Start By Reading

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ "Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang". الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ "Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam". الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ "Maha Pemurah lagi Maha Penyayang". مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ "Yang menguasai di Hari Pembalasan". إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ "Hanya Engkaulah yang kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan". اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ "Tunjukilah kami jalan yang lurus", صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ "(yaitu) Jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat".
Tuesday, January 15, 2013

ISLAM , POETIKA AL-QUR'AN DAN SASTRA

0 comments
Sa'di, penyair sufi Persia abad ke-12-13 M. Mausoleumnya di kota kelahirannya Shiraz sampai kini jadi pusat kunjungan wisata yang ramai.
ISLAM, POETIKA AL-QUR`AN DAN SASTRA (1)

Oleh Abdul Hadi W. M.



            Walaupun telah dinyatakan dengan jelas dalam surah al-Syu`ara namun nisbah Islam dengan sastra tetap saja sering diperdebatkan. Begitu pula walaupun karya bercorak Islam dijumpai dalam jumlah besar di negeri-negeri Islam, dan sebagian besar temanya berkaitan dengan  cabang-cabang ilmu Islam seperti ilmu fiqih, sejarah, tasawuf dan falsafah, tetapi kaitan karya-karya itu dengan Islam sering diragukan. Malahan tidak  sedikit di antara karya-karya itu merupakan hasil dari tafsir penulisnya menggunakan metode ta’wil  (hermeneutika kerohanian dan kesejarahan) terhadap ayat-ayat al-Qur`an, yang hasilnya kemudian ditransformasikan ke dalam ungkapan estetik sastra.
            Pandangan dan anggapan yang meragukan nisbah Islam dengan sastra, dan kesangsian bahwa terdapat sastra Islam dengan tema, corak pengucapan dan wawasan estetik serta pandangan dunia tersendiri, pada umumnya timbul untuk menafikan sumbangan Islam terhadap kebudayaan dan peradaban umat manusia. Sebagian lagi anggapan itu berkembang didasarkan semata-mata terhadap kurangnya perhatian orang Islam dewasa ini terhadap sastra dan tiadanya apresiasi di kalangan ulama, pemimpin dan cendekiawan Muslim.
            Namun demikian tidak dapat dinafikan sumbangan besar sastrawan Muslim sepanjang sejarahnya terhadap penyebaran agama Islam dalam wilayah yang luas dan di negeri-negeri yang latar belakang kebudayaan masyarakatnya berbeda-beda. Karya mereka tidak hanya berperan sebagai media dakwah dalam artian sempit, tetapi juga menjadi sarana pengajaran dan fundasi bagi kebudayaan kaum Muslimin. Melalui karya sastralah kesadaran sejarah dan penghayaan religius ditanamkan secara mendalam di lubuk  kalbu umat Islam, dan melalui karya sastra pula nilai-nilai, pandangan hidup dan gambaran dunia (weltanschaung) Islam disebarkan ke khalayak luas pemeluk Islam.
            Karena pentingnya  peranan dan fungsi sastra maka tidak mengherankan apabila dalam masa yang panjang karya sastra diapresiasi dan dihargai kalangan Muslim yang berpendidikan. Apalagi di antara penulisnya terdapat ulama, ahli tasawuf, wali dan cendekiawan yang begitu dihormati dalam masyarakat. Karena kedudukan sastra dan peranannya penting dalam perkembangan kebudayaan maka sastra dijadikan mata pelajaran utama di lembaga-lembaga pendidikan Islam. Tidak heran pula daripadanya lahir segolongan ulama dan cendekiawan yang kreatif dan prolifik di bidang penulisan serta mempunyai wawasan yang luas. Hanya dalam satu setengah abad terakhir ini sastra diabaikan di Dunia Islam bersamaan dengan penyempitan arti ulama sebagai ilmuwan untuk bidang fiqih dan usuluddin saja. Sejak itu tidak banyak lagi ulama dan ahli tasawuf rajin merawat dan mengasah kalam untuk penulisan karya kreatif.
