Start By Reading

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ "Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang". الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ "Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam". الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ "Maha Pemurah lagi Maha Penyayang". مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ "Yang menguasai di Hari Pembalasan". إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ "Hanya Engkaulah yang kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan". اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ "Tunjukilah kami jalan yang lurus", صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ "(yaitu) Jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat".
Thursday, January 24, 2013

Menyuburkan Lahan Intelektualisme

0 comments

Muhammad Irfan Abdul Aziz
(eks. Departemen Pengembangan Keilmuan PPMI Periode 2010 – 2012)

Siang itu, hari Rabu, 26 September 2012, sejumlah mahasiswa Indonesia di Pakistan tampak bergeliat mempersiapkan dan mengawal jalannya acara yang digelar oleh Persatuan Pelajar Mahasiswa Indonesia (PPMI) Pakistan. Acara itu adalah Seminar on the Response of Prophet’s Blasphemous, di mana saya menyempatkan diri untuk menghadirinya. Selama 2 jam, acara itu dihelat di aula Ibn Khaldun kampus International Islamic University Islamabad (IIUI) Pakistan, yang akhirnya harus diperpanjang 30 menit karena antusiasme dari para peserta mahasiswa dan juga dosen untuk bertanya maupun berbagi buah-buah pemikirannya.

Seminar yang merupakan wujud respon terhadap film Innocence of Muslims yang sebelumnya ini merebak menyita perhatian dunia Islam, menghadirkan 300 peserta mahasiswa dari beragam kebangsaan. Di antaranya adalah mahasiswa dari Pakistan, Afghanistan, Thailand, Indonesia, Filiphina, Somalia, Kenya, Uganda, dan Cina.

Konsep acaranya sederhana, rapih, dan terencana dengan baik. Dengan menghadirkan tiga pembicara dari latar keilmuan berbeda. Tampaknya rekan-rekan PPMI Pakistan ingin memberikan pelajaran tentang pentingnya landasan intelektualisme dalam setiap tindakan maupun respon dalam berkehidupan ini. Menariknya, mereka adalah mahasiswa Indonesia yang sedang studi di IIUI, di mana Pakistan yang seringkali mendapat cap sebagai lahan subur radikalisme, namun ternyata mereka merupakan tunas-tunas yang jauh dari aksi radikal.


Pesan Intelektual

Acara itu berhasil menghimpun beberapa pesan intelektual dari para pembicara. Adalah Dr. Nabiel Fouly, dosen Aqidah dan Filsafat asal Mesir, yang memaparkan bahwa di antara sebab adanya penghinaan ini karena mendarah-dagingnya hasad di sebagian kaum kepada Rasulullah shalallahu alaihi wasallam dan ummatnya. Selain juga karena faktor kebodohan, ketidaktahuan, dan ketidak-mengenalnya mereka kepada sosok Nabi Muhammad shalallahu alaihi wasallam.

Pesan intelektual lainnya datang dari pembicara kedua asal Pakistan yang menggeluti bidang keilmuan Hadits, Mr. Ruhul Amin. Ia memaparkan bahwa penghinaan-penghinaan semacam ini bukanlah peristiwa baru, tetapi sudah ada sejak lama. Dari beragam peristiwa itulah kita belajar. “Mereka mengatakan bahwa Muhammad bukan Nabi, itu hak mereka. Dan kita bisa diskusikan. Tapi tidak menghinanya,” tegasnya memperkuat sikap intelektual.

Persoalan bagaimana pembelaan atas penghinaan terhadap Rasulullah, ia mengatakan bahwa aksi turun ke jalan untuk menunjukkan kekuatan ummat adalah satu dari sekian sarana. Itu untuk menunjukkan semangat kecintaan kita kepada Rasul yang lahir dari ideologi kita, tapi bukan semata kemarahan yang lahir dari emosi kejiwaan. Yang pada akhirnya justru melahirkan sikap-sikap yang jauh dari keteladanan Rasulullah.

Selain itu ada sarana lainnya melalui internet dan media informasi. Juga semangat kita mempelajari bahasa Arab merupakan bentuk kecintaan kita kepada Rasulullah. Sebab, bagaimana kita akan membaca al Qur’an yang diturunkan kepada Rasulullah? Bagaimana pula kita membaca shirah perjalanan hidup Rasulullah? Pun bagaimana kita mengetahui sunnah-sunnahnya? Kalau kita tidak bisa berbahasa Arab.

