nasehat bukan hanya milik seorang
suami, tapi seorang istri juga berhak menasehati suaminya jika dia mendapati
kesalahan pada diri suami yang sudah menyelisihi aturan Allah. Tapi yang perlu
diingat, dalam menasehati harus pandai-pandai memilih kata yang lembut yang
tidak menyakiti hati pasangan kita, sehingga nasihat akan mudah diterima dengan
baik.
Dalam sebuah riwayat, dari Abu Umamah
dia berkata : Sesungguhnya telah datang seorang pemuda pada Nabi shallalahu
‘alayhi wa sallam seraya berkata : “Wahai Rosululloh, izinkan saya untuk
berzina, maka para sahabatnya segera mencelanya “mah-mah” (kalimat cercaan),
maka berkatalah Nabi kepadanya : “Sini mendekatlah, maka (pemuda) itu
mendekatinya dengan jarak dekat, lalu duduk. Lalu berkatalah (Nabi) : “Apa kamu
suka (zina) kepada ibumu ? Dia jawab : Tidak, demi Alloh, Alloh menjadikanku
enggan padanya, tidak ada seorangpun kecuali tidak senang menzinai ibunya. Lalu
berkata (Nabi shallalahu ‘alayhi wa sallam) : Apakah kamu suka (zina) dengan
anakmu? Dia jawab : Tidak, demi Alloh, wahai Rosululloh, Alloh menjadikanku
enggan padanya, tidak ada seorangpun kecuali tidak senang menzinai anaknya.
Lalu berkatalah (Nabi) : “Apa kamu suka (zina) dengan saudaramu perempuan?” Dia
jawab : “Tidak, demi Alloh, Alloh menjadikanku rasa enggan padanya, tidak ada
seorangpun kecuali tidak senang menzinai saudara perempuannya”. Lalu berkata
(Nabi shallalahu ‘alayhi wa sallam) : “Apakah kamu suka (zina) dengan bibimu
(saudara bapak)?” Dia jawab : “Tidak, demi Alloh, wahai Rosululloh, Alloh
menjadikanku rasa engan padanya, tidak ada seorangpun kecuali tidak senang
menzinai bibinya (saudara bapak).” (Nabi) berkata lagi : “Apakah kamu suka
(zina) terhadap bibimu (saudara ibu)?” Dia jawab : “Tidak, demi Alloh,
Alloh menjadikanku rasa enggan padanya, dan tidak ada seorangpun kecuali tidak
senang menzinai bibinya (saudara ibu). Maka (Nabi shallalahu ‘alayhi wa sallam
) meletakkan tangannya diatas (kepalanya) lalu berdo’a : “Ya Alloh, ampuni
dosanya, bersihkan hatinya, dan jagalah kemaluannya”. Maka pemuda itu tidak
menoleh lagi kepada sesuatu (zina).” [HR. Ahmad]
Dalam menasehati istri, seharusnya
suami mencontoh Rasulullah seperti kisah di atas. Suami harus memilah dan
memilih kata-kata apa yang pantas diucapkan, sehingga tidak menimbulkan
permasalahan yang lebih rumit. Dengan perkataan yang baik justru akan
mendatangkan ridha Allah yag akan memberikan manfaat dalam penyelesaian suatu
masalah.
Dalam hal emosi pun, manusia mempunyai
emosi yang berbeda-beda satu dari yang lainnya. Ada orang yang cepat marah tapi
juga cepat reda marahnya, ada juga yang sulit marah tapi jika sudah marah sulit
juga redanya. Oleh karena itu, dalam menyelesaikan permasalahan rumah tangga,
keduanya harus saling memahami emosi masing-masing pasangannya. Mereka harus
berperilaku yang tidak membuat marah pasangannya, serta menghindari waktu-waktu
dan hal-hal yang bisa membuat masing-masing pasangan menjadi marah.
Allah Ta'ala berfirman, "Jadilah
engkau pema'af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf" (Al-A'raf: 199)
Ayat di atas diturunkan berkenaan
dengan akhlak manusia, yang juga harus diterapkan dalam kehidupan rumah tangga.
Jika seorang suami mendapati istrinya yang cepat marah, hendaknya dia
menasehatinya dengan lemah lembut dan menghindari hal-hal yang bisa membuat
sang istri marah. Begitu juga istri, jika dia mendapati suaminya mudah marah,
maka hendaknya dia tetap sabar dan menghindari hal-hal yang bisa membuat sang
suami marah.
