post by : Aswary
Agansya
Siang
itu, sekitar pukul 10:30 WIB aku dan dua sahabatku tengah berjuang mengayuh
sepeda melewati lorong-lorong gang Jl. Rajawali II kota Sampang. Siang yang
suhu panasnya mencapai derajat tertinggi itu, kami mencari sebuah rumah sahabat
yang sedang melangsungkan pernikahan. Maklum, aku belum pernah berkunjung ke
rumah gadis itu sebelumnya, walau sebenarnya dulu sewaktu SMA kami sudah saling
kenal. Kota Sampang bukanlah kota besar seperti Surabaya yang memiliki jalan
bercabang. Sampang adalah salah satu kota kecil yang ada di Madura (tapi kok
kami bisa nyasar ya? Ya gitu deh. Takdir. Hehehe).
Setelah lima belas menit
berputar-putar dan sempat tersasar, akhirnya kami bisa bernapas lega. Kami
menemukan juga rumah sang pemilik acara yang kebetulan rekan kerja sesama guru
di sekolah yang menaungiku. Alunan musik dangdut modern menyambut kedatangan
kami, pun tak lupa sang mempelai ikut serta melemparkan senyuman terindahnya
begitu melihat kaki kami memasuki pelataran rumah mereka.
Aku
menangkap rona bahagia di wajah pengantin muda itu, ya, rona bahagia yang
menyiratkan kelegaan karena prosesi akad nikah mereka yang berjalan dengan
lancar tanpa ada halangan. Kami berjabat tangan. Aku dan kedua sahabatku pun
dipersilahkan duduk. Aku benar-benar diselimuti wajah-wajah bahagia, pikirku
saat itu.
Tak
begitu lama, tiba-tiba suatu hal membuatku terkejut. Pundak kananku ditepuk
seseorang tanpa sepengetahuanku.
"Subahanallah...!!!"
seruku tepat saat mengetahui siapa yang melayangkan tepukan ke pundakku. Dialah
pemuda sekaligus sahabat yang baru saja pulang umroh di tanah suci Mekah.
Pemuda itu bernama Fitroh.
"Waduh,
ketemu disini rupanya," seru Fitroh padaku sembari tersenyum.
"Loh,
kapan kau datang?" kataku balik bertanya.
"Aku
datang malam Minggu. Kamu kemana kok tidak menyambut kedatanganku? Di rumah
rame loh..."
"Apa?
Malam Minggu? Kebetulan malam Minggu kemarin aku sakit Fit. Jadi nggak bisa
keluar rumah."
"Waduh,
ternyata di Sampang musim orang sakit ya,"
"Benar
Fit, akibat cuaca yang tak menentu kali ya. Eh, kayaknya aku sekarang harus
panggil pak haji deh," seruku sambil tertawa. Fitroh pun ikut tertawa mendengar
ucapanku.
Pelan-pelan,
kutatap wajah pemuda itu. Ada sesuatu yang berbeda yang membuat kedua mataku
terus terpesona. Ya, kulit Fitroh tampak lebih putih, bersih dan halus.
Wajahnya pun tampak bercahaya. Apa ya rahasianya? (hahaha, kayak iklan aja nih
yeee...)
"Wajahmu
bersinar Fit. Pasti kamu bahagia di sana. Cerita dong..."
"Ah,
kapan-kapan kamu ke rumahku saja. Nanti kuceritakan semua. Di sini bukan tempat
yang tepat." Timpal Fitroh membuatku penasaran.
"Baik.
Hari Senin aku ada jadwal mengajar. Nanti aku mampir ke rumahmu ya."
***
(Jumat, 31 Agustus 2012)
Jika
harus menunggu hari Senin tiba, aku rasa masih terlampau jauh untuk menyimpan
lagi kepenasaranku. Sedangkan hatiku telah lama diselimuti rasa super penasaran
ingin segera mendengar rangkaian cerita perjalanan religi seorang Fitroh di
tanah Rasulullah. Tanpa ba bi bu lagi, kuputuskan saja Jumat pagi segera
bersilaturahmi ke rumah Fitroh. Tak tanggung-tanggung, aku berangkat pukul
tujuh pagi dan tak lupa pula kuajak kedua sahabatku, Lian serta Anas ikut
berkunjung ke rumah Fitroh yang terletak di desa Pangelen, Sampang. Kami
bertiga mengendarai angkutan umum dan benar-benar menikmati perjalanan kami.
Pemandangan alam selama perjalanan berlangsung sangat indah menyejukkan mata.
Kanan kiri jalan dikelilingi hijaunya persawahan.
Rasa
penasaran yang memenuhi batinku tentang Baitulah telah membawaku hingga ke
rumah sederhana kediaman Fitroh. Aku terlampau egois ingin mengetahui segala
sesuatu yang belum pernah kuketahui, termasuk suasana di tanah suci sana.
"Aku
tidak tahu harus cerita darimana, yang jelas menurutku kehidupan disana tidak
bisa diukur dengan pikiran. Semua tergantung amal perbuatan kita di
Indonesia," tutur Fitroh memandang kami bertiga.
"Kok
kamu bisa bilang begitu?" tanyaku.
