(ditulis oleh:
Al-Ustadz Abu Ubaidah Safruddin)
Jihad adalah
amalan yang sangat agung. Ia bahkan menjadi puncaknya Islam. Namun sayang,
wajah Islam saat ini justru tercoreng dengan beragamnya paradigma mengenai
jihad oleh umat Islam sendiri. Keadaan ini memunculkan berbagai amalan yang
diklaim oleh pelakunya sebagai jihad, padahal bila ditinjau dari ajaran Islam
bukan termasuk jihad. Akibat lebih jauh, Islam kini dianggap sebagai agama
teroris, biang kerusakan, dan anti perdamaian. Berikut, kami mencoba
mendudukkan persoalan jihad sesuai dengan paradigma orang-orang terbaik umat
ini: para ulama yang mengikuti jejak Salafush Shalih.
“Pokok pangkal dari
urusan ini adalah Islam, tiangnya adalah shalat dan puncaknya yang tertinggi
adalah jihad.”
Banyak manusia
memandang amalan jihad tanpa dilandasi ilmu hingga menyebabkan banyak
kekeliruan dan menambah peliknya persoalan. Yang paling parah adalah munculnya
penyimpangan yang demikian jauh dari pengertian sebagaimana yang telah
dijelaskan oleh para ulama.
Karena itu, banyak
kita saksikan belakangan ini berbagai tindakan dan aksi tertentu yang langsung
atau tidak langsung dapat menimbulkan kerusakan di tengah masyarakat, namun
oleh para pelakunya diklaim sebagai jihad. Padahal, Islam sama sekali tidak
memerintahkan amalan tersebut. Sebagai contoh kecil, sikap suka mengkritisi
atau mendiskreditkan pemerintah di depan umum. Bagi para demonstran dari
kalangan hizbiyyin, sikap kritis terhadap pemerintah merupakan “menu wajib”
yang harus dimiliki. Jadilah demonstrasi yang di dalamnya menjadi ajang untuk
mencaci maki pemerintah sebagai bagian dari perjuangan mereka yang tidak
terlewatkan. Mereka akan menganggap orang-orang yang memiliki sikap
berseberangan dengan mereka sebagai penjilat ataupun kaki tangan pemerintah.
Bahkan tak jarang mereka menganggap orang yang suka mendoakan kebaikan untuk
pemerintah sebagai budak pemerintah.
Begitupun dengan
amalan lain, seperti melakukan pengeboman terhadap tempat-tempat ibadah orang
kafir, membunuh orang-orang kafir dengan bom bunuh diri ataupun merusak
fasilitas-fasilitas orang asing yang ada (tanpa melihat hukum syar’i). Semua
tindak kedzaliman ini mereka anggap sebagai jihad, yang tidak akan muncul sikap
demikian bila mereka memahami makna jihad secara benar.
Definisi Jihad
Kata Al-Jihad dengan dikasrah huruf jim asalnya secara bahasa bermakna yang bermakna kesulitan, kesukaran, kepayahan.
Sedangkan secara
syar’i bermakna: “Mencurahkan segala kemampuan dalam memerangi orang-orang
kafir atau musuh.” (Lihat Fathul Bari, 6/5; Nailul Authar, 7/208;
Asy-Syarhul Mumti’, 8/7)
Berikut beberapa
ucapan Ulama Salaf dalam memaknai Al-Jihad.
Ibnu Abbas cberkata: “(Jihad adalah)
mencurahkan kemampuan padanya dan tidak
takut karena Allah terhadap celaan
orang yang suka mencela.”
Muqatil t berkata:
“Beramallah kalian karena Allah dengan amalan yang sebenar- benarnya dan
beribadahlah kepada-Nya dengan ibadah yang sebenar-benarnya.”
Abdullah ibnul
Mubarak t berkata:“(Jihad adalah) melawan diri sendiri dan hawa nafsu.” (Zaadul
Ma’ad, 3/8)
Dalam tinjauan
syariat Islam (pengertian secara umum), jihad juga diistilahkan kepada
mujahadatun nafs (jihad melawan diri sendiri), mujahadatusy syaithan (jihad
melawan syaithan), mujahadatul kufar (jihad melawan orang-orang kafir) dan
mujahadatul munafikin (jihad melawan kaum munafik).
Disyariatkannya Jihad
dan hukumnya Dalam permasalahan jihad, pada dasarnya manusia terbagi dalam dua
keadaan:
1. Keadaan mereka pada masa kenabian
2.
Keadaan mereka setelah kenabian
Masa Kenabian
Para ulama sepakat
bahwa disyariatkannya jihad pertama kali ialah setelah hijrah Nabi r dari
Makkah ke Madinah. Setelah itu muncul perselisihan di antara mereka tentang
hukumnya, fardhu ‘ain atau fardhu kifayah?
Di dalam Fathul Bari,
Al-Hafidz Ibnu Hajar t berkata: “Ada dua pendapat yang masyhur di kalangan para
ulama. (Pertama adalah pendapat dari) Al-Mawardi, dia berkata: “(Hukumnya)
fardhu ‘ain bagi orang-orang Muhajirin saja, bukan selain mereka.” Pendapat ini
dikuatkan dengan perkara tentang wajibnya hijrah atas setiap muslim ke Madinah
dalam rangka menolong Islam. (Kemudian) As-Suhaili, dia berkata: “Fardhu ‘ain
atas orang-orang Anshar saja, bukan selain mereka.” Pendapat ini dikuatkan
dengan baiat para shahabat kepada Nabi r pada malam Al-Aqabah untuk melindungi
dan menolong Rasulullah r. Dari dua pendapat di atas diperoleh kesimpulan bahwa
jihad menjadi fardhu ‘ain atas dua thaifah (kelompok, red. Yakni Muhajirin dan
Anshar) dan fardhu kifayah atas selain mereka.
Al-Imam An-Nawawi t
dan kalangan Asy-Syafi’iyyah sepaham dengannya lebih menguatkan pendapat yang
menyatakan fardhu kifayah (bagi kalangan Muhajirin maupun Anshar-ed). Beliau
berhujjah bahwa dalam peperangan yang terjadi pada zaman Rasulullah r, ada para
shahabat yang ikut dan ada pula yang tidak. Kemudian, walaupun jihad menjadi
kewajiban atas orang-orang Muhajirin dan Anshar, namun kewajiban ini
tidak secara mutlak.
Sebagian berpendapat, jihad (hukumnya) wajib ‘ain dalam peperangan yang di dalamnya ada Rasulullah r dan bukan (wajib ‘ain) pada selainnya. Yang benar dalam hal ini ialah, jihad menjadi fardhu ‘ain bagi orang yang dipilih (ditunjuk) oleh Nabi r, walaupun ia tidak keluar ke medan tempur.