Di mana lagi
belajar sejarah jihad melawan pasukan Salib dengan mengunjungi langsung
tempat-tempat aslinya, kalau bukan di negeri Syam? Salah satu “saksi”
penting Perang Salib yang berlangsung selama ratusan tahun itu ialah
benteng raksasa bernama Qal’atul Hosn. Kita akan “mendengarkan” dari
benteng ini rangkaian kisah lebih dari seribu tahun para mujahidin,
raja, panglima, ksatria, dan perampok menguasai benteng ini. Seperti
dituturkan Nurul Azka, putri Indonesia yang sedang belajar di Damaskus
melakukan perjalanan bersama keluarga untuk pembaca Majalah Suara
Hidayatullah.
Tak cukup sehari untuk menikmati benteng Qal’atul
Hosn, karena waktu akan terbang begitu cepat saat kita asyik menyusuri
batu demi batu yang dihancurkan, dibangun, dihancurkan, dibangun lagi
dari zaman ke zaman, dari rezim ke rezim, dari peradabaan ke peradaban.
Lorong demi lorong. Kamar-kamar megah dan ruang-ruang gelap tempat
penyiksaan. Menara pengintai dan pilar-pilar masjid. Teater dan
jalan-jalan rahasia. Celah-celah pemanah dan istal kuda-kuda perang.
Di
zaman ketika jet tempur dan bom atom belum jadi alat utama sistem
pertahanan, teknologi benteng merupakan salah satu bentuk pencapaian
yang dianggap paling canggih.
Sebagai bagian dari pusat
pergolakan sejarah dunia, negeri Syam khususnya Suriah menjadi tempat
berdirinya enam benteng penting peninggalan zaman sebelum dan sesudah
Perang Salib. Salah satunya terdapat di kawasan Homs (Hims) yaitu
Qal’atul Hosn alias Krak des Chevaliers.
Sesudah sekitar 3 jam
meninggalkan Damaskus dengan santai, bis ukuran sedang sewaan yang
mengangkut kami ber-14 mendaki perbukitan kawasan timur Tartus.
Jarak
antara ibukota Suriah, Damaskus, dan kota Homs sekitar 177 kilometer,
ditambah 40 kilometer ke arah barat. Di dekat perbatasan dengan
Lebanon Utara inilah nampak Qal’atul Hosn berdiri gagah di bukit hijau.
Pemandangannya indah, tapi angin sisa musim dingin terlalu menusuk,
jadi kami memilih masuk ke dalam restoran dan menyeruput teh manis
kental khas Arab yang masih ngebul.
Sambil menunggu waktu salat
Jumat, kami memandangi perbukitan Tartus lewat jendela-jendela kaca
besar dari dalam restoran. Di bawah sana ratusan rumah menempati
desa-desa di dataran yang lebih rata.
Dengan Isyarat
Dari
atas menara tertinggi di Qal’atul Hosn, akan bisa dilihat ujung menara
benteng lain yang terletak di salah satu bukit puluhan kilometer nun
jauh di sana, yang jadi penghubung antara Qal’atul Hosn dengan benteng
berikutnya yang berlokasi di tepi pantai. Pada masa itu, para penjaga
menara-menara itu berkomunikasi dengan bendera di siang hari, dan
dengan api unggun di malam hari.
Bila benteng yang di tepi pantai
memergoki pergerakan kapal-kapal pasukan Salib asal Eropa mendekati
Tartus, sinyal segera dikirimkan dengan bendera tertentu maupun api
kepada benteng perantara, yang kemudian meneruskan pesan itu ke
Qal’atul Hosn.
Dalam hitungan jam, ribuan pasukan berkuda
dan infanteri di Qal’atul Hosn segera disiapkan menyambut kedatangan
musuh yang masih lebih dari seratus kilometer jauhnya. Bahkan masih di
tengah laut.
Sebaliknya, di masa benteng-benteng ini dikuasai
pasukan Salib, Qal’atul Hosn yang terletak di atas bukit setinggi 650
meter sangat berperan vital. Ia berfungsi untuk mengendalikan
satu-satunya jalur dari kawasan Arab ke Laut Tengah. Semua pergerakan
pasukan Muslimin dari arah Damaskus dikendalikan pemantauannya dari
benteng ini.
Bangunan asli benteng ini dibangun oleh seorang
gubernur Muslim yang bermarkas di kota Halab pada 1031. Pada Perang
Salib pertama, 1099, benteng ini direbut oleh pasukan Kristen yang
dipimpin panglima Prancis Raymond IV dari Toulouse, namun tidak
dimanfaatkan secara serius karena pasukan itu meneruskan pergerakannya
ke arah Yerusalem.
Sejak itu, penguasa benteng ini berganti-ganti
dari satu raja atau panglima Kristen ke rekan mereka yang berikutnya.
Qal’atul Hosn kemudian disebut Krak des Chevaliers. Fungsi utamanya
menjadi tempat persinggahan para komandan dan templars pasukan Kristen,
baik saat mereka baru tiba setelah menyeberangi Laut Tengah dari Eropa,
maupun saat bersiap-siap pulang ke Eropa sesudah terlibat pertempuran
di kawasan Tanah Suci Al-Quds atau Yerusalem.
