(ditulis oleh:
Al-Ustadz Abu Ubaidah Safruddin)
Pembagian Jihad
Asy-Syaikh Ibnu
Utsaimin t membagi jihad menjadi tiga:
1.
Jihadun Nafs,
Yaitu
menundukkan jiwa dan menentangnya dalam bermaksiat kepada Allah. Berusaha menundukkan
jiwa untuk selalu berada di atas ketaatan kepada Allah dan melawan seruan untuk
bermaksiat kepada Allah. Jihad yang seperti ini tentunya akan terasa sangat
berat bagi manusia, lebih-lebih saat mereka tinggal di lingkungan yang tidak
baik. Karena lingkungan yang tidak baik akan melemahkan jiwa dan mengakibatkan
manusia jatuh ke dalam perbuatan yang diharamkan Allah, juga meninggalkan
apa-apa yang diperintahkan-Nya.
2.
Jihadul Munafiqin,
Yaitu
melawan orang-orang munafiq dengan ilmu dan bukan dengan senjata. Karena
orang-orang munafiq tidak diperangi dengan senjata. Para shahabat pernah
meminta izin kepada Rasulullah SAW untuk membunuh orang-orang munafik yang
telah diketahui kemunafikannya, kemudian beliau bersabda: “Jangan, supaya tidak
terjadi pembicaraan oleh orang, bahwa Muhammad membunuh sahabatnya.” (HR.
Muslim, dari shahabat Jabir).
Jihad melawan mereka adalah dengan ilmu. Oleh karena itu wajib atas kita semua untuk mempersenjatai diri dengan ilmu di hadapan orang-orang munafiq yang senantiasa mendatangkan syubhat terhadap agama Allah untuk menjauhkan manusia dari jalan Allah. Jika pada diri manusia tidak ada ilmu, maka syubhat, syahwat, dan perkara bid’ah yang datang terus-menerus (akan bisa merusak dirinya), sementara ia tidak mampu menolak dan membantahnya.
3.
Jihadul Kuffar,
Yaitu
memerangi orang-orang kafir yang menentang, yang memerangi kaum muslimin, dan
yang terang-terangan menyatakan kekafirannya, (dan jihad ini dilakukan) dengan
senjata. (Asy-Syarhul Mumti’, 8/7-8)
Ibnul
Qayyim Al Jauziyah membagi jihad menjadi empat bagian:
1.
Jihadun Nafs (Jihad melawan diri
sendiri)
2.
Jihadusy Syaithan (Jihad melawan
syaithan)
3.
Jihadul Kuffar (Jihad melawan kaum
kuffar)
4.
Jihadul Munafiqin (Jihad menghadapi
kaum munafiqin)
Setiap
bagian di atas, masing-masing memiliki tingkatan-tingkatan. Jihadun Nafs
memiliki empat tingkatan:
a.
Berjihad melawan diri sendiri dengan
cara mempelajari kebenaran dan agama yang hak, di mana tidak ada kebahagiaan
dan kemenangan dunia dan akhirat kecuali dengannya, dan bila terluputkan
darinya akan mengakibatkan sengsara.
b.
Berjihad melawan diri sendiri dengan
mengamalkan ilmu yang dipelajari. Karena jika hanya sekedar ilmu tanpa amal,
akan memberi mudharat kepada jiwa atau tidak akan ada manfaat baginya.
c.
Berjihad melawan diri sendiri dengan
mendakwahkan ilmu yang telah dipelajari dan diamalkannya, mengajarkan kepada
orang yang belum mengetahui. Jika tidak demikian, ia akan tergolong ke dalam
orang-orang yang menyembunyikan petunjuk dan penjelasan yang telah Allah
turunkan. Dan ilmunya tidaklah bermanfaat serta tidak menyelamatkannya dari
adzab Allah Azza wa Jalla.
d.
