Belakangan
ini, saya banyak merenungkan seberapa banyak waktu yang telah saya sia-siakan
hanya untuk melakukan aktivitas yang sifatnya duniawi dan mengesampingkan
aktivitas yang bisa menjadi bekal saya di akherat nanti. Salah satunya, belajar
ilmu agama, yang sejak lahir saya anut hingga saat ini ketika usia saya sudah
melewati kepala tiga.
Dari
hasil perenungan itu, saya tersadar betapa minimnya pengetahuan agama saya,
meski selama ini saya selalu melaksanakan kewajiban sholat lima waktu dan
ibadah wajib lainnya, dan sesekali beramal dengan sedikit harta yang saya
punya. Tapi entah kenapa, selama itu pula saya tidak pernah merasa tergerak
untuk memperdalam ilmu agama. Saya lebih getol mengejar belajar ilmu umum yang
saya minati, saya lebih tertarik membaca novel atau buku lainnya yang tidak
bernafaskan agama. Untuk mengaji pun malas sekali. Tidak ada waktu dan lelah
bekerja sepanjang hari, kerap menjadi alasan saya.
Meski
Muslim sejak lahir, saya berfikir menjalankan ibadah yang wajib saja sudah
cukup dan belajar agama, termasuk didalamnya belajar atau membaca Al-Quran,
tidak terlalu penting. “Yang penting kenal huruf dan bisa baca
sedikit-sedikit,” kataku waktu itu.
Tetapi
pemikiran saya itu berubah total setelah hampir dua tahun ini saya mulai
mengikuti pengajian-pengajian. Ternyata, belajar membaca Al-Quran dengan benar
itu sangat menyenangkan, belum lagi mengkaji kandungan-kandungannya. Ternyata,
dari ceramah-ceramah para ustadz dan ustadzah di pengajian yang saya ikuti,
saya mendapati bahwa belajar agama Islam itu mengasyikkan karena meliputi semua
aspek kehidupan.
Dan
sekarang, situasinya pun jadi berbalik. Saya mulai banyak membeli buku-buku
keagamaan, mulai betah mendengarkan ceramah agama di televisi atau radio, dan rasa
keingintahuan saya tentang Islam seolah tak pernah habis.
Perubahan
itu tidak datang begitu saja. Perubahan itu terjadi karena saya menjumpai
beberapa orang yang telah memberi inspirasi dan motivasi bagi saya untuk
belajar dan menggali pengetahuan lebih banyak tentang agama saya.
Seorang
mualaf, sebut saja namanya Lia, yang sekarang menjadi sahabat karib saya,
adalah satu inspirasi besar bagi perubahan itu. Ketika mengenalnya, saya sudah
kagum dengan semangatnya belajar membaca Al-Quran dan menggali ilmu agama Islam
dengan banyak bertanya dan membaca buku. Saya sempat malu hati, ketika tahu
bahwa Lia yang baru dua tahun menjadi mualaf, sudah banyak memahami tentang
Islam, bahkan isi Al-Quran. Sementara saya, yang Muslim sejak kecil, sampai
saat itu malah belum paham benar apa sebenarnya rukun Islam dan rukun
iman-meski saya hapal urutannya-apa keutamaan sholat tahajud, bagaimana
berwudhu yang benar, sampai hal-hal kecil yang jika saya tahu ilmunya, bisa
menjadi tambahan amaliyah saya di dunia. Ketika itu saya hanya membatin,”Duh
betapa meruginya saya.”
Suatu
saat, saya berkesempatan berkunjung ke tempat kos Lia. Di pintu lemari
pakaiannya, saya melihat secara kerta yang ditempel berisi daftar surat-surat
dalam Juz Amma. Beberapa surat mulai dari Al-Fatihah, terlihat ditandai dengan
contrengan kecil. Aku bertanya, “Ini apa Li, koq dikasih tanda?”
“Oh,
itu daftar surat yang sudah aku hapal,” katanya sambil tersenyum.
Hapal?
tanyaku dalam hati. Aku hitung surat-surat yang sudah ditandai, jumlahnya 18
surat. Lagi-lagi aku malu hati. Lia yang baru mengenal Islam, sudah hapal 18
surat. Sementara saya, selama puluhan menjadi Muslim cuma hapal kurang dari
lima surat dan tidak pernah punya keinginan untuk berusaha menghapal
surat-surat Al-Quran yang lain. Malu rasanya………
Sejak
itu, diam-diam aku memperhatikan aktivitas Lia sehari-hari. Sampai aku tahu
bahwa ia selalu menyempatkan diri membaca Al-Quran setiap hari meski cuma
beberapa menit saja, termasuk menjalankan sholat dan puasa sunnah. Ah, Lia,
selama ini ternyata aku sudah jauh tertinggal…..
Sejak
itu, saya mulai mencontoh kebiasaan Lia. Pelan-pelan aku mulai menambah hapalan
surat-surat Al-Quran, mulai belajar menjalankan ibadah sholat dan puasa sunnah,
mulai membaca Al-Quran dengan rutin. Berat memang, kadang rasa malas amat
menggoda.
Setelah
Lia, aku banyak sekali bertemu dengan orang-orang yang memacu semangatku untuk
mendalami Islam. Salah satunya adalah tetanggaku sendiri, aku biasa
memanggilnya Kak Lili. Dia juga mualaf, ketika hendak menikah beberapa puluh
tahu silam. Meski ketiga anak-anaknya sudah besar-besar dan usianya tidak lagi
muda, ia selalu bersemangat mengikuti pengajian di mana-mana. Mencatat apa yang
ia dapat di pengajian dalam buku khusus. Pengetahuannya tentang Islam dan
sejarah Islam, sempat membuatku terperangah. Lagi-lagi saya malu hati. Saya
tidak ada apa-apanya dibanding Kak Lili.
Selanjutnya,
suatu kali dalam perjalanan menuju kantor, di bis yang aku tumpangi. Aku
melihat bapak tua yang sedang membaca Juz Amma. Dari gerak-geriknya aku tahu ia
sedang berusaha menghapal salah satu suratnya. Sayapun tersentuh melihat si
Bapak tua tadi. Semangat belajarku terpompa kembali, “Saya belum terlambat
untuk mulai belajar,” gumamku dalam hati.
Kadang,
saya merasa seperti seorang mualaf, karena banyak sekali hal yang belum saya
ketahui dan harus saya pelajari. Namun saya bersyukur, karena Allah swt
memberikan lingkungan dan teman-teman yang senantiasa menjadi penyemangat saya
dalam belajar. Benarlah apa kata pepatah, tidak kenal maka tidak sayang. Makin
banyak saya mengenal Islam, makin bertambah cinta saya pada Islam. Belakangan,
saya benar-benar merasakan kebahagiaan karena terlahir sebagai Muslim. Semoga
Allah swt selalu memberikan keteguhan iman dan kekuatan bagi kita untuk tetap
istiqomah di jalanNya.
(Sebuah catatan kecil untuk orang-orang yang telah memberi inspirasi)
Jakarta
Rubina
Qurratu’ain Zalfa’
rubina_zalfa@yahoo.com