            Di samping itu  sastra dan kajian sastra menduduki tempat penting oleh karena ia merupakan disiplin bantu utama dalam mengembangkan  ilmu Tafsir atau Tafsir al-Qur`an. Dan orang Islam yang benar-benar terdidik secara Islam tahu bahwa Tafsir merupakan asas dan induk ilmu-ilmu Islam yang lain. Tanpa semaraknya kajian filologi, poetika Arab, semantik, tatabahasa dan hermeneutik (ta'wil) pada awal tarikh Islam maka perkembangan ilmu Tafsir dan sejarah Islam mungkin akan sangat terhambat.
            Di luar kebudayaannya sendiri sastra Islam tidak sedikit sumbangannya terhadap kesusastraan Dunia. Sejak zaman Renaisan sampai awal abad ke-20 sastra Islam tidak henti-hentinya mempengaruhi perkembangan sastra Eropah. Di lain hal al-Qur`an, dengan gaya bahasanya yang indah, berhasil menyadarkan orang Islam akan pentingnya sastra dan ilmu bahasa serta seni dan poetika. Al-Qur`an penuh dengan hikmah dan kisah-kisah menarik yang setiap kali dapat dijadikan sumber ilham dan rujukan kreativitas sastra.  Dapat dikatakan bahwa sastra tidak mungkin berkembang dalam Islam tanpa disulut oleh semangat poetik dan estetik al-Qur`an.
            Peranan penting sastrawan dalam penyebaran agama Islam sangat banyak buktinya dalam sejarah. Sebagai contoh dapat dikemukakan di sini peranan penting sastrawan Muslim dalam menulis dan menyebarkan kisah Nabi Muhammad S.A.W. dan nabi-nabi Islam yang lain. Kisah-kisah itu dapat menarik perhatian masyarakat sebab disajikan dalam bentuk karya sastra dan membantu menumbuhkan kesadaran religius dan kesadaran sejarah umat Islam. Begitu pula halnya dengan penyebaran kisah para Sahabat, Wali dan pahlawan-pahlawan Islam terkemuka dalam sejarah, peranan sastrawan sangat menonjol. Para sastrawan pulalah yang berada di garda depan dalam mentransformasikan simbol-simbol al-Qur`an dan sejarah Islam menjadi simbol budaya masyarakat Muslim. Melalui simbol-simbol budaya itu umat Islam yang berbeda-beda etnik, bangsa dan latar belakang kebudayaan dapat dipersatukan secara batin yaitu dengan kesadaran budaya dan adab yang sama.
            Mengenai efektifnya penggunaan sastra, dalam hal ini syair dan seni lain seperti musik dan seni suara, cukuplah saya memberi contoh penyebaran Kasidah Burdah dan Kasidah Barzanji. Kedua untaian syair ini mengisahkan kehidupan dan perjuangan Nabi Muhammad S. A. W. selaku rasul Allah yang diturunkan sebagai rahmat bagi sekalian alam. Dua kasidah ini sangat populer sampai sekarang di lingkungan masyarakat Muslim di seluruh dunia dan dinyanyikan pada setiap perayaan Maulid Nabi Muhammad S.A.W. Cukup di sini kita kemukakan penjelasan Zainuddin al-Ma`bari, seorang ulama tasawuf  dan ahli sejarah terkenal pada abad ke-15 M. Dalam bukunya Tuhfat al-Mujahidin dia mengatakan bahwa keberhasilan dakwah Islam di India dan Asia Tenggara, khususnya Malabar, banyak dibantu oleh pembacaan kisah Nabi dengan cara memikat, yaitu melalui pembacaan syair yang dinyanyikan seperti Kasidah Burdah dan Kasidah Barzanji. 
            Khazanah sastra Islam sangat melimpah. Ia meliputi karya populer seperti Alf Layla wa Layla (Seribu Satu Malam), Hikayat Bayan Budiman dan Khalilah wa Dimnah sampai karya alegoris seperti Hayy Ibn Yaqzan karya Ibn Tufayl, Mantiq al-Tayr karya Fariduddin `Attar, Gulistan karya Sa`di, Matsnawi (Rumi), Syair Burung Pingai (Hamzah Fansuri), Javid-namah (Iqbal), Ahl al-Kahf (Tawfik el-Hakim)  dan lain-lain. Keanekaragaman corak dan jenisnya, serta  tema dan permasalahannya dari yang khusus sampai universal, hanya mungkin lahir dari rahim ajaran agama yang universal pula.
