Dok/Fajar
Marwan Mas
Oleh: Marwan Mas (Guru Besar Ilmu Hukum Universitas 45, Makassar)
PEMBERIAN grasi bagi terpidana narkoba kembali menggeliat perdebatannya di ruang publik. Ini dipicu oleh tertangkapnya seorang kurir yang membawa sabu seberat 775 gram di Bandara Husein Sastranegara, Bandung 4 Oktober oleh Badan Narkotika Nasional (BNN). Menurut BNN, sang kurir menyelundupkan barang haram atas suruhan terpidana mati kasus narkoba bernama Meirika Franola yang baru saja mendapat grasi dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Franola yang mendekam di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Wanita Tangerang, ternyata masih saja aktif mengendalikan bisnis haramnya di balik penjara. Padahal, sudah diberi grasi dari pidana mati menjadi pidana penjara seumur hidup, yang berarti selama ini memiliki perilaku yang baik dalam penjara. Wajar jika publik menuding, Presiden SBY kecolongan, kalau tidak dikatakan “dikelabui” oleh laporan petugas Lapas, termasuk telah mempertimbangkan pendapat Mahkamah Agung (MA). Kementerian Hukum dan HAM yang membawahi Lapas Wanita Tangerang harus bertanggung jawab atas data yang tidak benar dan akurat yang diberikan kepada presiden.
Evaluasi dan Hentikan
Sejak maraknya pemberian grasi bagi terpidana mati kasus narkoba dan terpidana penjara korupsi, sebetulnya selalu disorot dan dikritisi. Tetapi selalu saja mulus langkahnya dengan berbagai alasan. Misalnya, karena alasan kemanusian, memiliki perilaku yang baik di Lapas, atau karena ingin agar warga Indonesia yang menjadi terpidana di negara lain bisa diperlakukan sama. Wajar jika publik menuntut agar pemberian grasi bagi terpidana narkoba, terpidana korupsi, dan terorisme segera dihentikan lantaran mencederai rasa keadilan masyarakat, serta berpotensi menimbulkan bahaya di masa mendatang.
Seperti diketahui, Franola bersama dua sepupunya, Deni Setia Maharwa, dan Rani Andriani divonis hukuman mati tahun 2000. Ketiganya terbukti bersalah menyelundupkan 3,5 kilogram heroin dan 3 kg kokain melalui Bandara Soekarno-Hatta ke London pada 12 Januari 2000. Deni Setia Maharwa juga mengikuti jejak Franola, diberi grasi oleh presiden. Maka itu, berkaca dari kasus Franola yang ternyata masih aktif dalam peredaran gelap narkoba di balik penjara, pemberian grasi harus dievaluasi untuk kemudian dihentikan.
Grasi merupakan pengampunan dari Kepala Negara sebagai salah satu elemen hukum yang diatur dalam Pasal 14 ayat (1) UUD 1945. Dalam sejarah perjalanan grasi, umumnya diberikan karena pertimbangan kemanusiaan setelah memperhatikan pertimbangan MA. Tidak boleh semabarangan diberikan, harus tetap mengacu pada akibat yang ditimbulkan dari perbuatan terpidana, seperti kepentingan para korban atau calon korban sebagai bagian dari perlindungan hak asasi manusia (HAM). Para generasi muda memilki hak untuk dilindungi dari dampak penyediaan dan pengedaran narkoba yang mengancam keselamatan jiwa.
Grasi dan berbagai bentuk pemberian keringanan hukuman bagi bandar narkoba, selain menodai HAM generasi muda, juga membuka peluang untuk menguatkan mafia narkoba. Kasus Franola tidak bisa dinafikan sebagai indikasi bahwa Lapas bukan sebuah lembaga yang benar-benar imun dan terisolasi dari peredaran gelap narkoba. Banyak bukti terurai, misalnya saat Wakil Menteri Hukum dan HAM, Denny Indrayana melakukan sidak di Lapas, ditemukan barang haram itu beredar di kalangan narapidana. Fenomena yang di luar logika ini, tidak mungkin lancar berjalan tanpa ada restu dari petugas Lapas, sehingga Lapas menjadi salah satu tempat yang aman bagi bandar dan peredaran narkoba.
Mafia Narkoba
Lebih jauh dari itu, kita harus lebih sigap menangkal dampak dan pengaruh yang terjadi di negara-negara tempat mafia narkoba yang begitu kuat, seperti Kolombia, Meksiko, dan sejumlah negara di kawasan Amerika Latin. Betapa tidak, mafia narkoba pada negara-negara tersebut berhasil mendikte para penegak hukum dan orang-orang di pemerintahan. Untuk melanggengkan bisnis mereka, uang sogokan akan disebar kepada pengambil kebijakan yang terkait dengan penanggulangan narkoba.
Jika uang tidak mempan membungkam aparat hukum dan pemerintahan, tindakan kekerasan pun dilakukan dengan membunuh aparat hukum seperti aparat kepolisian, jaksa, atau hakim yang mencoba menghalangi bisnis haramnya. Tindakan teror dalam kehidupan masyarakat juga dilakukan, misalnya mengancam dan meneror kompleks pemukiman yang menjadi tempat peredaran narkoba jika ada warga yang melapor kepada polisi. Negeri ini tidak boleh menjadi surga peredaran narkoba, terutama setelah fakta menunjukkan bahwa peredaran gelap narkoba sudah merambah subur di kota-korta besar Indonesia, termasuk Makassar.
Langkah mafia narkoba begitu berani mengeluarkan banyak uang untuk menjamin hidup para kurir mereka, baik sebelum tersentuh aparat hukum maupun saat ditangkap dan dipenjara. Hidup mereka, terutama keluarganya akan dijamin oleh para bandar, sehingga merekrut orang-orang Indonesia menjadi kurir bukan sesuatu yang sulit. Iming-iming kehidupan yang menjanjikan, ditambah sulitnya mendapatkan pekerjaan menjadi satu kesatuan yang harus kita eliminir bersama.
Lebih meyakinkan lagi saat para bandar dan mafia narkoba dari luar negeri mengetahui realitas hukum negeri ini yang bisa dibeli. Bahwa hukum Indonesia yang masih permisif terhadap pelaku kejahatan narkoba, tentu tidak mungkin dimungkiri. Hadiah grasi bagi Franola meskipun mendekam dalam penjara merupakan bukti, lantaran masih saja bebas beraksi. Maka itu, adanya bisik-bisik bahwa Presiden SBY akan menganulir grasi yang diberikan pada Franola akibat kecolongan, dari satu aspek patut diapresiasi. Tetapi pada aspek lain perlu dijarikan pelajaran untuk mengatakan “tidak ada grasi” bagi bandar penjahat narkoba.
Wednesday, February 27, 2013
Subscribe to:
Post Comments (Atom)