Start By Reading

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ "Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang". الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ "Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam". الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ "Maha Pemurah lagi Maha Penyayang". مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ "Yang menguasai di Hari Pembalasan". إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ "Hanya Engkaulah yang kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan". اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ "Tunjukilah kami jalan yang lurus", صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ "(yaitu) Jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat".
Wednesday, November 7, 2012

Bagaimana Menyikapi Istri Yang Tidak Taat?

0 comments



Oleh: Syaikh Musthofa Al-Adawi
Pada pembahasan sebelumnya, berkenaan dengan penjelasan ayat tentang superioritas laki-laki atas wanita bagian satu dan dua, sudah dijelaskan alasan mengapa laki-laki lebih superior dari pada wanita khususnya dalam kehidupan rumah tangga. Begitu juga telah dijelaskan tentang kemungkinan adanya permasalahan yang timbul dalam kehidupan rumah tangga.
Pada bagian ini, kita akan membahas tentang solusi dalam mengatasi permasalahan yang timbul pada kehidupan rumah tangga. Di dalam ayat ini Allah Ta'ala telah menjelaskan langkah-langkah yang harus diambil oleh seorang suami ketika ada masalah dalam rumah tangga, terutama yang disebabkan nusyuznya seorang istri. Di antara langkah-langkah tersebut adalah:
Langkah Pertama: Menasehati istri dengan sebaik-baik nasehat.
Allah memerintahkan kita untuk mengedepankan nasehat dalam mengatasi istri yang nusyuz, karena nasehat mempunyai pengaruh yang besar dalam memperbaiki perilaku seseorang, terutama wanita. Wantia cenderung mempunyai perasaan yang lembut, yang apabila suami selalu mengingatkannya dengan surga dan ancaman pedihnya adzab Allah, niscaya seorang istri akan mudah tersentuh dengannya. Oleh karenanya, sang suami harus selalu menasehati istri dengan sebaik-baik nasehat.
Nasehat bukan hanya milik seorang suami, tapi seorang istri juga berhak menasehati suaminya jika dia mendapati kesalahan pada diri suami yang sudah menyelisihi aturan Allah. Tapi yang perlu diingat, dalam menasehati harus pandai-pandai memilih kata yang lembut yang tidak menyakiti hati pasangan kita, sehingga nasihat akan mudah diterima dengan baik.
Dalam sebuah riwayat, dari Abu Umamah dia berkata : Sesungguhnya telah datang seorang pemuda pada Nabi shallalahu ‘alayhi wa sallam seraya berkata : “Wahai Rosululloh, izinkan saya untuk berzina, maka para sahabatnya segera mencelanya “mah-mah” (kalimat cercaan), maka berkatalah Nabi kepadanya : “Sini mendekatlah, maka (pemuda) itu mendekatinya dengan jarak dekat, lalu duduk. Lalu berkatalah (Nabi) : “Apa kamu suka (zina) kepada ibumu ? Dia jawab : Tidak, demi Alloh, Alloh menjadikanku enggan padanya, tidak ada seorangpun kecuali tidak senang menzinai ibunya. Lalu berkata (Nabi shallalahu ‘alayhi wa sallam) : Apakah kamu suka (zina) dengan anakmu? Dia jawab : Tidak, demi Alloh, wahai Rosululloh, Alloh menjadikanku enggan padanya, tidak ada seorangpun kecuali tidak senang menzinai anaknya. Lalu berkatalah (Nabi) : “Apa kamu suka (zina) dengan saudaramu perempuan?” Dia jawab : “Tidak, demi Alloh, Alloh menjadikanku rasa enggan padanya, tidak ada seorangpun kecuali tidak senang menzinai saudara perempuannya”. Lalu berkata (Nabi shallalahu ‘alayhi wa sallam) : “Apakah kamu suka (zina) dengan bibimu (saudara bapak)?” Dia jawab : “Tidak, demi Alloh, wahai Rosululloh, Alloh menjadikanku rasa engan padanya, tidak ada seorangpun kecuali tidak senang menzinai bibinya (saudara bapak).” (Nabi) berkata lagi : “Apakah kamu suka (zina) terhadap bibimu (saudara  ibu)?” Dia jawab : “Tidak, demi Alloh, Alloh menjadikanku rasa enggan padanya, dan tidak ada seorangpun kecuali tidak senang menzinai bibinya (saudara ibu). Maka (Nabi shallalahu ‘alayhi wa sallam ) meletakkan tangannya diatas (kepalanya) lalu berdo’a : “Ya Alloh, ampuni dosanya, bersihkan hatinya, dan jagalah kemaluannya”. Maka pemuda itu tidak menoleh lagi kepada sesuatu (zina).” [HR. Ahmad]
Dalam menasehati istri, seharusnya suami mencontoh Rasulullah seperti kisah di atas. Suami harus memilah dan memilih kata-kata apa yang pantas diucapkan, sehingga tidak menimbulkan permasalahan yang lebih rumit. Dengan perkataan yang baik justru akan mendatangkan ridha Allah yag akan memberikan manfaat dalam penyelesaian suatu masalah.