            Islam mengajarkan tanggungjawab individu dan kedudukan manusia sebagai khalifah Tuhan di muka bumi, yang sekaligus juga hamba-Nya. Ini menumbuhkan kesadaran bahwa setiap karya sastra mesti dipertanggungjawabkan oleh masing-masing pengarang selaku pribadi, dan pertanggungjawaban itu termasuk isinya. Penulis memperoleh kebebasan yang luas dalam memilih tema dan bahan penulisan, serta bebas pula memilih aliran dan gaya pengucapan. Yang penting ia harus mempertanggungjawabkan bentuk ekspresinya itu secara estetik, dan kandungannya mesti dipertanggungjawabkan secara moral dan kultural. Dengan demikian sastra memperoleh otonomi, dalam arti bahwa walaupun sastra sebagai bidang kegiatan terkait dengan agama, namun bentuk dan gaya ucapnya harus berbeda dari karya bukan sastra.

Surah al-Syu’ara
            Sebagaimana ayat-ayat al-Qur`an yang lain, ayat-ayat yang berkaitan dengan kedudukan dan peranan penyair dalam surah al-Syu`ara, diturunkan dengan konteks filosofis dan moral atau sosiologis tertentu yang luas dan senantiasa relevan. Konteks tersebut sering tidak diperhatikan dan sering orang hanya membaca apa yang tersurat dalam ayat tersebut tanpa mencari iktibarnya secara lebih mendalam. Tidak sedikit pula yang berhenti pada ayat yang berisi laknatan terhadap penyair yang berjalan dari lembah ke lembah diikuti oleh orang-orang sesat, dan kemudian berpendapat bahwa  Islam tidak memberi banyak ruang bagi kegiatan penulisan sastra. Tetapi apabila kita mau memperhatikan ayat-ayat yang mendahului laknatan itu dan selanjutnya membaca ayat-ayat berikutnya yang merupakan penutup, kita akan dapat memahami lebih arif  dan jernih tentang peranan penting sastrawan atau penyair dalam Islam.
             Ayat-ayat yang mendahului laknatan terhadap penyair sesat menceritakan nasib yang menimpa kaum terdahulu, yaitu kaum Nabi Ibrahim, Nabi Musa, Nabi Saleh, Nabi Luth, Nabi Syuaib dan lain-lain, yang menolak risalah agama Tauhid. Setelah memaparkan nasib yang menimpa kaum yang aniaya dan kufur itu, surah al-Syu`ara ditutup dengan delapan ayat sebagai berikut:

            Sesungguhnya Dia Maha Mendengar dan Mengetahui
            Apakah Aku memberi tahu kepadamu
            Kepada siapa setan-setan itu turun?
            Setan turun kepada setiap pendusta (ahli sihir)
            Yang dosanya sangat banyak.
            Mereka menghadapkan pendengaran mereka
            (Kepada setan) dan kebanyakan mereka itu pendusta.
            Dan (ingatlah!) penyair-penyair itu diikuti orang sesat
            Tidak kaulihat mereka berjalan dari lembah ke lembah
            (Tanpa tujuan jelas dan pendirian pasti)
            Mereka mengatakan apa yang tidak diperbuat.
            Kecuali orang-orang beriman, beramal saleh dan banyak berzikir.
            Mereka mendapat pertolongan setelah dizalimi
            Dan orang-orang yang zalim itu
            Tidak tahu akan ke mana mereka kembali (berpaling).