Kemarahan dalam rumah tangga harus
sebisa mungkin dihindari, karena dalam kondisi marah seseorang bisa berubah
tanpa disadarinya. Orang marah bisa menjadi sangat liar dan tidak terkendali
layaknya orang yang kehilangan akal. Makanya, Rasulullah Shalallahu alaihi wa
sallam bersabda, لا
طلاق
في
إغلاق
yang maknanya kurang lebih "tidak ada thalaq dalam kondisi marah".
Nabi juga menganjurkan kepada pasangan suami istri hendaknya membiasakan untuk
musyawarah dan saling menasehati, agar syetan tidak mudah menyulut api
kemarahan di antara keduanya, dan hendaknya mereka saling memahami bahwa mereka
hanyalah manusia tempatnya salah dan lupa.
Seorang hakim pun juga tidak boleh
menghukumi sesuatu ketika dalam kondisi marah, sebagaimana sabda Nabi
Shalallahu alaihi wa sallam,
لا يقضينَّ حكمٌ بين اثْنينِ وهو غضبان
"Tidak boleh se0rang hakim
memberi keputusan terhadap dua orang ( yang dibicarakan) sedang dia dalam
keadaan marah ( terhadap salah seorang atau sebab lain)". (HR. Bukhari)
Sebagai seorang manusia, marah
merupakan hal yang wajar selama masih dalam batas-batasnya dan tidak
berlebih-lebihan. Dalam sebuah hadits mauquf dari Aisyah radhiallahu anha
menunjukkan bahwa beliau juga pernah marah dan Rasulullah tidak mengingkarinya.
Hadis Aisyah r.a katanya:
Ketika datang berita kepada Rasulullah
s.a.w mengenai gugurnya Ibnu Harithah, Jaafar bin Abu Talib dan Abdullah bin
Rawahah r.a Rasulullah s.a.w duduk dan kelihatan bersedih hati. Aisyah melihat
dari celah pintu. Lalu datanglah seseorang menceritakan perihal isteri Jaafar
dan memberitahu mengenai ratapan mereka. Lalu Rasulullah s.a.w menyuruh orang
tersebut pergi melarang mereka. Kemudian orang itu pergi dan kembali semula
serta memberitahu bahawa: Mereka tidak menghiraukan aku! Rasulullah s.a.w
menyuruhnya untuk kali kedua supaya pergi melarang isteri Jaafar tersebut.
Kemudiannya orang itu pergi dan kembali sekali lagi serta memberitahu: Demi Allah!
Kami tidak berjaya memujuk mereka, wahai Rasulullah! Aisyah berkata: Kalau
tidak salah aku, Rasulullah s.a.w bersabda: Pergilah dan sumbatlah tanah ke
mulut mereka supaya mereka berhenti dari meratap! Aisyah berkata: Semoga Allah
menutup mulut kamu dengan tanah. Demi Allah! Engkau tidak melaksanakan apa yang
diperintahkan oleh Rasulullah s.a.w dan engkau tidak ingin meninggalkan
Rasulullah s.a.w bebas dari kesusahan. (HR. Muslim)
Kita juga pernah mendengar bahwa Nabi
Musa alaihissalam juga pernah marah, beliau pernah membunuh seorang qibthi,
beliau juga pernah menyobek lembaran-lembaran, akan tetapi beliau juga
mempunyai lautan kebaikan yang begitu banyaknya, sehingga Allah mengampuni
beliau.