"Iya.
Aku merasa Allah melindungiku selama aku berada disana. Pernah aku
berangan-angan ingin makan ayam, eh ternyata ada seseorang yang mengetuk pintu
apartemenku dan menyodorkan beberapa potong ayam goreng padaku. Pernah juga aku
berangan-angan ingin mencicipi nasi bukhari, tiba-tiba ada seseorang yang
memberiku sepiring nasi bukhari. Allah benar-benar mengetahui apa yang ada di
benak hamba-hambaNya,"
"Ada
satu hal yang membuatku semakin yakin bahwa Allah benar-benar Maha
memberi," kata Fitroh dengan pandangan mata tampak menerawang. Aku, Lian,
dan Anas masih terdiam tepat dihadapan pemuda bersarung dan berpeci itu.
"Kalian
tahu sendiri kan kondisi keberangkatanku. Saat itu aku hanya membawa uang saku
sebesar empat ratus riyal. Tapi subahanallah, aku benar-benar terharu,"
"Terharu
kenapa? Kamu kecopetan?" celetukku.
"Bukan.
Bukan itu. Saat aku sholat di Masjidil Haram, tiba-tiba ada orang asing
menyelipkan beberapa lembar uang kesakuku. Tepat sekali di saat aku tengah
melaksanakan sholat. Setelah kuketahui, ternyata uang itu berjumlah seratus
riyal."
"Subahanallah...
Kamu tau siapa orang itu Fit?" Lian tertegun. Fitroh pun menggelengkan
kepalanya pertanda tidak mengetahui siapa orang pemberi uang itu.
"Aku
benar-benar tidak tahu siapa orang asing itu..."
Belum
sempat Fitroh melanjutkan ceritanya, tiba-tiba muncullah bibi Fitroh dari balik
pintu yang tengah membawa nampan berisi dua piring penuh kurma dan tiga gelas
air zamzam.
"Ini,
silahkan diminum. Ini air zamzam asli. Aku sendiri yang mengambilnya spesial
untuk sahabat-sahabatku."
Aku
merogoh gelas itu, kuamati sekilas kemudian kuteguk isinya. Aku bersyukur bisa
meminum air bersejarah itu. Menurut informasi yang pernah kubaca, air zam-zam
merupakan air mineral terbaik di seantero celah dunia. Dan yang membuatku
tersita sekaligus tercengang, meski sejak zaman Rasulullah hingga sekarang
banyak masyarakat di dunia yang mengambil air zamzam tersebut, namun sumur
zamzam tidak pernah merasakan kata "kekeringan". Inilah salah satu
kebesaran Allah.
Fitroh
kembali melanjutkan pengalamannya ketika berada di tanah suci sana, ketika ada
rekan dari Sampang tiba-tiba bisa berlari setibanya di tanah suci, padahal
sebelumnya jika berjalan harus memakai bantuan kursi roda. Cerita Fitroh
semakin meluas mulai dari tawaf, mencium hajar aswad, berkunjung ke monumen
pertemuan Adam dan Hawa, melihat jam tertinggi dan terbesar di dunia hingga
pengalaman menitikkan air mata ketika hendak bertolak ke Indonesia. Bahkan
Fitroh juga menunjukkan koleksi foto selama di tanah suci di komputer jinjing
miliknya.
Sontak
ada kecemburuan yang tiba-tiba muncul di hatiku. Kapan aku bisa berkunjung ke
tanah Rasulullah? Tanah impian semua umat Islam di dunia? Ingin sekali aku
mencium aroma kedamaian hati disana. Di tanah suci kelahiran para Nabi.
"Kudoakan
semoga kalian bisa berkunjung ke Baitullah, merasakan bahagia seperti yang aku
rasakan... Amin..." Kata pemuda itu mengakhiri ceritanya.
*Kamarku.
Sampang, 31 Agustus 2012.
Tengah
Malam.
Tanah
Garam, Madura.
***
Tentang
Penulis
Aswary
Agansya mahasiswa Universitas Madura (UNIRA) jurusan Bahasa dan Sastra
Indonesia. Pemuda kelahiran kota Surabaya, pada 4 Oktober 1987 ini gemar sekali
membaca dan menulis. Karya-karya Aswary yang pernah diterbitkan adalah novel
Imagination of Love (LeutikaPRIO, 2011), novel Menari di Atas Tangan (LeutikaPRIO,
2011), antologi bersama Be Strong Indonesia #3 (writers4indonesia, 2010),
antologi Curhat Cinta Colongan #3 (nulisbuku.com, 2011), antologi E-Love Story
#21 (nulisbuku.com, 2011), antologi Surat Terakhir Untuk Penghuni Venus
(nulisbuku.com, 2011), antologi Dear Someone (nulisbuku.com, 2011), antologi
Selaksa Makna Ramadhan (LeutikaPRIO, 2011), antologi Long Distance Friendship
(LeutikaPRIO, 2011). Aswary juga pernah mendapat juara 3 dalam Sayembara Cipta
Cerpen UNIRA 2011. Jika ingin berinteraksi, bisa menghubunginya di email:
aswary.agansya@gmail.com serta www.aswarysampang.blogspot.com