            Konteks sosiologis dan moral ayat di atas cukup jelas. Ketika ayat tersebut diturunkan profesi kepenyairan dalam masyarakat Arab, dan masyarakat pagan lain, sering bertalian dengan ilmu sihir. Cukup banyak penyair yang berperan sebagai pawang dan ahli sihir dan menulis mantera-mantera. Dalam kitab Dala`il al-Ijaz karangan Abdul Qahir al-Jurjani, seorang ahli bahasa dan teoritikus sastra Arab abad ke-12 M, dibicarakan panjang lebar kaitan penyair dan profesi tukang sihir. Untuk memperkuat hujahnya al-Jurjani mengutip sabda Nabi yang maksudnya, “Sebagian puisi itu merupakan hikmah, dan sebagian lagi ialah sihir.”
            Peranan menonjol penyair yang lain ialah sebagai jurubicara kabilah. Syair-syair yang mereka tulis sebagian besar berkenaan dengan kehidupan di sekitar kabilah seperti peperangannya dengan kabilah lain, cinta penyair pada gadis-gadis  cantik yang dikenalnya di lingkungan kabilahnya  dan lain-lain Permusuhan kabilah yang satu dengan kabilah yang lain sudah pasti juga mengilhami penyair menulis sajak. Sajak yang ditulisnya sudah tentu pula membela kabilah dari mana penyair termasuk ke dalamnya dan tidak jarang sajak semacam itu sarat dengan ejekan dan penghinaan terhadap kabilah lain. Jenis sajak lain yang digemari ialah sajak cinta berahi yang tidak jarang mengarah ke pornografi, serta sajak khamriyah yaitu pemujaan berlebihan kepada arak atau anggur. Sering keindahan gelas anggur dan rasa nikmat anggur diumpamakan atau disamakan dengan kecantikan seorang gadis dan kenikmatan yang diperoleh dari mencintainya.
            Penyair-penyair seperti itulah yang dalam al-Qur`an dinyatakan “berjalan dari lembah ke lembah”. Al-Qur`an menolak peranan penyair seperti itu. Namun penyair yang beriman dan beramal saleh, banyak berzikir dan mempunyai simpati kemanusiaan yang luas, dikecualikan dari penolakan al-Qur`an. Pengaruh surah al-Syu`ara tidak kecil bagi perkembangan sastra Arab dan Persia, walaupun kecenderungan mengulang peranan penyair seperti pada zaman Jahiliyah selalu muncul dalam banyak babakan sejarah kesusastraan Arab dan Persia. Terutama pada masa timbulnya krisis politik, yang diikuti dengan timbulnya degradasi moral. Tidak jarang hal itu terulang justru ketika masyarakat Muslim sedang menikmati kemakmuran yang berlimpah, yang segera diikuti dengan menjangkitnya hedonisme dan materialisme.
            Kembali ke ayat-ayat dalam surah al-Syu`ara. Merujuk kepada ayat-ayat tersebut para penulis Muslim memandang kreativitas sastra sebagai bagian daripada ibadah. Ahli Hadis terkemuka al-Suyuti misalnya mengutip sebuah Hadis berbunyi, “Sesungguhnya Allah menjadikan puisi yang sejati sebagai sarana ibadah dan orang-orang zalim menjadikannya sebagai sarana untuk mendatangkan bencana bagi orang lain.”
            Hendaklah dicatat bahwa sebelum agama Islam muncul di tanah Arab, kesusastraan, khususnya puisi, telah berkembang pesat di lingkungan masyarakat padang pasir. Walaupun sebagai bangsa pengembara mereka jarang menuliskan karya para penyairnya, namun tidak berarti mereka tidak mengenal budaya tulis. Malahan karya para penyair terkemuka yang dianggap penting ditulis pada lembar kain yang bagus dengan tinta emas, kemudian menggantungkannya di dinding Ka`bah. Puisi-puisi yang digantung di dinding Ka`bah itu disebut mu`allaqat dan bentuk sajaknya ialah qasidah (puji-pujian). Di antara penulis mu`allaqat terkenal ialah Imrul Qais.