Ada sebuah teladan hebat bagi seorang
istri, dialah Ummu Sulaim ibunda dari Anas bin Malik. Salah satu kisah beliau
yang patut menjadi teladan adalah sebagai yang diriwayatkan Anas bin Malik
berikut,
Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu
meriwayatkan bahwa seorang anak dari Abu Thalhah sakit. Ketika Abu Thalhah
keluar, anak itu meninggal. Ketika Abu Thalhah kembali, dia bertanya,
“Bagaimana anakku?” Ummu Sulaim menjawab, “Ia dalam kondisi sangat tenang,”
seraya menghidangkan makan malam kepadannya, dan dia pun makan. Dalam sebuah
riwayat disebutkan bahwa Ummu Sulaim berkata, “Jangan beritahukan kepada Abu
Thalhah tentang kematian anaknya.” Kemudian ia melakukan tugasnya sebagai
isteri kepada suaminya, lalu suaminya berhubungan intim dengannya. Ketika akhir
malam, ia berkata kepada suaminya, “Wahai Abu Thalhah, bagaimana pendapatmu
bila keluarga si fulan meminjam suatu pinjaman, lalu memanfaatkannya, kemudian
ketika pinjaman itu diminta, mereka tidak suka?” Ia menjawab, “Mereka tidak
adil.” Ummu Sulaim berkata, “Sesungguhnya anakmu, fulan, adalah pinjaman dari
Allah dan Dia telah mengambilnya.” Abu Thalhah beristirja’ (mengucapkan: Innaa
lillaahi wa innaaa ilaih raaji’uun) dan memuji Allah seraya mengatakan, “Demi
Allah, aku tidak membiarkanmu mengalahkanku dalam kesabaran.” Pada pagi
harinya, dia datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tatkala
beliau melihatnya, beliau bersabda, “Semoga Allah memberkahi kalian berdua di
malam hari kalian.” Keberkahan itu, sejak malam itu, mencakup ‘Abdullah bin Abi
Thalhah, dan tidak ada pada kaum Anshar seorang pemuda yang lebih baik darinya.
Dari ‘Abdullah tersebut lahirlah banyak anak, dan ‘Abdullah tidak meninggal
sehingga dia dikaruniai sepuluh anak yang semuanya hafal al-Qur-an, dan dia
wajat di jalan Allah. (HR. Bukhari)
Lihatlah, betapa tabah dan santunnya
seorang Ummu Sulaim dalam menjalani kehidupan rumah tangganya.
Maka, sudah selayaknya dalam kehidupan
kita ada kebiasaan saling menasehati, terutama dalam kehidupan rumah tangga
antara suami dan istri. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Ibnu Umar pernah
ingin menceraikan salah satu istrinya, tapi istri lainnya berkata kepadanya,
"Apakah engkau ingin menyengsarakan seorang wanita yang rajin puasa dan
bertanggung jawab?" Mendengar itu Ibnu Umar mengurungkan niatnya dan tidak
jadi menceraikannya. Lihatlah sosok Ibnu Umar yang dengan lapang menerima
nasehat dari istrinya, karena tidak mau menerima nasehat termasuk sebuah
kesombongan. Dalam hadits disebutkan bahwa Rasulullah Shalallahu alaihi wa
sallam bersabda, "Sombong itu adalah menolak kebenaran dan meremehkan manusia."
Oleh karena itu, memohonlah kepada
Allah dan minta kepada-Nya untuk memperbaiki perilaku pasangan anda.
Sebagaimana Allah Ta'ala telah memperbaiki keadaan rumah tangga Nabi Zakaria
dan istrinya. Dalam Al-Qur'an disebutkan kisah tentang istri Nabi Zakaria,
yaitu firman-Nya,
"Maka Kami memperkenankan
do'anya, dan Kami anugerahkan kepada nya Yahya dan Kami jadikan isterinya dapat
mengandung. Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam
(mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka berdo'a kepada Kami
dengan harap dan cemas . Dan mereka adalah orang-orang yang khusyu' kepada
Kami." (Al-Anbiya': 90)
Istri Nabi Zakaria sebelumnya adalah
wanita yang mandul, akan tetapi karena kesungguhan beliau dalam berdoa dan
memohon kepada Allah, Allah pun menjawab doa beliau, sehingga lahirlah dari
rahim beliau seorang Nabi mulia bernama Yahya alaihimussalam.