Dalam hal emosi pun, manusia mempunyai emosi yang berbeda-beda satu dari yang lainnya. Ada orang yang cepat marah tapi juga cepat reda marahnya, ada juga yang sulit marah tapi jika sudah marah sulit juga redanya. Oleh karena itu, dalam menyelesaikan permasalahan rumah tangga, keduanya harus saling memahami emosi masing-masing pasangannya. Mereka harus berperilaku yang tidak membuat marah pasangannya, serta menghindari waktu-waktu dan hal-hal yang bisa membuat masing-masing pasangan menjadi marah.
Allah Ta'ala berfirman, "Jadilah engkau pema'af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf" (Al-A'raf: 199)
Ayat di atas diturunkan berkenaan dengan akhlak manusia, yang juga harus diterapkan dalam kehidupan rumah tangga. Jika seorang suami mendapati istrinya yang cepat marah, hendaknya dia menasehatinya dengan lemah lembut dan menghindari hal-hal yang bisa membuat sang istri marah. Begitu juga istri, jika dia mendapati suaminya mudah marah, maka hendaknya dia tetap sabar dan menghindari hal-hal yang bisa membuat sang suami marah.
Kemarahan dalam rumah tangga harus sebisa mungkin dihindari, karena dalam kondisi marah seseorang bisa berubah tanpa disadarinya. Orang marah bisa menjadi sangat liar dan tidak terkendali layaknya orang yang kehilangan akal. Makanya, Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam bersabda, لا طلاق في إغلاق yang maknanya kurang lebih "tidak ada thalaq dalam kondisi marah". Nabi juga menganjurkan kepada pasangan suami istri hendaknya membiasakan untuk musyawarah dan saling menasehati, agar syetan tidak mudah menyulut api kemarahan di antara keduanya, dan hendaknya mereka saling memahami bahwa mereka hanyalah manusia tempatnya salah dan lupa.
Seorang hakim pun juga tidak boleh menghukumi sesuatu ketika dalam kondisi marah, sebagaimana sabda Nabi Shalallahu alaihi wa sallam,
 لا يقضينَّ حكمٌ بين اثْنينِ وهو غضبان
"Tidak boleh se0rang hakim memberi keputusan terhadap dua orang ( yang dibicarakan) sedang dia dalam keadaan marah ( terhadap salah seorang atau sebab lain)". (HR. Bukhari)
Sebagai seorang manusia, marah merupakan hal yang wajar selama masih dalam batas-batasnya dan tidak berlebih-lebihan. Dalam sebuah hadits mauquf dari Aisyah radhiallahu anha menunjukkan bahwa beliau juga pernah marah dan Rasulullah tidak mengingkarinya.
Hadis Aisyah r.a katanya:
Ketika datang berita kepada Rasulullah s.a.w mengenai gugurnya Ibnu Harithah, Jaafar bin Abu Talib dan Abdullah bin Rawahah r.a Rasulullah s.a.w duduk dan kelihatan bersedih hati. Aisyah melihat dari celah pintu. Lalu datanglah seseorang menceritakan perihal isteri Jaafar dan memberitahu mengenai ratapan mereka. Lalu Rasulullah s.a.w menyuruh orang tersebut pergi melarang mereka. Kemudian orang itu pergi dan kembali semula serta memberitahu bahawa: Mereka tidak menghiraukan aku! Rasulullah s.a.w menyuruhnya untuk kali kedua supaya pergi melarang isteri Jaafar tersebut. Kemudiannya orang itu pergi dan kembali sekali lagi serta memberitahu: Demi Allah! Kami tidak berjaya memujuk mereka, wahai Rasulullah! Aisyah berkata: Kalau tidak salah aku, Rasulullah s.a.w bersabda: Pergilah dan sumbatlah tanah ke mulut mereka supaya mereka berhenti dari meratap! Aisyah berkata: Semoga Allah menutup mulut kamu dengan tanah. Demi Allah! Engkau tidak melaksanakan apa yang diperintahkan oleh Rasulullah s.a.w dan engkau tidak ingin meninggalkan Rasulullah s.a.w bebas dari kesusahan. (HR. Muslim)
Kita juga pernah mendengar bahwa Nabi Musa alaihissalam juga pernah marah, beliau pernah membunuh seorang qibthi, beliau juga pernah menyobek lembaran-lembaran, akan tetapi beliau juga mempunyai lautan kebaikan yang begitu banyaknya, sehingga Allah mengampuni beliau.
