pict by : http://ompuraka.blogspot.com/ |
Proses
kehidupan kita berdasarkan utak-atik ayat Al-Qur’an..
Al-Qur’an
memakai banyak istilah untuk roh/nyawa/jiwa (untuk selanjutnya saya memakai
istilah : nyawa), sebagai ‘sesuatu yang non-materil’ yang ada dalam diri
kita, yang bersatu dengan jasad dan membuat kita menjadi hidup. Kadang-kadang
memakai kata ‘nafs’,
dilain waktu memakai istilah ‘ruh’.
Namun kata ‘nafs’
tidak selalu merujuk kepada unsur non-materil tapi juga bisa dipakai untuk
menunjukkan diri manusia secara keseluruhan, baik jasad maupun nyawa yang ada
didalamnya, misalnya pada ayat ini :
Oleh
karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa: barangsiapa
yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain,
atau bukan karena membuat kerusakan dimuka bumi, maka seakan-akan dia telah
membunuh manusia seluruhnya.
(al-Maadiah 32)
Kata
‘membunuh manusia’ diterjemahkan dari bahasa Al-Qur’an ‘qatala nafsan’ – membunuh nafs – tentu saja yang
dimaksud disini bukan nyawanya yang dibunuh, karena nyawa tidak bisa mati, maka
kata ‘nafs’
disini berarti manusia secara keseluruhan, manusia hidup yang terdiri dari
jasad dan nyawa. Demikian pula dengan istilah ‘ruh’, kata tersebut juga memiliki banyak
pengertian, juga diartikan sebagai : malaikat Jibril (al-Qadr 4), Al-Qur’an
(asu-Shura 52), rahmat Allah (al-Mujadalah 22), disamping untuk menunjukkan nyawa
yang ada dalam diri kita.
Istilah
‘hidup’ diartikan ‘bersatunya nyawa dengan jasad’ sedangkan kata ‘mati’ berarti
sebaliknya, yaitu terpisahnya nyawa dengan jasad manusia. Dalam ayat lain Allah
menjelaskan soal proses kematian :
pict by : http://ompuraka.blogspot.com/ |
Alangkah
dahsyatnya sekiranya kamu melihat di waktu orang-orang yang zalim berada dalam
tekanan sakratul maut, sedang para malaikat memukul dengan tangannya, (sambil
berkata): “Keluarkanlah nyawamu”
(al-An’aam 93)
Jelas
dikatakan ketika seseorang dalam keadaan skharatul maut, maka malaikat mencabut
nyawa dengan penggambaran perkataan ‘akhrijuu
anfusakum’ – keluarkanlah nafs-mu
– untuk menunjukkan proses terpisahnya nyawa dengan jasad, proses ini dikatakan
sebagai kematian. Sebaliknya dalam menjelaskan soal ‘kehidupan’, Al-Qur’an
menyatakan :
Yang
membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya dan Yang memulai
penciptaan manusia dari tanah. Kemudian Dia menjadikan keturunannya dari
saripati air yang hina. Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalamnya
roh (ciptaan)-Nya dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan
hati; (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur. (as-Sajadah 7-9)
Pada
ayat tersebut dijelaskan bahwa kehidupan manusia dimulai ketika ‘ruh’ ditiupkan kedalam
jasad yang sedang dalam proses penyempurnaannya di dalam rahim. Ketika ‘ruh’ tersebut masuk maka
saat itu manusia dikatakan sudah menjalani kehidupannya. Terdapat perbedaan
‘cara keluar masuk’ nyawa kita, ketika malaikat mengeluarkannya dari jasad,
istilah yang dipakai adalah ‘mencabut’, sedangkan disaat dipersatukan,
Al-Qur’an memakai istilah ‘ditiupkan Allah’. Ini menjadi suatu hal yang menarik
untuk didalami. Menurut saya, dengan memakai kata-kata ini, Allah memberikan
sinyal tentang hakekat nyawa manusia, bahwa ketika nyawa tersebut dipersatukan
dengan jasad, ada ‘kedekatan’ yang ingin ditunjukkan Allah antara Dia dengan
makhluk-Nya. Allah tidak memakai istilah ‘memasukkan’ atau ‘menempatkan’ ruh
kedalam jasad. Kata ‘meniupkan’ memberi kesan antara yang melakukan ‘peniupan’
dengan sasarannya ada koneksi yang sangat kuat.