            Tradisi lama ini membekali bangsa Arab untuk mencintai dan melahirkan karya-karya yang bermutu tinggi, dan mengandung kesadaran baru, pada zaman datangnya Islam. Pada zaman Islam bukan lagi kemontokan tubuh gadis cantik yang dipuji, dan juga bukan cuma rasa kesukuan yang sempit. Puji-pujian kini ditujukan kepada pribadi Rasulullah. Ini melahirkan genre yang disebut al-mada`ih al-nabawiyah atau na`tiyah (pujian) dalam bahasa Persia. Sedangkan mengenai kepahlawanan yang menerima pujian ialah kepahlawanan membela risalah agama yang benar, membela kaum yang dianiaya dan ditindas, menegakkan simpati kemanusiaan dalam arti luas.
            Pada zaman Islam, sesuai dengan perkembangan masyarakat madani yang dibangun Nabi di Medinah sestelah hijrah, penulisan karya sastra mulai berkembang. Di antara pelopornya ialah Ali bin Abi Thalib, yang  kothbah-khotbah dan wejangan-wejangannya dituturkan dalam bahasa sastra yang indah, dan dihimpun dalam kitab bermutu sastra Nahj al-Balaghah. Ali bin Abi Thalib juga dapat dikatakan sebagai pelopor penulisan sajak bernafaskan Islam.
            Bahwa sastra diberi kedudukan penting dalam Islam tersirat dalam Hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Bukhari, “Sebaik-baik penyair ialah Labid yang berkeyakinan bahwa segala sesuatu lenyap selain Allah S.W.T.” Bersama-sama Kaab, Labid ialah pelopor penulisan sajak-sajak pujian kepada Nabi.
            Kecintaan masyarakat Muslim pada sastra juga berkaitan dengan kegairahan mengkaji bahasa dan nilai sastra al-Qur`an. Wahyu pertama yang diturunkan kepada Nabi (surah al-`Alaq) dimulai dengan seruan “Baca!” (Iqra’), yaitu menyimak wacana dengan pemahaman yang mendalam sehingga daripadanya lahir pengetahuan dan wawasan budaya yang luas, juga mendorong perkembangan budaya baca tulis. Lagi pula al-Qur`an memandang tinggi hasil perbuatan kalam (pena). Malahan al-Qur`an memandang alam semesta sebagai kitab agung, sebuah karya sastra yang maha indah, yang ditulis oleh Sang Maha Pencipta di atas lembaran yang terpelihara (al-lawh al-mahfudz).
            Pada periode selanjutnya, khususnya sejak abad ke-10 dan 11 M bersamaan dengan maraknya studi terhadap falsafah Yunani dan kebangkitan sastra Persia, perkembangan sastra  bertambah subur lagi. Pendorongnya ialah kegairahan mengkaji sastra di kalangan ilmuwan dan fislosof dan munculnya berbagai teori sastra yang inspiratif bagi penciptaan. Di antara filosof dan ahli teori sastra terkemuka yang telah memberi sumbangan besar dalam teori dan kajian sastra ialah al-Farabi, Ibn Sina, Qudamah, Abdul Qahir al-Jurjani, al-Baqillani dan lain-lain. Dalam teori mereka dikemukakan pentingnya imaginasi (takhyil) dalam penciptaan karya seni. Mereka juga menemukan bahwa kekuatan bahasa al-Qur`an disebabkan banyak ayat-ayatnya menggunakan bahasa figuratif (majaz), citraan visual (tamtsil), pengucapan simbolik (mitsal) dan metafora (isti`ara).
Sejak abad ke-13 M pembahasan teoritis tentang sastra dilanjutkan oleh para penulis Sufi. Para sufi seperti Imam al-Ghazali, Ibn `Arabi dan Rumi menambahkan teori tentang alam imaginal (`alam al-mitsal) sebagai landasan konseptual penciptaan realitas imaginer dalam karya sastra. Alam imaginal ini, dalam kehidupan spiritual manusia, berperan sebagai penghubung alam nyata (`alam al-syahadah) dan alam kerohanian/ transendental (`alam al-malakut).
            Salah satu hal paling signifikan yang menandakan pembaharuan dalam sastra ialah dikaitkannya sastra dengan adab, terutama pada zaman pemerintahan Bani Abbasiyah di Baghdad (750-1258 M). Bahkan di masa kemudian sastra diidentikkan dengan adab, seorang penulis karya sastra disebut al-adib. Dalam kesusastraan Melayu Islam karya-karya yang disebut sastra adab ialah semua karangan berkenaan dengan etika, sosial politik, hukum, pemerintahan dan ketatanegaraan.