Ada sebuah teladan hebat bagi seorang istri, dialah Ummu Sulaim ibunda dari Anas bin Malik. Salah satu kisah beliau yang patut menjadi teladan adalah sebagai yang diriwayatkan Anas bin Malik berikut,
Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa seorang anak dari Abu Thalhah sakit. Ketika Abu Thalhah keluar, anak itu meninggal. Ketika Abu Thalhah kembali, dia bertanya, “Bagaimana anakku?” Ummu Sulaim menjawab, “Ia dalam kondisi sangat tenang,” seraya menghidangkan makan malam kepadannya, dan dia pun makan. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Ummu Sulaim berkata, “Jangan beritahukan kepada Abu Thalhah tentang kematian anaknya.” Kemudian ia melakukan tugasnya sebagai isteri kepada suaminya, lalu suaminya berhubungan intim dengannya. Ketika akhir malam, ia berkata kepada suaminya, “Wahai Abu Thalhah, bagaimana pendapatmu bila keluarga si fulan meminjam suatu pinjaman, lalu memanfaatkannya, kemudian ketika pinjaman itu diminta, mereka tidak suka?” Ia menjawab, “Mereka tidak adil.” Ummu Sulaim berkata, “Sesungguhnya anakmu, fulan, adalah pinjaman dari Allah dan Dia telah mengambilnya.” Abu Thalhah beristirja’ (mengucapkan: Innaa lillaahi wa innaaa ilaih raaji’uun) dan memuji Allah seraya mengatakan, “Demi Allah, aku tidak membiarkanmu mengalahkanku dalam kesabaran.” Pada pagi harinya, dia datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tatkala beliau melihatnya, beliau bersabda, “Semoga Allah memberkahi kalian berdua di malam hari kalian.” Keberkahan itu, sejak malam itu, mencakup ‘Abdullah bin Abi Thalhah, dan tidak ada pada kaum Anshar seorang pemuda yang lebih baik darinya. Dari ‘Abdullah tersebut lahirlah banyak anak, dan ‘Abdullah tidak meninggal sehingga dia dikaruniai sepuluh anak yang semuanya hafal al-Qur-an, dan dia wajat di jalan Allah. (HR. Bukhari)
Lihatlah, betapa tabah dan santunnya seorang Ummu Sulaim dalam menjalani kehidupan rumah tangganya.
Maka, sudah selayaknya dalam kehidupan kita ada kebiasaan saling menasehati, terutama dalam kehidupan rumah tangga antara suami dan istri. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Ibnu Umar pernah ingin menceraikan salah satu istrinya, tapi istri lainnya berkata kepadanya, "Apakah engkau ingin menyengsarakan seorang wanita yang rajin puasa dan bertanggung jawab?" Mendengar itu Ibnu Umar mengurungkan niatnya dan tidak jadi menceraikannya. Lihatlah sosok Ibnu Umar yang dengan lapang menerima nasehat dari istrinya, karena tidak mau menerima nasehat termasuk sebuah kesombongan. Dalam hadits disebutkan bahwa Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam bersabda, "Sombong itu adalah menolak kebenaran dan meremehkan manusia."
Oleh karena itu, memohonlah kepada Allah dan minta kepada-Nya untuk memperbaiki perilaku pasangan anda. Sebagaimana Allah Ta'ala telah memperbaiki keadaan rumah tangga Nabi Zakaria dan istrinya. Dalam Al-Qur'an disebutkan kisah tentang istri Nabi Zakaria, yaitu firman-Nya,
"Maka Kami memperkenankan do'anya, dan Kami anugerahkan kepada nya Yahya dan Kami jadikan isterinya dapat mengandung. Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka berdo'a kepada Kami dengan harap dan cemas . Dan mereka adalah orang-orang yang khusyu' kepada Kami." (Al-Anbiya': 90)
Istri Nabi Zakaria sebelumnya adalah wanita yang mandul, akan tetapi karena kesungguhan beliau dalam berdoa dan memohon kepada Allah, Allah pun menjawab doa beliau, sehingga lahirlah dari rahim beliau seorang Nabi mulia bernama Yahya alaihimussalam.
