Start By Reading

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ "Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang". الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ "Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam". الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ "Maha Pemurah lagi Maha Penyayang". مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ "Yang menguasai di Hari Pembalasan". إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ "Hanya Engkaulah yang kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan". اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ "Tunjukilah kami jalan yang lurus", صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ "(yaitu) Jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat".
Thursday, January 24, 2013

CATATAN MENGENAI FILM HAFALAN SHOLAT DELISA

0 comments



Saya membaca novel ‘Hafalan Sholat Delisa’ sudah lama sekali. Beberapa tahun yang lalu. Sungguh, novel yang ditulis dengan sangat apik oleh Tere Liye ini berhasil ‘membius’ imajinasi saya. Terlebih lagi saya sempat tinggal beberapa bulan di Aceh dan mempunyai orang tua angkat dan saudara-saudara yang ketika berpisah untuk kembali ke NTB membuat saya menangis seperti anak kecil di atas pesawat yang membawa saya meninggalkan mereka.

Karena itu, ketika mendengar kabar bahwa novel ini akan difilmkan, saya berdebar. Menyiapkan keharuan untuk menyaksikan dahsyatnya tsunami, sambil membayangkan bapak saya, keuchik Amir, yang kehilangan beberapa orang kerabat di Aceh sana. Bahkan ada yang sampai sekarang tidak diketahui jejak keberadaannya.
Dan sungguh, membaca ‘Hafalan Sholat Delisa’, saya menangis. Hehehe… karena lewat novel itu, saya belajar dari seorang anak kecil yang kehilangan saudara-saudaranya, dan juga ibu tercinta karena dahsyatnya tsunami.
Bagaimana dengan filmnya?

Sepanjang menonton film ini keterharuan yang sama melanda hati saya. Bahkan mata saya hamper berair. Didukung lagi oleh acting Reza Rahadian yang begitu alami, juga acting Delisa (Chantiq) yang terkesan begitu kekanakan. Dalam hal ini, harus diakui, sutradara Sony Gaokasak berhasil menciptakan sebuah suasana yang lumayan bagus.

Namun, entah mengapa, sebagai orang  yang pernah tinggal di Aceh, saya tidak merasakan sama sekali suasana Aceh dalam film ini. Baik dari logat pemain maupun latar yang dihadirkan. Bahkan menurut saya, acting Nirina Jubir (pemeran Mak Delisa, Ummi Salamah) kurang natural dan keibuan.

Never mind! Itu masih bias dimaklumi. Tapi… ketika sampai di menit-menit terakhir menonton film ini. Pas di ending (bagian yang paling saya tunggu-tunggu), entah mengapa, saya ingin tertawa. Hilanglah semua suasana yang dibangun oleh sutradara dari awal. Di novel digambarkan Delisa bertemu dengan Ummi-nya yang tinggal tulang belulang sambil memegang kalung bertuliskan huruf D, D untuk Delisa. Ketika Delisa selesai menghafal bacaan sholatnya.

Di film?

Di filmnya kita akan melihat Nirina Jubir tidur di atas pasir (mati?) sambil memegang kalung. Kalung itupun diambil oleh Delisa dari tangan Nirina Jubir. Begitu saja. Dan… aneh! Sangat aneh! Bagaimana mungkin setelah beberapa bulan sejak Tsunami mayat Nirina Jubir (ummi salamah) masih normal dan tdk berubah suatu apapaun?

Ending ini sangat BERHASIL menghancurkan seluruh bagian-bagian yang bagus di film ini.
Intinya, film ini mengecewakan. Sekian. :D

Leave a Reply

DisClaimer Notes: Jika di Blog kami ditemukan kesengajaan dan atau tidak sengaja menyakiti siapa pun dan dalam hal apapun termasuk di antaranya menCopas Hak Cipta berupa Gambar, Foto, Artikel, Video, Iklan dan lain-lain, begitu pula sebaliknya. Kami mohon agar melayangkan penyampaian teguran, saran, kritik dan lain-lain. Kirim ke e-mail kami :
♥ amiodo@ymail.com atau ♥ adithabdillah@gmail.com