Ayu (nama samaran), seorang ibu rumah tangga dengan setumpuk masalah
ekonomi. Tinggal di sebuah rumah sederhana di Bantul, ia menjalani hidup
penuh ketakutan. Ayu mendapat teror, ancaman, caci maki, dan perkataan
kasar dari para rentenir penagih utang di rumahnya setiap hari. Tak
mampu melunasi, utangnya terus menumpuk hingga Rp18 juta.
Perempuan berusia 45 tahun ini tidak pernah lari dari kejaran para rentenir. Ayu selalu membukakkan pintu dan menghadapi para rentenir saat suaminya berangkat kerja. Dalam kondisi sakit-sakitan, ia sendirian menghadapi para rentenir. “Saya tak pernah lari. Sepahit apapun saya hadapi masalah ini,” tuturnya ditemui Tempo di rumahnya di Bantul, Sabtu sore, 5 Januari 2013.
Tak ada barang mewah di rumah Ayu yang berdinding batu bata dan berlantai ubin. Dapurnya menyatu dengan ruang tamu. Dua sepeda menjadi barang berharga yang tersisa. Semua barang-barang mewah ludes terjual untuk membayar cicilan utang ke rentenir.
Ayu menuturkan terjerat rentenir sejak 4 tahun lalu. Seorang rentenir mendatangi rumahnya. Ia tergiur dengan tawaran rentenir karena saat itu kepepet atau tidak punya uang sama sekali. Uang hasil pinjaman dari rentenir sebesar Rp100 ribu digunakannya untuk menambal modal dari jualan es jus di depan rumahnya. “Tidak ada pemasukan sama sekali dari hasil jualan. Ada tetangga yang kasih tau tawaran pinjaman uang dari rentenir,” kata dia.
Dari pinjaman sebesar Rp 100 ribu, Ayu dipotong Rp 15 ribu untuk biaya administrasi. Ia harus mengangsur sebesar Rp 13 ribu setiap minggu untuk jangka waktu pelunasan selama 10 minggu.
Kebutuhan ekonomi keluarga yang semakin meningkat membuat Ayu harus mengutang kembali ke rentenir lainnya. Ayu harus membiayai sekolah dua anaknya. Suaminya, Marto (nama samaran), hanya bekerja sebagai sales. Transaksi terjadi dengan tujuh hingga 10 rentenir rata-rata per hari. Utangnya kepada 70 rentenir menumpuk hingga Rp 18 juta.
Ayu mengatakan para rentenir memiliki trik khusus untuk menjerat para penghutang atau nasabah. Ketika penghutang tak mampu bayar, seorang rentenir biasanya mengajak rentenir lain untuk meminjami uang. Ayu yang tidak punya uang lantas mengambil solusi itu.
Menurutnya, para rentenir yang menagih cicilan utang memiliki karakter yang berbeda-beda. Mereka berdatangan saat suaminya pergi bekerja. “Saya diperlakukan seperti seorang maling. Mereka ada yang mengancam mau menusuk saya,” kata dia.
Ia setiap malam tak bisa tidur tenang karena memikirkan solusi membayar utang-utangnya. Ia sengaja tidak mengatakan ke suaminya saat terjerat utang karena tidak mau membebani.
Suatu hari, Ayu pernah pingsan di jalanan karena mencoba mencari pinjaman kesana kemari untuk melunasi utangnya ke rentenir. Suaminya, Marto panik dan berusaha mencarinya.
Marto baru mengetahui isterinya terbelit utang setahun terakhir. Setiap di tempat kerja jadi tidak tenang karena memikirkan isteri di rumah yang ditagih rentenir. “Istri saya tak pernah lari saat ditagih. Kami pasti bayar,” katanya sembari meneteskan air mata.
Ayu dan Marto hanya ingin hidup tenang tanpa ancaman. Mereka bertekad melanjutkan hidup dan berusaha membayar utang-utang dengan cara bekerja keras. “Saya ingin kembali menjahit dan berusaha melunasi utang. Semua ujian ini pasti ada hikmahnya,” katanya.
SHINTA MAHARANI
Perempuan berusia 45 tahun ini tidak pernah lari dari kejaran para rentenir. Ayu selalu membukakkan pintu dan menghadapi para rentenir saat suaminya berangkat kerja. Dalam kondisi sakit-sakitan, ia sendirian menghadapi para rentenir. “Saya tak pernah lari. Sepahit apapun saya hadapi masalah ini,” tuturnya ditemui Tempo di rumahnya di Bantul, Sabtu sore, 5 Januari 2013.
Tak ada barang mewah di rumah Ayu yang berdinding batu bata dan berlantai ubin. Dapurnya menyatu dengan ruang tamu. Dua sepeda menjadi barang berharga yang tersisa. Semua barang-barang mewah ludes terjual untuk membayar cicilan utang ke rentenir.
Ayu menuturkan terjerat rentenir sejak 4 tahun lalu. Seorang rentenir mendatangi rumahnya. Ia tergiur dengan tawaran rentenir karena saat itu kepepet atau tidak punya uang sama sekali. Uang hasil pinjaman dari rentenir sebesar Rp100 ribu digunakannya untuk menambal modal dari jualan es jus di depan rumahnya. “Tidak ada pemasukan sama sekali dari hasil jualan. Ada tetangga yang kasih tau tawaran pinjaman uang dari rentenir,” kata dia.
Dari pinjaman sebesar Rp 100 ribu, Ayu dipotong Rp 15 ribu untuk biaya administrasi. Ia harus mengangsur sebesar Rp 13 ribu setiap minggu untuk jangka waktu pelunasan selama 10 minggu.
Kebutuhan ekonomi keluarga yang semakin meningkat membuat Ayu harus mengutang kembali ke rentenir lainnya. Ayu harus membiayai sekolah dua anaknya. Suaminya, Marto (nama samaran), hanya bekerja sebagai sales. Transaksi terjadi dengan tujuh hingga 10 rentenir rata-rata per hari. Utangnya kepada 70 rentenir menumpuk hingga Rp 18 juta.
Ayu mengatakan para rentenir memiliki trik khusus untuk menjerat para penghutang atau nasabah. Ketika penghutang tak mampu bayar, seorang rentenir biasanya mengajak rentenir lain untuk meminjami uang. Ayu yang tidak punya uang lantas mengambil solusi itu.
Menurutnya, para rentenir yang menagih cicilan utang memiliki karakter yang berbeda-beda. Mereka berdatangan saat suaminya pergi bekerja. “Saya diperlakukan seperti seorang maling. Mereka ada yang mengancam mau menusuk saya,” kata dia.
Ia setiap malam tak bisa tidur tenang karena memikirkan solusi membayar utang-utangnya. Ia sengaja tidak mengatakan ke suaminya saat terjerat utang karena tidak mau membebani.
Suatu hari, Ayu pernah pingsan di jalanan karena mencoba mencari pinjaman kesana kemari untuk melunasi utangnya ke rentenir. Suaminya, Marto panik dan berusaha mencarinya.
Marto baru mengetahui isterinya terbelit utang setahun terakhir. Setiap di tempat kerja jadi tidak tenang karena memikirkan isteri di rumah yang ditagih rentenir. “Istri saya tak pernah lari saat ditagih. Kami pasti bayar,” katanya sembari meneteskan air mata.
Ayu dan Marto hanya ingin hidup tenang tanpa ancaman. Mereka bertekad melanjutkan hidup dan berusaha membayar utang-utang dengan cara bekerja keras. “Saya ingin kembali menjahit dan berusaha melunasi utang. Semua ujian ini pasti ada hikmahnya,” katanya.
SHINTA MAHARANI