Islam Times- Individualisme,
tribalisme dan rasisme seiring dengan menyebarnya kapitalisme dan liberalisme
agnostik mulai tumbuh bagai benalu yang perlahan-lahan menggerus sendi-sendi
nasionalisme dan kabangsaan.
INDONESIA adalah produk
sebuah kontrak sosial yang disahkan berdasarkan prinsip kebhinekaan dan
kesatuan, yaitu kebhinekaan agama, suku, budaya, aliran, bahasa, daerah dan
lainnya; dan kesatuan sebagai sebuah bangsa dan negara.
Nasionalisme adalah
paradigma yang mempertemukan semua perbedaan dalam sebuah tenunan yang indah
dan luas. Indonesia adalah karya tenun yang dipersembahkan oleh para bijakawan,
pahlawan, dan agamawan. Ia bukan lahir dari mitos dan folklor, namun lahir dari
rasionalitas dan spiritualitas yang prima.
Pancasila memang bukan
agama. Namun ia adalah sebuah gagasan yang menerjemahkan agama dalam sebuah
platform yang menjadi bingkai sebuah bangsa yang bersepakat hidup bersama dalam
satu institusi negara.
Pancasila telah dirancang
dan ditetapkan dengan memperhatikan dan mempertimbangkan sserta menghitung
segala asumsi dan konsekuensi. Ia bukan hanya konsep yang dicetuskan
berdasarkan konsensus namun juga diilhami oleh sentra-sentra spiritualitas yang
sakral dan abadi.
Pancasila adalah aksioma
yang memadukan kearifan horisontal insani dan kekudusan vertikal rabbani.
Karena itu, ketuhanan, yang merupakan puncak dan tujuan semua prilaku baik dan
pengabidan, menempati posisi pertama di dalamnya. Tanpa sila pertama ini,
prinsip-prinsip lain pada urutan setelahnya menjadi kehilangan pijakan dan
tujuan.
Kini Pancasila sedang diuji
kesaktiannya. Kebhinekaan sedang menghadapi gangguan yang cukup serius.
Konflik-konflik menjadi berita harian mulai dari konflik dan tawuran antar
pelajar, antar pendukung klub sepakbola, antar penduduk desa dan kampung, antar
massa pendukung calon bupati, antar suku hingga konflik antar elite kekuasaan.
Individualisme, tribalisme dan rasisme seiring dengan menyebarnya kapitalisme dan liberalisme agnostik mulai tumbuh bagai benalu yang perlahan-lahan menggerus sendi-sendi nasionalisme dan kabangsaan.
Di tengah kemelut dan
kebingungan mencari jalan keluar, tiba-tiba bangsa yang sedang berjuang untuk
bertahan ini diganggu dengan ekstremisme dan paham-paham yang secara nyata
menentang kebhinekaan yang merupakan salah satu pilar utama bangsa dan negara
ini.
Ekstremisme adalah akibat
yang tak terelakkan dari melelehnya nasionalisme dan memudarnya kesadaran akan
nilai dan arti kebhinekaan. Karena bukan merupakan gagasan logis dan metodis,
ekstremisme tak selalu tampil dalam satu pola atau gerakan dan modus. Ia kadang
muncul sebagai sebuah sikap personal, namun kadang pula muncul sebagai pilihan
komunal. Ia kadang didesain oleh sekelompok orang yang menyimpan kepentingan
dan tendesi negatif, kadang pula diyakini secara naïf sebagai kesalehan dan
kualitas keberimanan.
Ekstremitas biasanya mudah
diterima terutama oleh individu-individu yang tak waspada dan memahami dampak
serta efeknya. Ia mudah diterima karena cenderung meliburkan logika dan
memakzulkan segala pertimbangan dan aturan, termasuk hak indvidu-individu yang
tidak menerimanya.
Dari sinilah, ekstremitas
berpeluang mengalami ekspansi makna. Ekstremitas keyakinan biasanya berproses
menuju ekstremitas sikap dan gaya hidup.
