Di antara Rima, Efoni, dan Kokofoni dalam Puisi
Oleh Usman D.Ganggang *)
Salah
satu unsur penting yang mendukung kehadiran sebuah puisi adalah unsur
musikalitas. Dikatakan penting, karena unsur ini merupakan unsur
intrinsik ( = unsur yang membangun puisi yang datangnya dari dalam karya
) itu sendiri. Bahkan pada unsur inilah terletaknya ciri utama sebuah
puisi. Tanpa unsur ini, demikian Arsyad (1986: 2.21), rasanya tidak
mungkinlah sebuah karya sastra disebut puisi.
Harus diakui, unsur bunyi yang dihadirkan penyair dalam puisinya memang bermaksud
untuk menyarankan makna. Tetapi fungsi utama sebuah bunyi dalam puisi
adalah untuk membangun musikalitas atau kemerduan. Kemerduan puisi
merupakan ciri puisi yang paling dominan. Dari kemerduan ini pula dapat
diketahui bahwa puisi yang disusun seorang penyair, berusaha
menyarankan makna kegembiraan, keceriaan, dan kehalusan yang disebut
bunyi efoni ataukah bunyi yang menyarankan makna berat – berat,
menyeramkan, mengerikan dan atau menakutkan yang sering disebut bunyi
kokofoni.
Dalam unsur musikalitas inilah terdapat masalah
rima (persajakan atau persamaan bunyi) dan masalah bunyi tadi , yakni
bunyi efoni dan kokofoni. Rima atau persamaan bunyi itu terdapat dalam
puisi dan biasanya terdapat secara vertikal ( = kata – kata di antara
baris /larik yang satu dengan baris yang lainnya) juga secara horizontal
(= pada kata – kata dalam sebuah baris/larik sebuah puisi).
Rima
atau persamaan bunyi ini akan lebih tampak pada karya sastra lama
yakni pantun. Ciri utamanya adalah memiliki sampiran ( = alam sebagai
perlambang) kemudian menuju pada isi dari perlambang yang diungkapkan.
Iya, pemantun akan berusaha mengambil alam sebagai simbol untuk membantu
hadirnya sebuah makna (isi). Selain itu, dikenali dengan pola rimanya
(persajakan) , yakni pola : a b a b. Perhatikan contoh berikut ini!
Anak ikan dipanggang saja
Hendak dipindang tiada berkunyit
Anak orang dipandang saja
Hendak dipinang tiada berduit
Pada
larik (=baris) pertama dengan larik ketiga ada persamaan bunyi a (a)
sedangkan pada larik kedua dan keempat ada persamaan bunyi t (b).
Jelasnya, pola persajakan pada pantun adalah : a b a b . Dalam pola
lama, persajakan ini jangan dilanggar karena kalau dilanggar akan
menjadi tidak bernilai.
Selain persajakan atau persamaan
bunyi, demikian Arsyad (1986: 2.24), maka sebuah puisi dikatakan baik,
jika didukung pula oleh unsur bunyi. Unsur ini akan menjadi jauh lebih
penting dari persajakan seperti terurai di atas tadi. Pasalnya, di
samping membangun musikalitas(kemerduan) , unsur bunyi juga menyarankan
makna – makna tertentu pada sebuah puisi. Dalam unsur bunyi terdapat
dua bunyi yaitu efoni dan kokofoni. Bunyi efoni adalah bunyi yang
menyarankan makna : kegembiraan, keceriaan, atau melambangkan kehalusan
atau yang bersifat kecil. Contoh bunyi vokal : a, i, e. Untuk tidak
sekedar omong berikut ini contohnya:
titip rindu
karya Sri Wulan Punyacerita
gerimis masih menari
sedang suara- suara letih jatuh
menyentuh rasa merasuk jiwa
dan dingin menyeruak
hati beriak
kucukupkan gelisahku malam ini
juga rindu, di tepian sudut yakin menepi
maafkan jika aku hanya bisa menyenggol lirih
menitipkan rindu telah membuncah
sebab aku hanya lirih
tercipta dari rintihan nafas
menyeruak dari takdir sepi terkupas
membentuk lokus -lokus diri tanpa batas
terpajang di kosongan waktu
Dan sepi pun lengkap...
