(ditulis oleh:
Al-Ustadz Abu Ubaidah Safruddin)
Masa setelah Kenabian
Pendapat yang masyhur
di kalangan ahlul ilmi adalah fardhu kifayah, kecuali jika ada keadaan
mendesak, seperti ada musuh yang datang dengan tiba-tiba. Ada pula yang
berkata, fardhu ‘ain bagi yang ditunjuk oleh imam (penguasa). Sebagian juga
berpendapat wajib selama memungkinkan, dan pendapat ini cukup kuat. Namun yang
nampak dalam masalah ini adalah jihad terus-menerus berlangsung pada jaman
kenabian beliau r sampai sempurnanya perluasan (ekspansi) ke beberapa negara
besar dan Islam menyebar di muka bumi, kemudian setelah itu hukumnya seperti
yang telah dijelaskan di atas.
Kesimpulan dari masalah ini adalah, jihad melawan orang kafir menjadi kewajiban atas setiap muslim baik dengan tangan (kekuatan), lisan, harta atau dengan hatinya, wallahu a’lam.” (Fathul Bari, 6/47; Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim, 13/12)
Berikut beberapa ayat dan hadits yang menjelaskan tentang disyariatkannya jihad.
Allah SWT berfirman:
“Berangkatlah kamu
baik dalam keadaan merasa ringan atau berat. Dan berjihadlah dengan harta dan
dirimu di jalan Allah.” (At-Taubah: 41)
“Hai Nabi,
berjihadlah melawan orang-orang kafir dan orang-orang munafik itu, dan bersikap
keraslah terhadap mereka.” (At-Taubah: 73)
“Dan berjihadlah
kamu pada jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya.” (Al-Hajj: 78)
“Maka janganlah kamu
mengikuti orang-orang kafir dan berjihadlah terhadap mereka dengan Al-Qur’an
dengan jihad yang besar.” (Al-Furqan: 52)
“Hai Nabi, perangilah
orang-orang kafir dan orang-orang munafik dan bersikap keraslah terhadap
mereka.” (At-Tahrim: 9)
Dalam sebuah hadits
yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas c, Nabi r berkata pada Yaumul Fath (Fathu
Makkah): “ Tidak ada hijrah setelah Fathu Makkah, akan tetapi yang ada
ialah jihad dan niat. Dan apabila kalian diminta untuk pergi atau berangkat
berperang maka pergilah.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Al-Hafidz t berkata : “Pada hadits ini terdapat berita gembira bahwa kota Mekkah akan tetap menjadi negeri Islam selamanya. Di dalamnya juga terdapat dalil tentang fardhu ‘ainnya keluar dalam perang (jihad) bagi orang yang dipilih oleh imam.” (Fathul Bari, 6/49)
Al-Imam An-Nawawi t
berkata: “Apabila imam (penguasa) memerintahkan kepada kalian untuk berjihad,
maka keluarlah. Hal ini menunjukkan bahwa jihad bukanlah fardhu ‘ain, akan
tetapi fardhu kifayah. Apabila sebagian telah menunaikannya, gugurlah kewajiban
yang lain. Dan jika tidak ada yang melakukannya sama sekali, berdosalah mereka.
Dari kalangan Asy-Syafi’iyyah berpendapat tentang jihad di masa sekarang
hukumnya fardhu kifayah, kecuali jika orang-orang kafir menyerang negeri kaum
muslimin, maka jihad menjadi fardhu ‘ain atas mereka. Dan jika mereka tidak
memiliki kemampuan yang cukup, wajib bagi negeri yang bersebelahan untuk
membantunya.” (Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim, 12/11-12)
Setelah diketahui
bahwa pendapat yang masyhur di kalangan ahlul ilmi tentang hukum jihad pada
masa setelah kenabian adalah fardhu kifayah, berikut adalah beberapa keadaan
yang menjadikan hukum tersebut berubah menjadi fardhu ‘ain, di mana sebagiannya
telah disebut di atas:
1.
Apabila bertemu dengan musuh yang
sedang menyerang. Allah SWT berfirman:
“Hai orang-orang yang
beriman, apabila kamu bertemu dengan orang-orang kafir yang sedang menyerangmu,
maka janganlah kamu membelakangi mereka (mundur). Barangsiapa yang membelakangi
mereka (mundur) di waktu itu, kecuali berbelok untuk (siasat) perang atau
hendak menggabungkan diri dengan pasukan yang lain, maka sesungguhnya orang itu
kembali dengan membawa kemurkaan dari Allah dan tempatnya ialah neraka
jahannam. Dan amat buruklah tempat kembalinya.” (Al-Anfal: 15-16)
Ayat ini menjelaskan
tentang tidak bolehnya seseorang mundur atau berpaling dari menghadapi musuh.
