Start By Reading

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ "Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang". الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ "Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam". الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ "Maha Pemurah lagi Maha Penyayang". مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ "Yang menguasai di Hari Pembalasan". إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ "Hanya Engkaulah yang kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan". اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ "Tunjukilah kami jalan yang lurus", صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ "(yaitu) Jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat".
Monday, January 14, 2013

Perda Syariah: Tradisi atau Syariat?

0 comments
 
Bandung - Perda Syariah yang dikeluarkan oleh Pemkot Loksheumawe, Aceh, mengenai larangan perempuan duduk mengangkang saat berkendaraan menuai kontroversi masyarakat luas.

Kebijakan ini didukung oleh Majelis Pemusyawaratan Ulama (MPU) kota Lhoksseumawe. Akan tetapi, di lain pihak kebijakan ini mengalami penolakan.



Pasalnya, kebijakan ini dinilai mendiskriminasi perempuan dan dapat membahayakan perempuan ketika duduk harus dalam keadaan menyamping saat berkendaraan.

Menurut Pemkot perda ini dinilai memiliki kaitannya dengan syariat Islam, sehingga harus dijalankan. Di samping itu tujuan adanya perda ini semata-mata untuk menjaga kehormatan perempuan dan mengembalikan kembali kelembutan perempuan.

Banyak tokoh agama yang menganggap perda ini hanyalah sebatas perda yang berlandaskan budaya lokal saja, tidak ada kaitannya dengan syariat Islam.

Pasalnya dalam literatur fiqh Islam tidak ditemukan larangan mengenai posisi duduk seorang perempuan saat berkendaraan.

Dalam pandangan Islam, tidak ada masalah ketika seorang perempuan duduk mengangkang atau menyamping. Itu hukumnya mubah-mubah saja selama masih berada dalam koridor syara.

Namun, yang kemudian menjadi masalah dalam pandangan Islam, yakni ketika perempuan tersebut tidak menutup aurat secara sempurna dan berboncengan dengan yang bukan mahrom. Seharusnya, Pemkot harus lebih jeli melihat kondisi ini.

Mana yang terkait permasalahan hukum syara dan mana permasalahan yang terkait tradisi semata, sehingga menetapkan aturan pun dapat diterima masyarakat secara logis, meskipun tidak menutup kemungkinan akan selalu menimbulkan pro-kontra.

Ironis, ketika memang pada akhirnya perda itu diberlakukan, tetapi perempuannya masih mengumbar aurat atau berboncengan dengan non mahrom.

Hal ini justru yang kemudian perlu ditekankan oleh Pemkot Lhokseumawe, karena permasalahan ini yang terkait dengan hukum syara (perintah Allah Swt).

Seharusnya pemerintah lebih memerhatikan semua urusan rakyatnya untuk senantiasa terikat dengan syariat Islam semata, tidak hanya terbatas kepada permasalahan yang sifatnya parsial. Mengingat Islam adalah sebuah sistem yang holistik dan syariah itu menyangkut semua tatanan kehidupan.

Hal ini tidak akan mungkin dapat direalisasikan tanpa adanya sebuah negara yang dapat mengimplementasikannya dan satu-satunya negara yang dapat melaksanakan syariat Islam secara keseluruhan adalah negara Khilafah Islamiyyah yang akan menjaga akidah umat Islam.

*Penulis adalah Mahasiswi Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Pendidikan Indonesia dan Aktivis Famous (Forum Aktivis Mahasiswi Regional Kampus) Bandung


Rismayanti Nurjannah
Jl. Geger Kalong, Bandung
rismayantinurjannah@yahoo.co.id
08562341590

(wwn/wwn)

Leave a Reply

DisClaimer Notes: Jika di Blog kami ditemukan kesengajaan dan atau tidak sengaja menyakiti siapa pun dan dalam hal apapun termasuk di antaranya menCopas Hak Cipta berupa Gambar, Foto, Artikel, Video, Iklan dan lain-lain, begitu pula sebaliknya. Kami mohon agar melayangkan penyampaian teguran, saran, kritik dan lain-lain. Kirim ke e-mail kami :
♥ amiodo@ymail.com atau ♥ adithabdillah@gmail.com