Oleh : Muhadi *
Opini, Kahaba.-
Lulusan perguruan tinggi (PT) Mendominasi jumlah pengangguran di
Indonesia. Lapangan kerja yang tersedia tak mampu menyerap lulusan PT
yang terus bertambah tiap tahun. Lulusan PT belum siap pakai di dunia
kerja. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Jumlah pengangguran
pada Agustus 2012 mencapai 7,2 juta orang dengan tingkat pengangguran
terbuka (TPT) sebesar 6,14 persen. Lulusan PT Mendominasi angka TPT
sebesar 12,12 persen, terdiri dari atas 6,12 persen lulusan diploma dan
5,91 persen lulusan universitas (Republika, 4 Desember 2012).
Di Nusa Tenggara Barat terutama di Kota
Bima selama 7 tahun terakhir tercatat jumlah pengangguran ± 5.000 orang
yang didominasi oleh SMA dan Sarjana. Hal ini setidaknya memicu beban
pemerintah dan masyarakat, sehingga menciptakan instabilitas
produktifitas manusia. Persiapan dan perencanaan kebutuhan tenaga kerja
secara nasional dan daerah terkadang mendapat kendala penyerapan pada
semua sektor, kemudian di sisi lain tuntutan untuk memajukan
perekonomian kerakyatan yang stabil dan berkembang terus mendapatkan
masukan dari berbagai pihak, terutama tuntutan rakyat Bima.
Keseriusan Membangun Budaya Kompetitif
Pengembangan Infrastruktur perekonomian
dan dukungan pemerintah di daerah terlihat masih kurang cepat. Visi
pemerintah belum terbangun sama sekali dalam kerangka implementasi
pembangunan, meski pun sudah banyak perubahan tata pembangunan daerah
yang sudah semakin membaik dalam perhatian kita bersama. Komitment
politik para pemimpin daerah kita semakin mendapatkan tantangan yang
besar antara amanah masyarakat dan kepentingan individu.
Hal ini tentunya tidak melunturkan
semangat perangkat pemerintah daerah untuk terus berpikir terkait
pengembangan strategis tata perekonomian kota dan tidak hanya menjadi
dokumen perencanaan belaka tanpa adanya aksi nyata. Meskipun pemerintah
melalui beberapa informasi kemarin di puji oleh salah seorang menteri
negara dapat memainkan peran perekonomian dengan baik namun secara
faktual kesenjangan itu sangat sulit dipungkiri. Akses untuk mendapatkan
pekerjaan sangat susah meskipun sudah ada usaha dari pemerintah untuk
menciptakan dukungan dari pihak swasta untuk menciptakan lapangan kerja
baru.
Jenis pengangguran penulis mencoba
menjadi dua bagian yaitu pengangguran internal yaitu meraka yang
menyelesaikan studi di perguruan tinggi kemudian masih bertahan dan
berdomisili di dalam daerah yang tidak memiliki akses pekerjaan yang
tetap. Jenis yang kedua pengangguran eksternal yaitu mereka-mereka yang
menyelesaikan studi di perguruan tinggi yang kemudian setelah meniatkan
diri kembali ke kampung halaman, kemudian memilih untuk mencari
alternatif lain di luar daerah.
Beberapa penyebab diantaranya yaitu pertama, terkait status quo vadis
rektrutmen CPNS oleh pemerintah yang masih bertahan dengan gaya ’Calo
Moderen’ sampai tahun 2014. Kedua, putra daerah yang secara kapasitas
dan integritas yang seharusnya tercover oleh pemerintah daerah, akhirnya
karena tendensi dan interest secara kultural membuat mereka mencari alternatif di luar daerah.
Secara tidak langsung orang-orang yang
berpotensi secara intelektual dan kemapanan sosial tidak bisa di
manfaatkan oleh pemerintah daerah sebagai suatu aset. Kuota penerimaan
yang terbatas pada masing-masing daerah pada setiap penerimaan
setidaknya menjadikan ini suatu alasan tersendiri untuk terus memacu
ketersediaan lapangan kerja dan infrastruktur penunjang. Fenomena
pengangguran seperti ini juga sangat beragam model dan keberadaannya.