Perlu diketahui juga, bahwa perilaku pasangan kita terkadang berhubungan dengan perilaku kita juga. Hasan Al-Bashri pernah berkata, "Demi Allah, sungguh aku bisa mengetahui dosaku dari perilaku istriku kepadaku dan perilaku hewan tungganganku." Maka, terkadang sikap pasangan kita kurang baik kepada kita, karena kita berbuat maksiat atau keburukan lainnya. Hal ini senada dengan firman Allah Ta'ala yang artinya,
"Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu)." (As-Syuraa: 30)
Perlu diketahui bahwa yang berkuasa mendatangkan kebaikan dan keburukan kepada kita hanyalah Allah Ta'ala, maka Allah pula lah yang mampu menyalakan sekaligus memadamkan segala permasalahan, terutama dalam keluarga. Akan tetapi perlu diingat juga, bahwa masalah yang timbul dalam kehidupan kita juga tidak lepas dari sebab perbuatan diri kita sendiri, maka hendaknya kita senantiasa memperbanyak istighfar kepada Allah Ta'ala, karena dengan istighfar akan menghantarkan kita pada kehidupan yang berbahagia, Allah Ta'ala berfirman yang artinya, Dan Allah sekali-kali tidak akan mengazab mereka, sedang kamu berada di antara mereka.
"Dan tidaklah (pula) Allah akan mengazab mereka, sedang mereka meminta ampun" (Al-Anfal: 33)
Maka, dalam menyikapi istri yang tidak taat, anda sebagai suami harus jeli dalam menyelesaikan permasalahan ini. Terkadang seorang suami menganggap istrinya berbuat kesalahan padahal sang istri merasa perbuatannya itu tidak salah. Maka, sebagai suami yang baik jangan langsung memvonis bahwa istri melakukan nusyuz, tapi harus ditanya dahulu dengan baik apa sebab sang istri melakukan perbuatan yang tidak disukai suaminya itu. Sebagai contoh, Nabi Muhammad pun juga berusaha memahami keadaan istrinya, Aisyah radhiallahu anha, sebagaimana disebutkan dalam riwayat,
“Pada suatu hari, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadaku, ‘Sungguh, aku mengetahui bila engkau ridha kepadaku, demikian pula bila engkau sedang marah kepadaku.’ Spontan, Aisyah bertanya, ‘Darimana engkau dapat mengetahui hal itu?’ Rasulullah menjawab, ‘Bila engkau sedang ridha kepadaku, maka ketika engkau bersumpah, engkau berkata, ‘Tidak, demi Tuhan Muhammad. Adapun bila engkau sedang dirundung amarah, maka ketika engkau bersumpah, engkau berkata, ‘Tidak, demi Tuhan Ibrahim.’’ Mendengar penjelasan ini, Aisyah menimpalinya dan berkata, ‘Benar, sungguh demi Allah, wahai Rasulullah, ketika aku marah, tiada yang aku tinggalkan, kecuali namamu saja.’” (Muttafaqun ‘alaihi)
Sebaliknya, Aisyah pun juga selalu berusaha memahami keadaan Nabi Muhammad Shalallahu alaihi wa sallam.
Langkah Kedua: Pisah ranjang
Hal ini sebagaimana yang diajarkan Al-Qur'an di mana Allah Ta'ala berfirman,
وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ
"dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka" (An-Nisa': 34)
Perlu diingat, tahap kedua ini tidak semena-mena dikenakan pada istri yang taat, tetapi lebih untuk istri yang memang sudah pantas untuk mendapat perlakuan tahap kedua ini. Pisah yang dimaksud di sini pun hanya dalam urusan ranjang saja, tidak termasuk urusan-urusan yang lain.
Dalam pelaksanaan hajr (pisahan) ini ada hal yang harus diperhatikan. Sang suami boleh menghajr istrinya tapi tidak boleh mengusirnya keluar rumah atau memulangkannya kepada pihak keluarga istri. Hal seperti ini yang sering dilakukan oleh orang-orang yang tidak mengerti hakikat hajr. Akan tetapi, jika sang suami memang ingin menenangkan diri, dia boleh keluar rumah misalnya ke masjid. Keluarnya suami itu lebih baik dari pada istri yang keluar. Tetapi, jika sang istri memang meminta untuk pulang ke keluarganya demi kemaslahatan, sang suami juga tidak boleh melarangnya, sehingga timbullah saling menghargai di antara kedua pasangan walau ketika ada masalah.