Ekstremisme sikap biasanya
menolak semua perbedaan, terutama dalam penafsiran terhadap doktrin agama. Bagi
ekstermis, perbedaan muncul karena penyimpangan dari doktrin yang benar.
Berbeda dalam memahami dan mengamalkan agama dianggap sebagai upaya
menghancurkan dan menodai doktrin agama. Sejurus dengan itu, individu yang
meyakini atau memilih doktrin yang berbeda dengan doktrin yang diyakini secara
ekstrem sebagai kebenaran yang utuh dan mutlak, dianggap sebagai musuh, bahaya,
ancaman dan perusak.
Ekstremisme berproses dalam
pikiran penganutnya seperti narkoba yang terus merangsangnya menutupi kelemahan
dalam sikap dengan cara yang ekstrem pula. Karena itu, ia memerlukan legitimasi
dan dasar agar terus mengabaikan pertimbangan-pertimbangan dan nilai-nilai yang
dianut di luar lingkarannya.
Pluralitas dan realitas yang
menampilkan perbedaan dengan apa yang dianutnya akan membuat pengiman
ekstremisme gamang dan mencoba untuk mengukur kebenaran doktrin yang dianutnya.
Karena itu, sebelum menggoyahkan doktrin yang telah dianut secar ekstrem, ia
harus membasminya dengan harapan perbedaan yang ada di hadapannya tidak lagi
memancing pertanyaan tentang kebenaran doktrinnya.
Tak ayal lagi, diperlukan
sebuah doktrin yang mampu memantapkan ekstremitas sikapnya sekaligus menjadi
pembius kesadaran intektualnya. Doktrin pemantap ini haruslah kuat dan sebisa
mungkin mampu menutup semua keraguan yang berseliweran dalam benaknya.
Dengan dasar doktrin itu, ia
diharapkan menjadi tenang dan mencerabut naluri keingintahuan. Tidak hanya itu,
ia bahkan bisa menambah poin kesalehannya bila menerapkannya secara ekstrem.
Dengan doktrin ini, kekerasan bisa terlihat sebagai kesalehan, penindasan
menjadi cara meraih pahala, pembunuhan, penjarahan, dan semua tindakan yang
menurut standar di luar doktrin itu adalah kebiadaban, bisa dipastikan sebagai
jalan pintas meraih kerelaan Tuhan.
Doktrin itu bukan undang-undang
negara, bukan pula aksioma rasional, tapi dikemas dalam sebuah frase yang
kudus. Fatwa sebutannya.
Ia terlanjur dipahami
sebagai teks yang dating dari langit. Para pembuatnya juga sudah dianggap
sebagai “tuhan-tuhan bertulang” yang tidak layak dipertanyakan apalagi
ditentang.
Dalam sekejap, pendapat yang
dikemas dengan kata “fatwa” bisa menimbulkan sebuah atau beberapa peristiwa. Ia
sangat efektif untuk menciptakan sebuah aksi dan mengubah manusia yang lugu dan
santun menjadi beringas dan sadis. Dengan satu kata “fatwa”, rumah-rumah bisa
rata dengan bumi, anak-anak menggigil menangis tercekam takut dan wanita-wanita
menejerit takut kehilangan kehormatan.
Hanya karena yang
menerbitkan fatwa itu adalah orang-orang yang entah bagaimana prosesnya dianggap
duplikat-duplikat Nabi, tiba-tiba parang, clurit dan semua sarana pemusnahan
dihunus dan ditari-tarikan dalam sebuah even kolosal pembantaian. Alasan
peragaan seni kebencian itu cukup satu: “berbeda”!
“Berbeda” ditafsirkan secara
ekstrem sebagai sinonim “sesat”. Sesat terlanjur direduksi sebagai “kehilangan
hak menghirup udara”, manusia maupun ternaknya, rumah maupun ladang
tembakaunya.
Itulah Fatwa Sesat.
Sayembara Pahala Membunuh… License to Kill. [Islam Times/on/Beritaprotes]
Penulis: Dr. Muhsin Labib