Tingkat lulusan dari perguruan tinggi semakin ditampung sejak tahun 2011
kemarin.
Diskursus Perspektif Kualitas Perekonomian Daerah
Pertama, membentuk ruang khusus untuk
kegiatan ekonomi akan lebih langsung menggerakkan kegiatan ekonomi.
Pemerintah daerah perlu berusaha mengantisipasi kawasan-kawasan mana
yang dapat ditumbuhkan menjadi pusat-pusat perekonomian wilayah.
Kawasan-kawasan yang strategis dan cepat tumbuh ini dapat berupa kawasan
yang sudah menunjukkan tanda-tanda aglomerasi, seperti sentra-sentra
produksi pertanian tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, peternakan,
perikanan atau wisata yang yang akhir-akhir semakin marak di Bima.
Cluster industri, semua harus
diakomodir dan di atur oleh pemerintah tentunya dengan harapan dapat
menyerap tenaga kerja yang trampil. Misalnya Kabupaten Bima maupun Kota
dapat difokuskan pada pusat wisata religious dan modern dengan segala
potensi yang ada. Kawasan cepat tumbuh juga dapat berupa kawasan yang
sengaja dibangun untuk memanfaatkan potensi SDA yang belum diolah,
seperti yang dulu dikembangkan oleh zaman kesultanan bahwa Bima
merupakan pusat transmigrasi dan persinggahan para tokoh-tokoh besar.
Kawasan-kawasan ini perlu dikenali dan
selanjutnya ditumbuhkan dengan berbagai upaya pengembangan kegiatan
ekonomi, seperti pengadaan terminal agribisnis, pengerasan jalan,
pelatihan bisnis, promosi dsb. Pengembangan kawasan-kawasan strategis
dan cepat tumbuh ini perlu dilakukan bersamaan dengan upaya peningkatan
keterampilan, pengembangan usaha, dan penguatan keberdayaan masyarakat
Mbojo.
Kedua, meningkatkan daya saing adalah
dengan meningkatkan persaingan itu sendiri. Ini berarti
perlakuan-perlakukan khusus harus ditinggalkan. Proteksi perlu
ditiadakan segera atau pun bertahap. Pengembangan produk yang sukses
adalah yang berorientasi pasar, ini berarti pemerintah daerah perlu
mendorong pengusaha untuk selalu meningkatkan efisiensi teknis dan
ekonomis. Peraturan perdagangan internasional harus diperkenalkan dan
diterapkan.
Perlu ada upaya terencana agar setiap
pejabat pemerintah daerah mengerti peraturan-peraturan perdagangan
internasional ini, untuk dapat mendorong pengusaha-pengusaha daerah
menjadi pemain-pemain yang tangguh dalam perdagangan bebas, baik pada
lingkup daerah, nasional maupun internasional. Disatu sisi juga perlu
untuk menerapkan dan mengembangkan konsep pemberdayaan untuk kelompok
UKM (Usaha Kecil Menegah) terlebih khusus di Bima terkait usaha
kerajinan tangan, tenun dan ciri kedaerahan yang bias dijadikan kekhasan
daerah secara luas.
Tulisan ini mengingatkan kita semua akan
perjuangan putra/putri daerah menjelajahi samudra pendidikan tinggi di
luar daerah bahkan lintas pulau yang kemudian tidak mendapatkan
kesempatan dan tempat yang layak di negeri sendiri yang diakibatkan arus
pola rekrutkmen dan seleksi yang begitu rumit dan sulit di ungkapkan
poros permasalahannya. Kaum muda semakin sulit mendapatkan pekerjaan
seolah-seolah kepulangan mereka tidak diberdayakan. Sehingga syarat
utama yaitu sukses dan tidaknya segala sesuatu harus diukur dengan
dengan kekuatan materi. Manjadda wa jadda. Salam