Berjihad melawan diri sendiri dengan
bersikap sabar ketika mendapatkan ujian dan cobaan, baik saat belajar agama,
beramal dan berdakwah. Barangsiapa telah menyempurnakan empat tingkatan ini, ia
akan tegolong orang-orang yang Rabbani (pendidik). Karena para ulama Salaf
sepakat bahwa seorang alim tidak berhak diberi gelar sebagai ulama yang
Rabbani, sampai ia mengetahui Al-Haq,
mengamalkan serta mengajarkannya. Barangsiapa yang berilmu, mengamalkan dan
mengajarkannya, ia akan diagungkan di hadapan para malaikat yang berada di
langit.
Dalil
yang menjelaskan tentang jihadun nafs ini adalah sabda Rasulullah SAW
dalam hadits Fudhalah bin ‘Ubaid, beliau SAW bersabda:
“Yang disebut mujahid adalah orang yang berjihad melawan (menundukkan) dirinya sendiri di jalan Allah.” (HR. Ahmad dan yang lain, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Muqbil t dalam kitab Ash-Shahihul Musnad (2/156) dan kitab Al-Jami’ Ash-Shahih (3/184).
Ibnul
Qayyim t berkata: “Ketika jihad melawan musuh-musuh Allah SWT yang berada di
luar diri sendiri (syaithan, kaum kuffar, dan munafikin) merupakan cabang dari
jihad seorang hamba untuk menundukkan dirinya dalam ketaatan kepada Allah SWT,
maka jihadun nafs lebih diutamakan daripada jihad lainnya. Karena barangsiapa
yang tidak mengawali dalam berjihad melawan diri sendiri dengan melakukan apa
yang diperintahkan Allah dan menjauhi apa yang dilarang-Nya, serta memerangi
diri sendiri di jalan Allah, tidak mungkin baginya untuk dapat berjihad melawan
musuh yang datang dari luar. Bagaimana dia mampu berjihad melawan musuh dari
luar, sementara musuh yang datang dari dirinya sendiri dapat menguasai dan
mengalahkannya?”
Jihadusy
Syaithan, ada dua tingkatan:
Berjihad untuk
menghalau segala sesuatu yang dilontarkan oleh syaithan kepada manusia berupa
syubhat dan keraguan yang dapat membahayakan perkara iman.
Berjihad untuk
menghalau segala apa yang dilemparkan syaithan berupa kehendak buruk dan
syahwat. Dari dua tingkatan ini, untuk tingkatan pertama barangsiapa yang mampu
mengerjakannya akan membuahkan keyakinan. Dan tingkatan yang kedua akan
membuahkan kesabaran.
Allah SWT berfirman:
“Dan Kami jadikan di
antara mereka itu pemimipin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami
ketika mereka sabar. Dan adalah mereka meyakini ayat-ayat kami.” (As-Sajdah:
24)
Pada ayat ini Allah SWT
memberitakan bahwa kepemimpinan dalam agama hanya akan diperoleh dengan
kesabaran dan keyakinan. Sabar akan menolak syahwat dan kehendak buruk,
adapun keyakinan akan menolak keraguan dan syubhat.
Dalil yang menjelaskan tentang jihadusy syaithan, firman Allah SWT:
Dalil yang menjelaskan tentang jihadusy syaithan, firman Allah SWT:
“Sesungguhnya
syaithan itu adalah musuh bagimu, maka jadikanlah ia sebagai musuh, karena
sesungguhnya syaithan itu hanya mengajak golongannya supaya mereka menjadi
penghuni neraka yang menyala-nyala.” (Fathir: 6)
Ibnul Qayyim t
berkata: “Perintah Allah dalam ayat ini agar menjadikan syaithan sebagai musuh,
menjadi peringatan akan adanya keharusan mencurahkan segala kemampuan dalam
memerangi syaithan, berjihad melawannya. Karena syaithan itu bagaikan musuh
yang tidak mengenal putus asa, lesu, dan lemah dalam memerangi dan menggoda
seorang hamba dalam selang beberapa nafas.” (Zaadul Ma’ad, 3/6)
Jihadul Kuffar wal
Munafiqin ada empat tingkatan:
a.
Berjihad dengan hati
b.
Berjihad dengan lisan
c.
Berjihad dengan harta
d.