Makasar, Jin69a_190809
Mencermati
puisi karya Sri Wulan di atas, kita akan berdecak kagum, betapa “aku –
lirik” berusaha untuk berkomunikasi dengan merdu. Dengan kehalusan rasa
pada dirinya, dia menyampaikan kehalusan rasanya melalui bunyi efoni
(a, i, e) dalam beberapa kata, dan kalau dihitung dengan cermat, betapa
bunyi vocal i, a, dan e yang dominan. Dengan menimbang makna bunyi
efoni ini, kepada kita diberitahu penyairnya dalam puisinya bahwa “aku –
lirik”(aku yang diceritakan) dalam sepinya merindukan “dia – lirik” di
seberang. Siapakah “dia = lirik”? Ya, bisa orangtua, bisa adik – kakak,
bahkan bisa rindu kepada kekasihnya yang tidak berkontak baik lewat
surat maupun melalui HP.
Bandingkan dengan Puisi vanera el arj dalam “Dalam Rindu Pinta Cintaku”
aku menyapamu lembut dengan desah jiwa sukmaku,
menembus haribaan suci dadamu,
kemudian lirih suaramu mengerang dalam telingaku,
aku menggelinjang dalam sabana anugrah terindah
gemetar bibir menyebut Asma
dalam pinta untuk cinta,
memuji setiap inci geletar hati,
menembus kalbu memburu kilatan biru
jika cinta membawa aku ke jurang nista,
duhai Kekasih,
bunuhlah cinta dalam diriku,
hingga tiada satu tempatpun untuknya
jika cinta mengantarku ke haribaanmu,
izinkan aku bahagia dengan cinta ini...
atas kerelaan
"kelam itu masih membalut kelopak hatiku
adakah aku kan dapati senarai lentera di tengah kebutaan ini?"
terasa menindih, aku tertindih...
kini hujan, matahari tak lagi menampakkan diri
hanya bengis sadis lumpur dan cercaan cucuran atap
aku menangis!!!
dalam sepi rindu pinta cintaku
“Aku – lirik”(hamba) dalam “Dalam Rindu Pinta Cintaku”,
berkomunikasi dengan “DIA – lirik (Allah ). Dia takut, ngeri,bahkan
seram dialami dalam pengembaraan imajinasinya. Karena itu, sebelum “aku
– lirik’ berpasrah total setelah tiba dari pengembaraannya dia masih
bertanya dalam hatinya sebagai bahan introspeksi: / "kelam itu masih membalut kelopak hatiku/ adakah aku kan dapati senarai lentera di tengah kebutaan ini?"//. Dan tampaknya,”aku – lirik” menjawab sendiri :/ hanya bengis sadis lumpur dan cercaan cucuran atap/aku menangis!!!/dalam sepi rindu pinta cintaku//.Inilah inti kerinduan “aku – lirik” pada sang Kekasih (Allah).
Vokal
– vokal u yang melekat pada diksi yang tepat di atas, seakan
memberitahu kepada penikmat bahwa “aku – lirik” dalam kondisi takut,
ngeri, seram ketika berkomunikasi dengan Sang Kekasih (Allah). Kondisi
kengerian, keseraman, serta ketakutan yang diimbangi dengan kehadiran
vocal u di dalamnya pertanda bahwa betapa “aku – lirik” kian rindu
untuk mengusir sepi yang menyebabkan dia menangis. Kehadiran bunyi
vocal u (termasuk kalau ada kehadiran vocal o) akan tercipta bunyi
“kokofuni” ( bunyi yang menyarankan makna kengerian, ketakutan,
kegamangan, serta keseraman).Nah sekarang coba dihitung bunyi kokofoni
dalam beberapa larik puisi vanera el arj di atas? Pasti akan tampak
dominan vocal u tinimbang dengan bunyi i, e, dan a ( bunyi efoni)
seperti spada puisi karya Sri Wulan dari Makasar.
Selain bunyi kokofoni dan efoni, juga dihadirkan rima (persajakan) dalam kedua puisi tersebut. Perhatikan pada larik/baris : / jika cinta membawa aku ke jurang nista,/duhai Kekasih,/bunuhlah cinta dalam diriku,/hingga tiada satu tempatpun untuknya//
pada puisi “Dalam Rindu Pinta Cintaku” karya vanera el arj
dan pada “Titip Rindu” karya Sri Wulan dari Makasar terbaca juga:/
dan dingin menyeruak/hati beriak//. Kesemuanya demi kemerduan menuju
makna utuh .***)
*) adalah penyair kelahiran Bambor – Kempo NTT , dan kini berdomisili di Sadia 1 Kota Bima –NTB.