Perlu diketahui juga, bahwa perilaku
pasangan kita terkadang berhubungan dengan perilaku kita juga. Hasan Al-Bashri
pernah berkata, "Demi Allah, sungguh aku bisa mengetahui dosaku dari
perilaku istriku kepadaku dan perilaku hewan tungganganku." Maka,
terkadang sikap pasangan kita kurang baik kepada kita, karena kita berbuat
maksiat atau keburukan lainnya. Hal ini senada dengan firman Allah Ta'ala yang
artinya,
"Dan apa saja musibah yang
menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah
memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu)." (As-Syuraa: 30)
Perlu diketahui bahwa yang berkuasa
mendatangkan kebaikan dan keburukan kepada kita hanyalah Allah Ta'ala, maka
Allah pula lah yang mampu menyalakan sekaligus memadamkan segala permasalahan,
terutama dalam keluarga. Akan tetapi perlu diingat juga, bahwa masalah yang
timbul dalam kehidupan kita juga tidak lepas dari sebab perbuatan diri kita
sendiri, maka hendaknya kita senantiasa memperbanyak istighfar kepada Allah
Ta'ala, karena dengan istighfar akan menghantarkan kita pada kehidupan yang
berbahagia, Allah Ta'ala berfirman yang artinya, Dan Allah sekali-kali tidak
akan mengazab mereka, sedang kamu berada di antara mereka.
"Dan tidaklah (pula) Allah akan
mengazab mereka, sedang mereka meminta ampun" (Al-Anfal: 33)
Maka, dalam menyikapi istri yang tidak
taat, anda sebagai suami harus jeli dalam menyelesaikan permasalahan ini.
Terkadang seorang suami menganggap istrinya berbuat kesalahan padahal sang
istri merasa perbuatannya itu tidak salah. Maka, sebagai suami yang baik jangan
langsung memvonis bahwa istri melakukan nusyuz, tapi harus ditanya dahulu
dengan baik apa sebab sang istri melakukan perbuatan yang tidak disukai
suaminya itu. Sebagai contoh, Nabi Muhammad pun juga berusaha memahami keadaan
istrinya, Aisyah radhiallahu anha, sebagaimana disebutkan dalam riwayat,
“Pada suatu hari, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadaku, ‘Sungguh, aku mengetahui bila
engkau ridha kepadaku, demikian pula bila engkau sedang marah kepadaku.’
Spontan, Aisyah bertanya, ‘Darimana engkau dapat mengetahui hal itu?’
Rasulullah menjawab, ‘Bila engkau sedang ridha kepadaku, maka ketika engkau
bersumpah, engkau berkata, ‘Tidak, demi Tuhan Muhammad. Adapun bila engkau
sedang dirundung amarah, maka ketika engkau bersumpah, engkau berkata, ‘Tidak,
demi Tuhan Ibrahim.’’ Mendengar penjelasan ini, Aisyah menimpalinya dan berkata,
‘Benar, sungguh demi Allah, wahai Rasulullah, ketika aku marah, tiada yang aku
tinggalkan, kecuali namamu saja.’” (Muttafaqun ‘alaihi)
Sebaliknya, Aisyah pun juga selalu
berusaha memahami keadaan Nabi Muhammad Shalallahu alaihi wa sallam.
Langkah Kedua: Pisah ranjang
Hal ini sebagaimana yang diajarkan
Al-Qur'an di mana Allah Ta'ala berfirman,
وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ
"dan pisahkanlah mereka di tempat
tidur mereka" (An-Nisa': 34)
Perlu diingat, tahap kedua ini tidak
semena-mena dikenakan pada istri yang taat, tetapi lebih untuk istri yang
memang sudah pantas untuk mendapat perlakuan tahap kedua ini. Pisah yang
dimaksud di sini pun hanya dalam urusan ranjang saja, tidak termasuk
urusan-urusan yang lain.
Dalam pelaksanaan hajr (pisahan) ini
ada hal yang harus diperhatikan. Sang suami boleh menghajr istrinya tapi tidak
boleh mengusirnya keluar rumah atau memulangkannya kepada pihak keluarga istri.
Hal seperti ini yang sering dilakukan oleh orang-orang yang tidak mengerti
hakikat hajr. Akan tetapi, jika sang suami memang ingin menenangkan diri, dia
boleh keluar rumah misalnya ke masjid. Keluarnya suami itu lebih baik dari pada
istri yang keluar. Tetapi, jika sang istri memang meminta untuk pulang ke
keluarganya demi kemaslahatan, sang suami juga tidak boleh melarangnya,
sehingga timbullah saling menghargai di antara kedua pasangan walau ketika ada
masalah.
Bentuk pelaksanaan Hajr:
Para ahli fiqih berbeda pendapat
mengenai bentuk hajr itu sendiri, sebagian ulama mengatakan bahwa hajr yaitu
saling membelakangi antara suami dan istri ketika di atas ranjang. Sebagian
yang lain mengatakan bahwa hajr yaitu meninggalkan jima' (hubungan pasutri).