Sumbangan dan Pengaruh
Sumbangan penulis Muslim terhadap kesusastraan dunia, sebagaimana sumbangan penulis Timur lain khususnya India, ialah dalam penciptaan karya bercorak adab. Sumbangan lain ialah dalam karya bercorak falsafah dan tasawuf (sufistik), kisah perumpamaan binatang (fabel) dan cerita berbingkai. Fabel dan cerita berbingkai karya penulis Muslim paling masyhur di seluruh dunia ialah Khalilah wa Dimnah dan Hikayat Seribu Satu Malam, yang di Eropah dikenal dengan sebutan Arabian Nights. Walaupun karya-karya ini dihasilkan pada zaman puncak peradaban Islam antara abad ke-10-13 M, tidak berarti bahwa kreativitas penulis Muslim berhenti sampai pada abad ke-13 M.
            Besarnya sumbangan penulis Muslim tidak hanya terlihat pada transformasi besar-besaran kebudayaan masyarakat Asia di sebelah Timur, seperti Pakistan dan Indonesia, yang sebelumnya memeluk agama Hindu dan Buddha. Tetapi juga karena tidak sedikit karya penulis Muslim itu mempengaruhi penulis-penulis Eropah, sejak zaman Renaissan sampai abad ke-20 M. Melalui terjemahan dalam bahasa Eropah pulalah karya-karya penulis Muslim dikenal di seluruh dunia.
            Sayang sekali kenyataan di atas, yaitu pengaruh kesusastraan Islam terhadap kesusastraan Eropah, sering ditutup-tutupi oleh penulis sejarah modern. Sebagai contoh bahwa pengaruh itu sangat besar terlihat pada hubungan puisi-puisi Spanyol sejak abad ke14 dan 15 M dengan puisi Arab Andalusia abad ke-12 dan 13 M.  Melalui saluran kesusastraan Spanyol pengaruh tersebut merembes ke benua Eropah yang lain. Ini antara lain dikemukakan oleh dua sarjana Jerman terkemuka abad ke-19 M yaitu von Hammer Purgstall dan Baron von Schakle.
            Dalam bukunya setebal 6 jilid Literature Geschichte der Araber (1850-6) Purgstall menyatakan bahwa karya Arab yang sangat mempengaruhi penulis Eropah ialah Maqamat karya al-Harizi (w. 1121 M). Dalam sastra Spanyol maqamat diterjemahkan menjadi picaro. Picaro yang terkenal ialah Et Cavarello Cifar dan Ribaldo. Karya Spanyol lain yang diilhami karya Muslim Arab ialah Don Kisot karangan Cervanthes (1547-1616 M). Pascott dalam bukunya History of  Ferdinand Isabella (1837) menyatakan bahwa novel tersebut disadur dari karya seorang sejarawan Arab abad ke-13 Said Hamid bin Anjili. Sedangkan von Schakle dalam bukunya Arabic Poetry in Andalusia and Sicily (1800) membicarakan pengaruh puisri Arab terhadap puisi-puisi Spanyol dan Perancis. Tradisi puisi yang dinyanyikan para troubadur, penyanyi pengembara, berasal dari tradisi Arab yang masuk ke Perancis pada tahun 1100 M melalui Sepanyol. Kata troubadur berasal dari kata Arab tharaba yang artinya menyanyi.