Berjihad dengan jiwa
Dalil yang
menjelaskan tentang bagian ketiga dan keempat ini adalah firman Allah SWT:
“Hai Nabi,
berjihadlah melawan orang-orang kafir dan orang-orang munafik itu dan bersikap
keraslah terhadap mereka.” (At-Taubah: 73)
Jihad melawan kaum
kuffar lebih dikhususkan dengan tangan (kekuatan), sedangkan melawan kaum
munafiq lebih dikhususkan dengan lisan.
Bagian berikutnya, adalah jihad melawan kedzaliman, bid’ah, dan kemungkaran.
Bagian berikutnya, adalah jihad melawan kedzaliman, bid’ah, dan kemungkaran.
Terdapat tiga
tingkatan:
a. Berjihad dengan tangan apabila mampu, jika tidak maka berpindah kepada yang
berikutnya.
b. Berjihad dengan lisan, jika tidak mampu berpindah kepada yang berikutnya
c. Berjihad dengan hati
Dalil yang menjelaskan tentang bagian akhir ini adalah hadits Abu Sa’id Al-Khudri z, bahwa Rasulullah r bersabda: “Barangsiapa melihat kemungkaran hendaknya ia rubah dengan tangannya. Jika tidak mampu maka dengan lisannya dan jika tidak mampu maka dengan hati. Yang demikian itu adalah selemah-lemah iman.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Dari semua tingkatan dalam jihad yang tersebut di atas, terkumpullah tiga belas tingkatan. Rasulullah mengingatkan dalam sebuah hadits yang bersumber dari Abu Hurairah z:
“Barang siapa yang meninggal dan belum berperang serta tidak pernah terbersit (cita-cita untuk berperang) dalam dirinya, (maka ia) meninggal di atas satu bagian dari nifaq.” (HR. Muslim)
Kemu-dian Ibnul Qayyim t menjelaskan, tidak sempurna jihad seseorang kecuali dengan hijrah. Dan tidak akan ada hijrah dan jihad kecuali dengan iman. Orang-orang yang mengharap rahmat Allah SWT, mereka adalah yang mampu menegakkan tiga hal tersebut, yaitu iman, hijrah, dan jihad.
Allah SWT berfirman:
“Sesungguhnya
orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan
Allah, mereka itu mengharap rahmat Allah dan Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.” (Al-Baqarah: 218)
Sebagaimana iman
merupakan kewajiban atas setiap orang, maka wajib atasnya pula untuk melakukan
dua hijrah pada setiap waktunya, yaitu hijrah kepada Allah dengan (amalan) tauhid,
ikhlas, inabah, tawakkal, khauf, raja’, mahabbah dan hijrah kepada Rasul-Nya
dengan (amalan) mutaba’ah, menjalankan perintahnya, membenarkan segala berita
yang datang darinya, dan mengedepankan perkara dan berita yang datang dari
beliau atas selainnya.
Manusia yang paling sempurna di sisi Allah SWT ialah yang menyempurnakan
seluruh tingkatan jihad di atas. Mereka berbeda-beda tingkatannya di sisi Allah
SWT, sesuai dengan penempatan diri mereka terhadap tingkatan jihad
tersebut. Oleh karena itu, manu-sia yang paling sempurna dan mulia di sisi Allah
SWT adalah penutup para Nabi dan Rasul, yaitu Rasulullah r. Karena beliau telah
menyempurnakan seluruh tingkatan jihad yang ada dan beliau telah berjihad
dengan jihad yang sebenar-benarnya. Beliau r telah melakukan jihad sejak awal
diutus hingga wafatnya, baik dengan tangan, lisan dan hati serta hartanya.
(Zaadul Ma’ad, 3/9-11)
Wallahu a’lam.
Isyarat kepada hadits
Rasulullah dari shahabat Mu’adz bin Jabal z, Rasulullah bersabda: “Maukah aku
beritahukan kepadamu tentang pokok pangkal dari semua urusan, tiangnya dan
puncaknya yang tertinggi?” Aku berkata: “Ya, wahai Rasulullah.” Beliau
bersabda: “Pokok pangkal dari urusan ini adalah Islam, tiangnya adalah shalat,
dan puncaknya yang tertinggi adalah jihad.” (HR. At-Tirmidzi dan beliau
mengatakan: “Hadits hasan shahih.”)