Bentuk pelaksanaan Hajr:
Para ahli fiqih berbeda pendapat mengenai bentuk hajr itu sendiri, sebagian ulama mengatakan bahwa hajr yaitu saling membelakangi antara suami dan istri ketika di atas ranjang. Sebagian yang lain mengatakan bahwa hajr yaitu meninggalkan jima' (hubungan pasutri). Sebagian lain lagi mengatakan bahwa hajr itu pisah ranjang antara suami dan istri.
Adapun lama waktu hajr berakhir ketika sang istri sudah taubat dari nusyuznya dan meminta maaf kepada suami, karena alasan adanya hajr adalah adanya nusyuz dari istri yang dimaksudkan untuk mendidik dan memberi pelajaran bagi istri. Maka, jika tujuan sudah tercapai, masa hajr pun juga harus segera diakhiri.
Langkah ketiga: Memukul istri dengan pukulan yang tidak menyakitkan dan pada area-area tertentu.
Hal ini sebagaimana yang difirmankan Allah Ta'ala,
وَاضْرِبُوهُنَّ
 "dan pukullah mereka." (Al-Anfal: 34)
Nabi shalallahu alaihi wa sallam telah menjelaskan maksud memukul pada ayat di atas, yaitu pukulan yang tidak menyakitkan dan tidak menimbulkan bekas di anggota tubuh. Walaupun begitu, menahan diri untuk tidak memukul sebisa mungkin juga merupakan sunnah Nabi shalallahu alaihi wa sallam, karena Rasulullah tidak pernah memukul istri maupun pembantu beliau kecuali dengan pukulan ringan saja.
Setelah tiga tahapan dalam menghadapi sikap istri yang nusyuz di atas, Allah Ta'ala melanjutkan firmannya,
فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلاَ تَبْغُواْ عَلَيْهِنَّ سَبِيلاً إِنَّ اللّهَ كَانَ عَلِيّاً كَبِيراً
"Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya . Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar." (An-Nisa': 34)
Dalam ayat di atas, Allah Ta'ala menjelaskan kepada kita bahwa jika berbagai tahapan dalam menghadapi istri nusyuz sudah kita laksanakan dan istri pun sudah taat pada suami, hendaknya sang suami jangan mencari-cari kesalahan istrinya. Bahkan, sang suami tidak boleh menghajr atau memukul istrinya jika memang istri taat dan patuh terhadap suami. Suami jangan membuat-buat alasan supaya bisa memukul atau menganiaya istri seenaknya.
Allah Maha Tinggi dan Maha Besar, oleh karenanya seorang suami tidak boleh merasa paling berkuasa di dalam rumah tanggannya sehingga membuat dia bertindak semena-mena terhadap istri. Allah sangat mudah memberikan hukuman terhadap suami yang semena-mena dan dzalim terhadap istri.
 Coba bayangkan, jika kita mempunyai anak perempuan atau saudara perempuan, kemudian dia disiksa, didzalimi atau diperlakukan tidak adil oleh suaminya, maka sudah pasti kita tidak akan terima hal itu. Oleh karenanya, sebagai seorang suami janganlah pernah mendzalimi istri dan sebagai seorang istri janganlah pernah membantah suami. Karena Allah Ta'ala maha mengetahui apa yang terjadi di dalam rumah tangga kita.
Selanjutnya Allah Ta'ala berfirman,
وَإِنْ خِفْتُمْ شِقَاقَ بَيْنِهِمَا فَابْعَثُواْ حَكَماً مِّنْ أَهْلِهِ وَحَكَماً مِّنْ أَهْلِهَا إِن يُرِيدَا إِصْلاَحاً يُوَفِّقِ اللّهُ بَيْنَهُمَا إِنَّ اللّهَ كَانَ عَلِيماً خَبِيراً
"Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal." (An-Nisa': 35)
Para ulama, dalam menafsirkan kalimat "وَإِنْ خِفْتُمْ شِقَاقَ بَيْنِهِمَا" pada ayat di atas berbeda-beda pendapat, tetapi mayoritas mereka mengartikan, jika kalian para wali mengetahui ada suatu perselisihan antara suami dan istri, maka hendaknya diutus dari kedua belah pihak (suami dan istri) seorang hakim atau orang yang dianggap mampu menyelesaikan masalah ini, dan kedua hakim dari dua belah pihak tadi dipertemukan untuk menyelesaikan masalah secara baik-baik.
Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam juga telah mengancam keras bagi siapa yang memecah belah hubungan keluarga antara suami dan istri, sebagaimana dalam salah satu sabdanya, "Barang siapa yang membuat kabur pembantu dari majikannya, maka dia bukan dari golongan kami, dan barang siapa yang memisahkan istri dari suaminya, maka dia bukan dari golongan kami."
Ayat-ayat Al-Qur'an yang memerintahkan kita untuk selalu berdamai dan memperbaiki hubungan antar sesama juga sangat banyak, di antaranya:
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ (الحجرات: 10)
"Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat." (Al-Hujurat: 10)
لا خَيْرَ فِي كَثِيرٍ مِنْ نَجْوَاهُمْ إِلَّا مَنْ أَمَرَ بِصَدَقَةٍ أَوْ مَعْرُوفٍ أَوْ إِصْلَاحٍ بَيْنَ النَّاسِ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ ابْتِغَاءَ مَرْضَاتِ اللَّهِ فَسَوْفَ نُؤْتِيهِ أَجْرًا عَظِيمًا (النساء: 114)
"Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma'ruf, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. Dan barangsiapa yang berbuat demikian karena mencari keredhaan Allah, maka kelak Kami memberi kepadanya pahala yang besar." (An-Nisa': 114)
Pada ayat di atas, Allah memerintahkan kepada kita agar selalu memperbaiki ukhuwah, memerintahkan sodaqoh, mengajak kepada kebaikan, atau mendamaikan persengketaan yang ada di masyarakat. Tentunya semua hal ini harus diniatkan untuk mengharap ridho Allah Ta'ala.
Dalam sebuah riwayat, Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam pernah bersabda, “Orang-orang yang berlaku adil berada di sisi Allah di atas mimbar (panggung) yang terbuat dari cahaya, di sebelah kanan Ar-Rahman ‘Azza wa Jalla sedangkan kedua tangan Allah adalah kanan: Yaitu orang-orang yang berlaku adil dalam hukum, adil dalam keluarga, dan adil dalam melaksanakan tugas yang di bebankan kepada mereka.” (HR. Muslim no. 3406)
Hadits di atas juga menunjukkan betapa mulianya orang yang adil dalam menyelesaikan masalah, terutama bagi para hakim dan penegak hukum. Terutama dalam permasalahan perselisihan antara suami dan istri, sebagaimana tema yang dibahas kali ini.
Kemudian, Allah Ta'ala menutup ayat ini dengan firman-Nya,
إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا خَبِيرًا
"Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar" (An-Nisa': 34)
Maksud dari ayat di atas adalah untuk mengingatkan kita bahwa Allah Maha Mengetahui semua yang terbesit dalam hati manusia, dalam tema ini khususnya dua hakim dan pasangan suami istri, apakah mereka memang menginginkan perbaikan/kedamaian? atau mereka malah ingin memperkeruh permasalahan keluarga ini? Allah Maha mengetahui apa yang terbesit di hati mereka.
Oleh karenanya, kepada seluruh pihak, baik itu suami, istri maupun hakim, agar senantiasa membersihkan dan meluruskan niat ketika hendak menyelesaikan suatu permasalahan rumah tangga.
Kesimpulannya adalah, bahwa kewajiban suami dan istri dalam kehidupan rumah tangga pada intinya adalah mentaati segala perintah Allah Ta'ala. Seorang suami harus menjaga hak-hak istrinya, sebaliknya sang istri juga harus taat dan menjaga hak-hak suaminya. Suami istri harus selalu berbuat baik dalam menjalin interaksi antara keduanya. Dengan perlakuan baik antara keduanya, InsyaAllah kehidupan rumah tangga akan senantiasa berjalan dengan indah.

(Artikel ini diterjemahkan dari catatan Abu Hamam As-Sa'di di saaid.net oleh tim redaksi alislamu.comdengan sedikit editing)

Leave a Reply

DisClaimer Notes: Jika di Blog kami ditemukan kesengajaan dan atau tidak sengaja menyakiti siapa pun dan dalam hal apapun termasuk di antaranya menCopas Hak Cipta berupa Gambar, Foto, Artikel, Video, Iklan dan lain-lain, begitu pula sebaliknya. Kami mohon agar melayangkan penyampaian teguran, saran, kritik dan lain-lain. Kirim ke e-mail kami :
♥ amiodo@ymail.com atau ♥ adithabdillah@gmail.com