            Pengaruh sastra Islam di Jerman nampak pada Gerakan Ketimuran (Oriental) dan Weltliterature (Sastra Dunia), dua gerakan sastra penting  pada awal abad ke-19. Gerakan ini muncul bersamaan dengan maraknya penerjamahan karya-karya Timur ke dalam berbagai bahasa Eropah. Pelopor gerakan itu antara lain  Goethe dan Schiller. Salah satu karya Goethe yang dipengaruhi karya Islam ialah West-oestlicher Divan (1819).  Gaya dan tema sajak-sajak Goethe dalam antologinya ini sangat mirip dengan gaya dan tema puisi Hafiz, penyair Persia abad ke14 M yang sangat dikagumi Timur Leng. Menurut Purgstall karya Goethe itu merupakan salah satu karya Eropah tentang Timur yang paling menarik. Bentuknya merupakan dialog dalam lirik seperti misalnya nampak dalam percakapan antara Hatim dan Zuleicha. Judul-judul sajaknya juga bercorak Persia, antara lain “Mughanni-namah”, “Hijrah” dan lain-lain. Salah satu sajak Goethe yang melukiskan kepribadian Nabi Muhammad ialah “Mahometgesang” (Nyanyian Muhammad).
           Penulis Jerman lain yang dipengaruhi sastra Islam ialah August Graft van Platen. Dua karya Islamnya yang terkenal ialah Abbasiah dan Al-Ghazali. Bukan tidak mungkin Also Spracht Zarathustra, karya Nietzsche (w. 1900) yang tokohnya nabi orang Persia, dipengaruhi gaya al-Hallaj.  Episode-episode yang menyajikan penampilan Zarathustra di pasar dan lain-lain dalam menyampaikan ajarannya tentang Uebermensch (manusia unggul) sangat mirip dengan cerita tentang penampilan al-Hallaj dalam menyampaikan ajaran tasawufnya di kota Baghdad pada abad ke-10 M sebagaimana dipaparkan dalam Kitab Akhbar al-Hallaj.
          Adapun pengaruh sastra Islam di Perancis tampak dalam karya Gerard de Navel, Gautier dan Victor Hugo.  Di Inggeris itu pengaruh itu nampak dalam gerakan romantik. Seorang pelopor romantisme Inggeris P. B. Shelley malahan menulis karya yang kontroversial berjudul Revolt of Islam (1827). Penyair Irlandia abad ke-19 Edward Fitzgerald menjadi masyhur karena menyadur dan menerbitkan Rubaiyat Umar al-Khayami (Omar Khayyam), penyair dan ahli astronomi Persia abad ke-12 M.
            Pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 M kian banyak sarjana Eropah mengakui besarnya pengaruh kesusastraan Islam kepada penulis-penulis Eropah. Di antara buku penting tentang hal itu yang dapat disebut di sini ialah buku-buku karangan Juan Ribera, Martin von Hartmann, A. R. Nykl dan Ramon Menendez Pidal. Bahwa pengaruh puisi Arab kepada puisi Spanyol sangat besar, dapat dibaca misalnya dalam buku Pidal berjudul Arabic Poetry and European Poetry (1938).
            H. A. R. Gibb dalam bukunya Arabic Literature (1926) menyatakan bahwa sejak diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa Eropah pada pertengahan abad ke-19 sampai awal abad ke-20, Alf Layla wa Layla mengalami cetak ulang 300 kali dalam masing-masing bahasa. Salah satu karya penting Eropah yang dipengaruhi cerita berbingkai itu ialah Die Karavans (1828) karangan Wilhelm Hauft. Menurut Gibb sastra Eropah mencapai bentuknya yang matang dan mendapat jiwa baru yang dinamik setelah berinteraksi dengan sastra Islam.
            Pengaruh sastra Islam terhadap penulis Eropah secara lebih luas dan panjang lebar lagi diuraikan dalam buku yang disusun Tim Komisi Nasional Mesir untuk Unesco berjudul Islamic and Arabic Contribution to the European Renaissance (1981) dan karangan Luce Lopez-Barali berjudul Islam and Spanish Literature (1992). Melalui karya kedua sarjana ini kita mengetahui besarnya peranan dan sumbangan penulis Muslim Spanyol, walaupun pada awal abad ke-13 kekhalifatan Muslim Andalusia mengalami keruntuhan.  Tidak mengherankan jika al-Harizi,  penyair Persia yang tinggal di Baghdad pada awal abad ke-13, menyatakan pujiannya terhadap penulis Muslim Spanyol:

            Ketahuilah, sajak bermutu tinggi
            Diuntai bagai kalung permata
            Dan tidak disarati emas sepuhan,
            Muncul di Andalusia, dan dari sana
            Tersebar ke seluruh dunia
            Sajak putra-putri Andalusia kuat dan indah
            Seakan ukiran nyala api berkilauan
            Dibandingkan dengan karya mereka
            Karya penyair negeri lain lembek seperti wanita.