Terakhir, pesan Dr. Abdullah Rizq Al Muzaini, seorang dosen bidang Syari'ah dari Palestina, yang menegaskan bahwa seminar-seminar semacam ini harus berujung pada aksi nyata. Bagaimana kita meminta kepada PBB, Pemerintah-Pemerintah di setiap negara, dan juga lembaga-lembaga Muslim internasional, untuk bersama-sama merumuskan regulasi yang mengatur penghormatan antar ummat beragama. Sebab, hasil-hasil pemikiran dalam seminar semacam ini tidak akan banyak memberikan manfaat, kecuali bila tersosialisasikan dengan baik dan terumuskan dalam kebijakan-kebijakan hukum yang mengatur tata sosial.


Tradisi Intelektualisme dalam Islam

Intelektualisme yang bila merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia bermakna, “ketaatan atau kesetiaan terhadap latihan daya pikir dan pencarian sesuatu berdasarkan ilmu.” Kiranya inilah yang kita damba bersama. Bahwa kehidupan ini adalah wujud peradaban. Yang satu dengan lainnya saling terkait. Yang selalu ada nilai-nilai pertanggungjawaban, baik kepada sesama makhluk maupun kepada Sang Pencipta. Oleh karenanya, harus ada kedisiplinan berpikir dengan telaah-telaah keilmuan yang dapat dipertanggungjawabkan sebelum kita bertindak ataupun merespon sebuah tindakan di kehidupan ini.

Dalam tataran masyarakat Islam, sebenarnya tradisi intelektualisme merupakan ruh beragama. Sebab, amal dalam Islam tidak sah kecuali dengan ilmu dan keikhlasan. Di mana dalam memenuhi target pencapaian ilmu itu prosesnya sepanjang usia hidup, dengan pilar-pilarnya keluarga sebagai sekolah pertama, dan ruangnya tak berbatas pada sekat-sekat lokal kelas di sekolahan. Darinyalah Islam menghendaki pemeluknya menjadi manusia ideolog, manusia yang tahu tentang apa yang harus ia perbuat dan kenapa ia harus berbuat dengan segala risiko dan pertanggungjawabannya.


Bersama Menyuburkan Taman Intelektualisme

Saat ini kita memang berada di peradaban yang maju dengan kemerosotan tradisi intelektualisme. Sebabnya di antaranya karena membanjirnya media-media informasi yang serba instan, dan juga sistem mekanik yang semakin memanjakan manusia dengan kerja yang serba kilat dan mudah. Selain juga karena munculnya keputus-asaan pada kondisi kehidupan, yang berujung pada malasnya penggalian pikiran kita untuk mencari solusi-solusi secara intelektual.

Sayangnya, di tengah maraknya fenomena aksi protes yang berujung kerusuhan dan kekerasan, kita hanya mendapati cercaan kalangan 'intelektual' pada pelakunya. Padahal bila kita cermati, aksi-aksi yang berujung kerusuhan itu tiada lain karena mereka tidak memiliki narasi pemecahan masalahnya. Hal itu belum tentu karena mereka tidak mau menggali lahan berpikirnya guna mendapatkan tunas-tunas solusi. Sebab, bisa jadi karena mereka memang tidak memiliki ruang yang bisa menampung mereka untuk mengelola nilai-nilai intelektualisme-nya.

Lalu, bila demikian tentu sudah seharusnya kita yang mengaku 'intelektual' tak sekadar mencerca mereka. Saatnya kita pun berpikir solutif. Mari kita buatkan ruang-ruang bagi mereka untuk mengeksplorasi bersama tambang-tambang intelektualnya. Atau kita buatkan panggung, agar mereka bisa saling menampilkan hasil-hasil intelektualnya.

Agar tidak di satu sisi kita menghujat aksi kekerasan, tapi di sisi lain kita tak tanggap untuk memacu pembangunan panggung-panggung guna atraksi intelektualisme mereka. Sebab, perlu sekian banyak panggung untuk menampung penampilan pikiran beragam orang. Maka siapapun kita, hendaknya turut aktif berkontribusi membangun panggung-panggung itu. Dengan dana, waktu, tenaga, jaringan, dan lain sebagainya yang kita miliki.[]

Islamabad, 28 September 2012

Leave a Reply

DisClaimer Notes: Jika di Blog kami ditemukan kesengajaan dan atau tidak sengaja menyakiti siapa pun dan dalam hal apapun termasuk di antaranya menCopas Hak Cipta berupa Gambar, Foto, Artikel, Video, Iklan dan lain-lain, begitu pula sebaliknya. Kami mohon agar melayangkan penyampaian teguran, saran, kritik dan lain-lain. Kirim ke e-mail kami :
♥ amiodo@ymail.com atau ♥ adithabdillah@gmail.com