Karena yang demikian termasuk perkara terlarang dan tergolong dalam perkara
yang membawa kepada kehancuran/kebinasaan sehingga wajib untuk dijauhi.
Sebagaimana yang disebut dalam sebuah sabda Nabi r dari shahabat Abu Hurairah
t, Rasulullah r bersabda: “Jauhilah tujuh perkara yang membawa kepada
kehancuran atau kebinasaan.” Para shahabat bertanya: “Apakah ketujuh perkara
itu, ya Rasulullah?” Beliau menjawab: “Syirik
kepada Allah, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali dengan sebab
yang dibenarkan agama, memakan riba, memakan harta anak yatim,
membelot/berpaling (desersi) dalam peperangan dan melontarkan tuduhan zina
kepada wanita yang terjaga dari perbuatan dosa, tidak tahu-menahu dengannya
(yakni dengan perbuatan zina tersebut-ed) dan (ia adalah wanita yang-ed)
beriman kepada Allah.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Dua hal yang
diperbolehkan bagi seseorang untuk berpaling (mundur) ketika bertemu dengan
musuh:
a.
Berpaling dalam rangka mendatangkan
kekuatan yang lebih besar atau siasat
perang.
b.
Berpaling dalam rangka menggabungkan
diri dengan pasukan lain untuk menghimpun kekuatan.
2.
Apabila negerinya dikepung oleh musuh.
(Dalam
keadaan ini) wajib atas penduduk negeri tersebut untuk mempertahankan
negerinya. Keadaan ini serupa dengan orang yang berada di barisan peperangan.
Sebab apabila musuh telah mengepung suatu negeri, tidak ada jalan lain bagi
penduduknya kecuali untuk membela dan mempertahankannya. Dalam hal ini musuh
juga akan menahan penduduk negeri tersebut untuk keluar dan mencegah
masuknya bantuan baik berupa personil, makanan dan yang lainnya. Karena itu
wajib atas penduduk negeri untuk berperang melawan musuh sebagai bentuk
pembelaan terhadap negerinya.
3.
Apabila diperintah oleh imam. Apabila
seseorang diperintah oleh imam untuk berjihad, hendaknya ia mentaatinya.
Imam dalam hal ini ialah pemimpin tertinggi
negara dan tidak disyaratkan ia sebagai imam secara umum bagi kaum muslimin
semuanya.
Allah
SWT berfirman:
“Hai orang-orang yang
beriman, apakah sebabnya apabila dikatakan kepada kamu: ‘Berangkatlah (untuk
berperang) pada jalan Allah’, kamu merasa berat dan ingin tinggal di tempatmu?
Apakah kamu puas dengan kehidupan di dunia sebagai ganti kehidupan di
akhirat? Padahal kenikmatan hidup di dunia ini di bandingkan dengan kehidupan
akhirat hanyalah sedikit. Jika kamu tidak berangkat untuk berperang, niscaya
Allah akan menyiksa kamu dengan siksa yang pedih dan diganti-Nya kamu
dengan kaum yang lain, dan kamu tidak akan dapat memberi kemudharatan
kepada-Nya sedikitpun. Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (At-Taubah:
38-39)
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari ‘Aisyah x dan dari Ibnu Abbas c, Nabi SAW bersabda: “Apabila kalian diminta untuk berangkat berperang, maka berangkatlah.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
4.
Apabila diperlukan atau dibutuhkan.
Misal
dalam hal ini, kaum muslimin memiliki senjata berat seperti artileri, pesawat,
atau teknologi tempur lainnya, namun tidak ada yang mampu mengoperasikannya
kecuali seseorang. Maka menjadi fardhu ‘ain atas orang tersebut dengan sebab ia
dibutuhkan.
Kesimpulan
dari penjelasan di atas, jihad menjadi fardhu ‘ain pada empat perkara:
a.
Apabila bertemu dengan musuh
b.
Apabila negerinya dikepung musuh
c.
Apabila diperintah oleh imam
d.
Apabila diperlukan atau dibutuhkan