                        (Diterjemahkan dari buku Luce Lopez-Baralt)

            Luce Lopez Baralt memberi contoh menarik. Karya mistikal St John of the Cross (abad ke-15) “Burung Sebatang Kara” sangat jelas dipengaruhi puisi-puisi penulis Muslim abad ke-12 seperti Sana`i, Ibn Sina, Suhrawardi al-Maqtul dan `Attar. Kitab uraian mistikisme Kristen karangan St Theresa dari Avilla, yaitu Moradas des Castillo (Puri Kerohanian) mendapatkan ilham dari karya penulis Sufi Persia seperti Ahmad al-Ghazali, adik kandung al-Ghazali, Nizami dan lain-lain. Ini dikemukakan antara lain oleh M. A. Palacious dalam bukunya The Figure of the Castles and Dwellings of the Soul in Islamic Mysticism and St Theresa (1946).
            Contoh karya penulis Muslim yang berpengaruh di Eropah ialah Hayy ibn Yaqzan karya Ibn Tufayl, seorang sastrawan-filosof Muslim Spanyol abad ke-12 M. Sarjana-sarjana sastra Spanyol seperti Menendez Pelayo mengatakan bahwa karya Ibn Tufayl merupakan karya Arab terbesar, orisinal dan sekaligus unik. Ia juga merupakan science fiction pertama di dunia dalam arti sebenarnya. Sejak novel itu diterbitkan sampai abad ke-17 M, ia telah diterjemahkan ke dalam bahasa Ibrani dan Italia, dan pada abad ke-18 M mulai diterjemahkan ke dalam bahasa Spanyol, Jerman, Inggeris, Perancis dan Belanda. Karya-karya Eropah yang dipengaruhi Hayy bin Yaqzan antara lain El Criticon (Sang Kritikus) karya Baltazar Gracius yang terbit pada tahun 1651 M, kemudian Robinson Cruso karya Daniel Defoe, Jungle Book karya Rudyard Kipling dan Tarzan karya Jonathan Swift.
           Dalam Anthology of Islamic Literature (1964) James Kritzchek mengatakan bahwa Hayy ibn Yaqzan memang merupakan karya masterpiece Islam. Ia diterjemahkan ke dalam bahasa Inggeris beberapa tahun sebelum Daniel Defoe menulis Robinson Crusoe. Karya Islam lain yang berpengaruh di Barat ialah Khalilah wa Dimnah (Ibn al-Muqaffa`), Alf Layla wa Layla (Seribu Satu Malam), Mantiq al-Tayr (`Attar), Hikayat Isra` Mi`raj (Bayazid Bistami), Matsnawi (Rumi), Haft Paykar (Nizami), Diwan (Hafiz),  Ruba`iyat (Umar al-Khayyami), Bustan dan Gulistan (Sa`di) dan lain-lain. Karya Eropah yang dipengaruhi Hikayat Isra` Mikraj ialah Divina Comedia (Dante). Adegan penerbangan Faust dan Mephistopeles dalam drama puisi  karangan Goethe, yaitu Faust I dan Faust II    jelas mengingatkan kita pada penerbangan Aladin dan jin Ifrit dalam Alf Layla wa Layla.

Leave a Reply

DisClaimer Notes: Jika di Blog kami ditemukan kesengajaan dan atau tidak sengaja menyakiti siapa pun dan dalam hal apapun termasuk di antaranya menCopas Hak Cipta berupa Gambar, Foto, Artikel, Video, Iklan dan lain-lain, begitu pula sebaliknya. Kami mohon agar melayangkan penyampaian teguran, saran, kritik dan lain-lain. Kirim ke e-mail kami :
♥ amiodo@ymail.com atau ♥ adithabdillah@gmail.com