Sebagian lain lagi mengatakan bahwa hajr itu pisah ranjang antara suami dan
istri.
Adapun lama waktu hajr berakhir ketika
sang istri sudah taubat dari nusyuznya dan meminta maaf kepada suami, karena
alasan adanya hajr adalah adanya nusyuz dari istri yang dimaksudkan untuk
mendidik dan memberi pelajaran bagi istri. Maka, jika tujuan sudah tercapai,
masa hajr pun juga harus segera diakhiri.
Langkah ketiga: Memukul istri dengan
pukulan yang tidak menyakitkan dan pada area-area tertentu.
Hal ini sebagaimana yang difirmankan
Allah Ta'ala,
وَاضْرِبُوهُنَّ
"dan pukullah mereka."
(Al-Anfal: 34)
Nabi shalallahu alaihi wa sallam telah
menjelaskan maksud memukul pada ayat di atas, yaitu pukulan yang tidak
menyakitkan dan tidak menimbulkan bekas di anggota tubuh. Walaupun begitu,
menahan diri untuk tidak memukul sebisa mungkin juga merupakan sunnah Nabi
shalallahu alaihi wa sallam, karena Rasulullah tidak pernah memukul istri
maupun pembantu beliau kecuali dengan pukulan ringan saja.
Setelah tiga tahapan dalam menghadapi
sikap istri yang nusyuz di atas, Allah Ta'ala melanjutkan firmannya,
فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلاَ
تَبْغُواْ عَلَيْهِنَّ سَبِيلاً إِنَّ اللّهَ كَانَ عَلِيّاً كَبِيراً
"Kemudian jika mereka mentaatimu,
maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya . Sesungguhnya
Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar." (An-Nisa': 34)
Dalam ayat di atas, Allah Ta'ala
menjelaskan kepada kita bahwa jika berbagai tahapan dalam menghadapi istri
nusyuz sudah kita laksanakan dan istri pun sudah taat pada suami, hendaknya
sang suami jangan mencari-cari kesalahan istrinya. Bahkan, sang suami tidak
boleh menghajr atau memukul istrinya jika memang istri taat dan patuh terhadap
suami. Suami jangan membuat-buat alasan supaya bisa memukul atau menganiaya
istri seenaknya.
Allah Maha Tinggi dan Maha Besar, oleh
karenanya seorang suami tidak boleh merasa paling berkuasa di dalam rumah
tanggannya sehingga membuat dia bertindak semena-mena terhadap istri. Allah
sangat mudah memberikan hukuman terhadap suami yang semena-mena dan dzalim
terhadap istri.
Coba bayangkan, jika kita
mempunyai anak perempuan atau saudara perempuan, kemudian dia disiksa, didzalimi
atau diperlakukan tidak adil oleh suaminya, maka sudah pasti kita tidak akan
terima hal itu. Oleh karenanya, sebagai seorang suami janganlah pernah
mendzalimi istri dan sebagai seorang istri janganlah pernah membantah suami.
Karena Allah Ta'ala maha mengetahui apa yang terjadi di dalam rumah tangga
kita.
Selanjutnya Allah Ta'ala berfirman,
وَإِنْ خِفْتُمْ شِقَاقَ
بَيْنِهِمَا فَابْعَثُواْ حَكَماً مِّنْ أَهْلِهِ وَحَكَماً مِّنْ أَهْلِهَا إِن
يُرِيدَا إِصْلاَحاً يُوَفِّقِ اللّهُ بَيْنَهُمَا إِنَّ اللّهَ كَانَ عَلِيماً
خَبِيراً
"Dan jika kamu khawatirkan ada
persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga
laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu
bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada
suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal."
(An-Nisa': 35)
Para ulama, dalam menafsirkan kalimat
"وَإِنْ
خِفْتُمْ
شِقَاقَ
بَيْنِهِمَا"
pada ayat di atas berbeda-beda pendapat, tetapi mayoritas mereka mengartikan,
jika kalian para wali mengetahui ada suatu perselisihan antara suami dan istri,
maka hendaknya diutus dari kedua belah pihak (suami dan istri) seorang hakim
atau orang yang dianggap mampu menyelesaikan masalah ini, dan kedua hakim dari
dua belah pihak tadi dipertemukan untuk menyelesaikan masalah secara baik-baik.
Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam
juga telah mengancam keras bagi siapa yang memecah belah hubungan keluarga
antara suami dan istri, sebagaimana dalam salah satu sabdanya, "Barang siapa
yang membuat kabur pembantu dari majikannya, maka dia bukan dari golongan kami,
dan barang siapa yang memisahkan istri dari suaminya, maka dia bukan dari
golongan kami."
Ayat-ayat Al-Qur'an yang memerintahkan
kita untuk selalu berdamai dan memperbaiki hubungan antar sesama juga sangat
banyak, di antaranya:
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ
فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
(الحجرات: 10)
"Orang-orang beriman itu
sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara
kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat
rahmat." (Al-Hujurat: 10)
لا خَيْرَ فِي كَثِيرٍ مِنْ
نَجْوَاهُمْ إِلَّا مَنْ أَمَرَ بِصَدَقَةٍ أَوْ مَعْرُوفٍ أَوْ إِصْلَاحٍ بَيْنَ
النَّاسِ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ ابْتِغَاءَ مَرْضَاتِ اللَّهِ فَسَوْفَ نُؤْتِيهِ
أَجْرًا عَظِيمًا (النساء: 114)
"Tidak ada kebaikan pada
kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang
menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma'ruf, atau mengadakan perdamaian
di antara manusia. Dan barangsiapa yang berbuat demikian karena mencari
keredhaan Allah, maka kelak Kami memberi kepadanya pahala yang besar."
(An-Nisa': 114)
Pada ayat di atas, Allah memerintahkan
kepada kita agar selalu memperbaiki ukhuwah, memerintahkan sodaqoh, mengajak
kepada kebaikan, atau mendamaikan persengketaan yang ada di masyarakat.
Tentunya semua hal ini harus diniatkan untuk mengharap ridho Allah Ta'ala.
Dalam sebuah riwayat, Rasulullah
shalallahu alaihi wa sallam pernah bersabda, “Orang-orang yang berlaku adil
berada di sisi Allah di atas mimbar (panggung) yang terbuat dari cahaya, di
sebelah kanan Ar-Rahman ‘Azza wa Jalla sedangkan kedua tangan Allah adalah
kanan: Yaitu orang-orang yang berlaku adil dalam hukum, adil dalam keluarga,
dan adil dalam melaksanakan tugas yang di bebankan kepada mereka.” (HR. Muslim
no. 3406)
Hadits di atas juga menunjukkan betapa
mulianya orang yang adil dalam menyelesaikan masalah, terutama bagi para hakim
dan penegak hukum. Terutama dalam permasalahan perselisihan antara suami dan
istri, sebagaimana tema yang dibahas kali ini.
Kemudian, Allah Ta'ala menutup ayat
ini dengan firman-Nya,
إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا
خَبِيرًا
"Sesungguhnya Allah Maha Tinggi
lagi Maha Besar" (An-Nisa': 34)
Maksud dari ayat di atas adalah untuk
mengingatkan kita bahwa Allah Maha Mengetahui semua yang terbesit dalam hati
manusia, dalam tema ini khususnya dua hakim dan pasangan suami istri, apakah
mereka memang menginginkan perbaikan/kedamaian? atau mereka malah ingin
memperkeruh permasalahan keluarga ini? Allah Maha mengetahui apa yang terbesit
di hati mereka.
Oleh karenanya, kepada seluruh pihak,
baik itu suami, istri maupun hakim, agar senantiasa membersihkan dan meluruskan
niat ketika hendak menyelesaikan suatu permasalahan rumah tangga.
Kesimpulannya adalah, bahwa kewajiban
suami dan istri dalam kehidupan rumah tangga pada intinya adalah mentaati
segala perintah Allah Ta'ala. Seorang suami harus menjaga hak-hak istrinya,
sebaliknya sang istri juga harus taat dan menjaga hak-hak suaminya. Suami istri
harus selalu berbuat baik dalam menjalin interaksi antara keduanya. Dengan
perlakuan baik antara keduanya, InsyaAllah kehidupan rumah tangga akan
senantiasa berjalan dengan indah.
(Artikel
ini diterjemahkan dari catatan Abu Hamam As-Sa'di di saaid.net oleh tim redaksi alislamu.comdengan sedikit editing)