Sebaliknya ketika kata yang
dipakai adalah ‘mencabut’, yaitu terpisahnya nyawa dengan jasad, disitu muncul
kesan ‘keengganan’ dari manusia untuk melepaskan nyawa tersebut. Lalu ketika
Al-Qur’an menceritakan tentang masuknya nyawa kedalam jasad, si Pelakunya
merujuk kepada Allah secara langsung, berbeda dengan ketika peristiwa kematian,
pihak yang diinformasikan untuk melakukannya adalah malaikat. Juga pemakaian
istilah yang berbeda, ketika masuk dipakai kata ‘ruh’, sedangkan disaat keluar digunakan kata
‘nafs’. Apakah
ini untuk memberikan kesan bahwa ketika nyawa belum menyatu dengan jasad
manusia, dia adalah sesuatu yang murni sebagai hamba Allah yang belum memiliki
‘hitung-hitungan’ pahala dan dosa, lalu ketika dicabut dari jasad dan dipanggil
sebagai ‘nafs’,
nyawa tersebut sudah ‘terkontaminasi’ oleh segala perbuatan selama hidup di
dunia..?? wallahu’alam. Ini hanya kesan yang saya tangkap dari pemakaian
istilah Al-Qur’an, anda dipersilahkan untuk merenungkannya sendiri.
Nyawa
manusia merupakan sesuatu yang diciptakan Allah dari ketiadaan, sebelumnya
tidak ada lalu diadakan. Al-Qur’an menjelaskan :
Dan
tidakkah manusia itu memikirkan bahwa sesungguhnya Kami telah menciptakannya
dahulu, sedang ia tidak ada sama sekali? (Maryam: 67)
Kata
‘al-insaan’
merujuk kepada manusia secara keseluruhan yang terdiri dari jasad dan nyawa,
maka pernyataan ‘sedang ia tidak ada sama sekali’ menunjukkan bahwa baik nyawa
dan jasad tersebut dulunya tidak ada, lalu Allah menciptakan menjadi ada.
Perjalanan
hidup manusia diinformasikan Al-Qur’an dengan 2 kali pergantian antara hidup
dan mati, diabadikan Allah melalui penyesalan orang-orang kafir ketika
dihadapkan kepada neraka :
Mereka
menjawab: “Ya Tuhan kami Engkau telah mematikan kami dua kali dan telah
menghidupkan kami dua kali (pula), lalu kami mengakui dosa-dosa kami. Maka
adakah sesuatu jalan (bagi kami) untuk keluar (dari neraka)?” (Ghaafir: 11)
Awalnya
manusia dikatakan mati, yaitu dalam kondisi nyawa yang tidak memiliki jasad.
Nyawa yang sudah diciptakan Allah tersebut masih ‘menunggu giliran’ untuk
ditiupkan kedalam jasad yang akan berproses dalam rahim. Kita diinformasikan
bahwa nyawa kita pada saat itu telah mengadakan suatu perjanjian dengan Allah,
bahwa kelak ketika sudah disatukan dengan jasad dan menjalani kehidupan maka
kita akan menjalankan penghambaan kepada-Nya, menyembah Allah sebagai
satu-satunya Tuhan yang pantas untuk disembah :
Dan
(ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi
mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman):
“Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami
menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak
mengatakan: “Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah
terhadap ini (keesaan Tuhan)”, (Al-A’raaf:
172)
Desain
manusia telah ditetapkan Allah sebagai makhluk yang beriman, makanya manusia
yang terlahir pasti dalam keadaan suci/fitrah. Hadits Rasulullah menyatakan :
Hadis
riwayat Abu Hurairah Radhiyallahu’anhu, ia berkata: Rasulullah Shallallahu
alaihi wassalam bersabda: “Setiap anak itu dilahirkan dalam keadaan fitrah.