Dalam
kurun perang-perang Salib yang berlangsung ratusan tahun itu, pasukan
dari dua panglima Muslim sempat tercatat tidak berhasil merebut benteng
ini, yaitu Nuruddin Zinki (1163) dan Salahuddin Al-Ayyubi (1188). Jadi
ketika Masjidil Aqsha berhasil dibebaskan oleh armada Salahuddin pada
1187, Krak des Chevaliers yang letaknya jauh di utara masjid suci itu
tetap dikuasai pasukan Salib. Hampir seratus tahun kemudian, barulah
Mamluk Sultan Baibars berhasil menaklukkan Krak des Chevaliers dan
mendudukinya (1271).
Hari ini, di pintu utama benteng ini, Anda
akan disambut kibaran bendera Republik Arab Suriah di sebuah tiang, dan
daftar tarif karcis masuk ke dalam benteng yang tergantung di dinding
luar sebelah kiri pintu masuk. Tertulis di situ jam kunjungan di musim
panas dari pukul 9 pagi sampai 6 sore, sedangkan di musim dingin dari
pukul 9 sampai 4 sore.
Tarif karcis dibedakan antara wisatawan
asing (150 pound Suriah, sekitar 35 ribu rupiah), warga Suriah (15
pound, sekitar 3500 rupiah), dan pelajar, tidak peduli pelajar lokal
maupun asing (10 pound, sekitar 2300 rupiah).
Yang tidak
berstatus pelajar di rombongan kami hanya dua orang, Eyang Putri saya,
yang berusia 63 tahun, dan sahabat Pakde saya yang berusia 48 tahun.
Sedangkan Pakde dan Bude saya yang mengajak kami ke Suriah tetap
berstatus pelajar karena memang mereka sedang belajar bahasa Arab di
Damaskus.
Sebuah lorong dengan konstruksi limestones alias
bebatuan alami yang menakjubkan di dinding dan langit-langitnya membawa
kami menuju lapisan pertama benteng ini. Setelah keluar dari lorong
yang menanjak itu, kami tiba-tiba sudah berada di udara terbuka di
bagian dalam lapisan pertama. Ada jurang dan sungai buatan yang
dalamnya sekitar 20 meter, mengelilingi bangunan utama benteng yang
dibuat menjulang ke langit –sehingga hampir mustahil untuk didaki.
Bahan Pembelajaran
Kabarnya,
benteng ini, sengaja didesain untuk mampu bertahan menghadapi kepungan
musuh bahkan selama 5 tahun! Tak heran bila di dalamnya disiapkan
segala sesuatunya, termasuk sumber air, gudang minuman dan makanan,
serta lorong-lorong rahasia yang terhubung ke desa-desa di bawah bukit.
Yang
tak kalah mengesankan adalah istal alias kandang kuda dengan panjang
sekitar 120 meter dan lebar sekitar 20 meter. Lebih dari seribu ekor
kuda bisa ditampung di dalamnya.
Rombongan kami menaiki sebuah
tangga ke pinggir tembok benteng. Di bawah gerimis yang sangat dingin,
kami menyusuri bagian atas tembok itu. Agak ngeri karena lebarnya
bervariasi antara 2 sampai 4 meter. Kalau sampai terpeleset, kita akan
jatuh dan menggelinding tanpa henti di perut bukit yang curam itu
sampai ke perbatasan desa jauh di bawah sana. Alhamdulillah, semua
lancar dan kami menikmati pemandangan indah dari ketinggian yang
istimewa ini.
Di ujung tembok kami turun lewat tangga. Ada dua
buah van diparkir di dalam benteng. Rupanya ada shooting film yang
berlatar belakang zaman Turki Utsmani.
Eyang, Bude, dan kakak
sepupuku keletihan dan memilih duduk di sebuah lorong yang cukup
hangat. Sedangkan kami meneruskan penjelajahan mengunjungi sebuah
masjid yang dahulunya gereja. Pilar-pilar dan bagian dalam
kubah-kubahnya bergaya Gothic Eropa.
Di bagian luar bangunan ada
pahatan-pahatan geometrik khas kebudayaan Arab yang indah. Waktu kami
tak tersisa banyak. Hujan dan angin dingin sudah semakin deras. Kami
harus bergerak menuju Hama dan Halab, dua kota kuno berikutnya yang
juga menjanjikan petualangan sejarah yang tak kalah serunya.
Ketika
bis mulai bergerak, Pakde mengingatkan kami bahwa semua perjalanan ini
sia-sia kalau tidak diniatkan untuk belajar di jalan Allah. Bis kami
bergerak dan Qal’atul Hosn menghilang dari pandangan. Namun kesadaran
sejarah panjang yang baru saja kami “dengarkan” darinya, pelan-pelan
semakin membatu di lubuk hati kami. Semoga Allah meridhai. Amin.
Sumber: Majalah suara hidayatullah-2011