Oleh: Syarif Almubarak
Opini, Kahaba.-
Belakangan ini aksi terorisme kembali menjadi perbincangan hangat,
terlebih lagi setelah aksi penembakan (baca: pembunuhan) terbaru yang
dilakukan oleh densus 88 terhadap 7 orang terduga sekali lagi terduga
teroris yang dua terjadi di pelataran teras Masjid Nurul Afiah di RS.
Dr. Wahidin Sudirohusodo, Makassar. Sedangkan lima korban lainnya di
daerah Bima dan Dompu, NTB.
Hal ini kemudian menimbulkan banyak
pertanyaan, terlebih lagi bagi masyarakat daerah Bima dan Dompu yang
selama ini terkenal damai, agamis, dan sangat toleran. Aksi dari densus
88 ini ditanggapi secara negatif oleh seluruh warga masyarakat Bima dan
Dompu. Pasalnya penembakan yang dilakukan oleh densus ini mengandung
banyak kejanggalan. Salah satu sikap masyarakat bima dalam menanggapi
hal ini bisa kita lihat dengan hadirnya tim pencari fakta dan
rehabilitasi (TPFR) Bima yang dimotori oleh MUI dan Ormas Islam seluruh
Bima. Selain itu sikap spontan para Jurnalis Muslim Bima untuk
menggalang dana yang diberikan kepada keluarga korban penembakan. Hal
ini adalah bukti bahwa sebenarnya masyarakat Bima adalah orang-orang
yang peduli terhadap para korban. Jika memang para korban adalah pelaku
teror apakah layak jika masyarakat menyikapinya sedemikian baik?
Lalu siapakah yang memulai aksi teror di
Bima sehingga pada akhirnya seluruh pulau Sumbawa dinyatakan dalam
kondisi siaga 1? Pertanyaan itu tentu akan dengan sangat mudah di jawab
oleh seluruh lapisan masyarakat Bima bahwa tidak lain dan tidak bukan
pelakunya adalah dari kalangan Densus 88. Mereka tanpa bisa menjelaskan,
tanpa ada bukti yang benar-benar bisa menguatkan dugaan mereka langsung
saja menembaki para assatidz bahkan masyarakat awam yang
mungkin bahkan tidak mengetahui apa itu makna terorisme. Densus 88
sedang menciptakan suasana di mana situasi dan kondisinya akan
menjadikan psikologi masyarakat Bima cemas dan takut. Nantinya
masyarakat akan enggan untuk belajar dan membangun nuansa religius di
kawasan Bima karena akan distigmakan sebagai teroris. Para orang tua
akan takut untuk menjadikan anaknya para alim ulama, akan cemas jika
anaknya dipanggil ustadz karena sapaan ustadz kemudian akan berkonotasi
sama dengan teroris.
Bahkan menurut Dr. Saharudin Daming, SH,
MH “Densus 88 itu lebih mirip sebagai bandit daripada aparat penegak
hukum. Saya sendiri tidak lagi mentolelir eksistensi Densus 88 itu
sebagai aparat penegak hukum, karena sudah terlalu sering
mengatasnamakan penegakkan hukum tapi menginjak-injak Hak Asasi Manusia
dan menginjak-injak kesucian agama,” ujarnya saat diwawancara
voa-islam.com, Selasa (8/1/2013).
Lanjut beliau, “Densus 88 sama sekali
tidak menghormati, jangankan nyawa manusia rumah ibadah pun tidak
dihormati, karena itu saya menyerukan agar Densus 88 itu segera
dibubarkan,” kata dewan pakar Pusat HAM Islam Indonesia (PUSHAMI) itu.
Maka siapakah yang sebenarnya menjadi teroris di Bima sehingga menjadikan pulau Sumbawa dalam kondisi Siaga 1?
yang baru TERDUGA belum terbukti sudah langsung ditembak mati
TAPI bandar narkoba,koruptor DILINDUNGI dan potongan penjara...!!!
Duh duh duh........Negara ini BENER2 BOBROK...!!!