Kedua orang tuanyalah yang membuatnya menjadi seorang Yahudi, seorang Nasrani
maupun seorang musyrik.” Lalu seorang laki-laki bertanya: “Ya Rasulullah!
Bagaimana pendapat engkau kalau anak itu mati sebelum itu?” Beliau menjawab:
“Allah lebih tahu tentang apa yang pernah mereka kerjakan.”
‘Fitrah’ disini diartikan adalah dalam keadaan
sebagai seorang Muslim – orang yang berserah diri – makanya ketika dia mulai
menjalani proses kehidupan maka lingkungan akan berpotensi untuk
‘melencengkannya’ untuk keluar dari keadaannya sebagai seorang Muslim, menjadi
penyembah Tuhan yang lain.
Ketika
nyawa sudah ditiupkan dan bersatu dengan jasad, manusia dikatakan sebagai
‘hidup’, inilah kehidupan yang pertama, berjuang untuk membuktikan diri sebagai
hamba Allah yang taat kepada perjanjian yang telah dibuat pada fase sebelumnya,
terombang-ambing menghadapi cobaan dan ujian, silih berganti antara perbuatan
baik dan dosa, meminta ampun dan taubat lalu kembali melakukan maksiat dan
perbuatan buruk. Dalam menjalankan proses kehidupan yang pertama ini, Allah
tidak melepaskan manusia begitu saja, Dia mengirim utusan, menyampaikan kitab suci,
yang harus dijadikan pedoman agar manusia tidak tersesat, Dia memberikan
kekuatan dan pertolongan bagi manusia yang meminta tolong kepada-Nya, sehingga
apabila akhirnya manusia telah melakukan kesesatan dalam menjalani
kehidupannya, itu semata-mata berasal dari pilihan manusia itu sendiri.
pict by : http://ompuraka.blogspot.com/ |
Selesai
menjalani kehidupan, kita memasuki proses kematian, terpisahnya kembali nyawa
dari jasad. Nyawa kita tersebut disimpan dalam ‘ruang tunggu’ di alam barzakh,
sedangkan jasad dikembalikan ke bumi, hancur dan musnah dimakan cacing. Proses
keluarnya nyawa dari jasad tergantung amalan kita selama hidup. Bagi orang
kafir yang ingkar kepada Allah digambarkan :
Demi
(malaikat-malaikat) yang mencabut (nyawa) dengan keras, (an-Naaziat 1)
Bagaimanakah
(keadaan mereka) apabila malaikat mencabut nyawa mereka seraya memukul-mukul
muka mereka dan punggung mereka? (Muhammad: 27)
Kalau
kamu melihat ketika para malaikat mencabut jiwa orang-orang yang kafir seraya
memukul muka dan belakang mereka (dan berkata): “Rasakanlah olehmu siksa neraka
yang membakar”, (tentulah kamu akan merasa ngeri). (Al-Anfaal: 50)
Sebaliknya
bagi orang beriman, Al-Qur’an menyatakan :
dan
(malaikat-malaikat) yang mencabut (nyawa) dengan lemah-lembut, (An-Naazi’aat:2)
Sesungguhnya
orang-orang yang mengatakan: “Tuhan kami ialah Allah” kemudian mereka
meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka dengan
mengatakan: “Janganlah kamu takut dan janganlah merasa sedih; dan gembirakanlah
mereka dengan jannah yang telah dijanjikan Allah kepadamu”. (Fussilat: 30)
(yaitu)
orang-orang yang diwafatkan dalam keadaan baik oleh para malaikat dengan
mengatakan (kepada mereka): “Salaamun’alaikum, masuklah kamu ke dalam surga itu
disebabkan apa yang telah kamu kerjakan”. (An-Nahl: 32)
-> Bersambung