Maslahat
Hukum yang Elastis
Di zamannya, Nabi Muhammad SAW adalah suara otoritatif mewakili kehendak Tuhan. Di era kini, interpretasi manusia yang bermain.
Di zamannya, Nabi Muhammad SAW adalah suara otoritatif mewakili kehendak Tuhan. Di era kini, interpretasi manusia yang bermain.
MUNCULNYA gerakan fundamentalisme
Islam di berbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia, disebabkan oleh pola
pemahaman agama yang masih bersifat eksklusif. Seringkali kita mendengar
pemikiran-pemikiran Islam yang mengklaim pemikiran "yang lain" adalah
salah dan sesat, serta menganggap pemikirannya paling benar.
Wahyu agama, baik berupa Kitab Suci
maupun perkataan Nabi (hadis), yang turun telah sekian lamanya dalam proses
sejarah yang sangat panjang, tidak mungkin bisa dipahami sesederhana itu.
Dengan rentang proses historis ini, apakah kehendak "pengarah"
(author) bisa ditangkap oleh intervensi pemikiran manusia sebagai pembaca
(reader) terhadap objek teks tersebut? Inilah pertanyaan yang sering mengusik
kita dalam memahami hukum Islam.
Ada banyak model pembacaan terhadap
teks yang dilakukan oleh para pemikir muslim. Salah satunya adalah Khaled M.
Abou el-Fadl, yang mengajukan model pembacaan dengan "pisau analisis"
hermeneutika.
Guru besar hukum Islam di UCLA
School of Law, Amerika Serikat, ini menilai banyak sekali produk hukum Islam
yang mengabaikan proses penetapan yang dilakukan secara demokratis. Untuk
itulah, Abou el-Fadl menelaah bagaimana mekanisme perumusan dan pengambilan
keputusan hukum Islam (berbentuk fatwa) yang suka mengatasnamakan dirinya
sebagai penafsir tunggal atas "kehendak Tuhan".
Ia menelisik fatwa-fatwa agama yang
dikeluarkan oleh ahli-ahli agama pada CRLO (Council for Scientific Research and
Legal Opinion), sebuah lembaga resmi di Arab Saudi yang mempunyai otoritas
untuk mengeluarkan fatwa. Dalam buku yang versi aslinya berjudul Speeking in
God's Name: Islamic Law, Authority, and Women ini, Abou el-Fadl banyak
melakukan kritik tajam terhadap fatwa-fatwa keluaran CRLO yang dinilainya
sangat bias gender.
Titik persoalan utama dalam hukum
Islam adalah pertanyaan tentang siapakah yang paling otoritatif dalam
memutuskan sebuah hukum dalam Islam. Pada masa Nabi masih hidup, memang diakui
bahwa beliaulah yang diakui sebagai suara otoritatif yang mewakili kehendak
Tuhan. Ia dinilai sebagai penerima wahyu yang pertama sehingga secara efektif
berperan sebagai pemegang otoritas.
Setelah Nabi wafat, masyarakat
muslim paling awal mengalami kemelut paling serius tentang siapakah pemegang
legitimasi dan otoritas yang paling berwewenang. Kejadian itu juga muncul
setelahnya, dan itu masih terasa hingga hari ini. Mau tidak mau, akhirnya yang
bermain adalah interpretasi manusia dalam memahami dan menetapkan hukum Islam
dengan jalan menyesuaikannya menurut kondisi dan zamannya masing-masing.
Untuk mencegah kecenderungan
otoritarianisme dalam penetapan hukum Islam, Abou El-Fadl mengajukan lima
syarat penting, yaitu: kemampuan dan keharusan seseorang, kelompok, organisasi,
atau lembaga untuk mengontrol dan mengendalikan dirinya, bersikap jujur, sungguh-sungguh
(dalam berijtihad), mempertimbangkan berbagai aspek yang terkait (komprehensif,
menyeluruh), dan menggunakan rasionalitas berpikir. Kelima syarat itu sangat
berfungsi untuk membatasi peran para wakil khusus, dan kemungkinan
penyalahgunaan otoritas dan kesewenang-wenangan akan bisa dicegah.
Pembacaan teks hukum Islam sangat
terkait oleh hubungan timbal balik antara teks itu sendiri, pembaca, dan
pengarang. Fungsi ijtihad sangat berperan di sini. Dan akhirnya, tidak boleh
ada yang mengklaim bahwa salah satu individu, kelompok, atau institusi yang
paling berhak dalam menetapkan hukum Islam dan dianggap yang paling benar.
Penetapan hukum Islam didasarkan atas apek kemaslahatan ( maslahah ) umat
manusia. Dengan demikian, hukum Islam sangat bersifat dinamis dan elastis.
*Happy Susanto Peneliti Pusat
Studi Muhammadiyah (PSM) Yogyakarta