Start By Reading

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ "Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang". الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ "Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam". الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ "Maha Pemurah lagi Maha Penyayang". مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ "Yang menguasai di Hari Pembalasan". إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ "Hanya Engkaulah yang kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan". اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ "Tunjukilah kami jalan yang lurus", صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ "(yaitu) Jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat".
Tuesday, January 15, 2013

TEROR DAN KEKUASAAN

0 comments


Oleh : Paox Iben Mudhaffar

Setiap orang tentu mendambakan kedamaian dalam hidupnya. Mungkin justru karena itu bisnis perang, teror dan kemanan dewasa ini sangat berkembang...


Beberapa waktu ini terjadi peristiwa yang cukup mengenaskan di Lombok-Nusa tenggara barat. Beberapa orang yang diduga penculik anak dihakimi masa. Lebih tragis lagi korban yang diduga penculik tersebut sudah diamankan di Polsek Kediri Lombok Barat. Masa yang marah menyerbu Polsek tersebut dan menghakimi para tersangka hingga hingga tewas. Belum jelas sebenarnya, apakah korban memang penculikan atau bukan. Bahkan identitas para korbanpun hingga saat ini belum dirilis alias belum diketahui.

Peristiwa tersebut, dan beberapa peristiwa lainnya, merupakan reaksi atas maraknya isu penculikan anak. Dengan cepat issue bernada terror beredar dari mulut kemulut, melalui sms yang mengatasnamakan Kapolres dan memenuhi halaman jejaring maya. Masyarakatpun bereaksi. Beberapa orang yang dicurigai sebagai penculik di tangkap dan sebagian dihakimi massa. Media ramai memberitakan isu tersebut.  Para orang tua ketakutan dan tidak mengizinkan anaknya ke sekolah. Keadaan menjadi sangat mencekam. Berbagai spekulasi muncul. Orangpun bertanya-tanya, ada apa sebenarnya?

Pihak kepolisian dan pemerintah daerah kalang kabut. Banyak orang menyalahkan aparat karena dianggap tidak mampu mengatasi keadaan, dari fungsi intelijen yang tidak jalan hingga lambannya reaksi untuk menetralisir keadaan. Korban tewas mencapai 5 orang diberbagai tempat. Kapolda, Kapolres dan Gubernurpun akhirnya membuat pernyataan menolak adanya isu penculikan dan mengharap masyarakat tidak mudah terpancing “isu tidak bertanggungjawab” tersebut. Tetapi masyarakat menyuguhkan bukti lain bahwa upaya penculikan itu memang terjadi. Seorang ibu dikabarkan sempat berkelahi dengan para penculik untuk mempertahankan dua anaknya. Masyarakat semakin bingung meskipun banyak juga yang mulai mengkritisi keadaan.

Kenapa pula ini terjadi Di Lombok? Apakah ini terkait dengan situasi politik (lokal) menjelang Pemilukada, isu atau tuntutan Pembentukan PPS (propinsi Pulau Sumbawa) dan ekspansi modal (rencana NNT untuk membuka blok baru di Elang-Dodo?)? Atau ini persaingan bisnis, katakanlah pariwisata, karena beberapa waktu terakhir NTB, khususnya Lombok sangat riuh menampilkan diri sebagai ikon pariwisata mengungguli daerah lain di Indonesia? Atau ada hal lain lagi?

Siapapun bisa menyimpulkan bahwa apa yang terjadi di lombok ini merupakan serangkaian aksi teror, meskipun tidak jelas benar apa tujuaannya. Beberapa orang yang cukup kritis  menyimpulkan bahwa teror tersebut memang ‘sengaja’ dan terencana, karena dilakukan dengan cukup sistematis seperti penyebaran sms, ada tindakan nyata penculikan yang sebenarnya tidak bertujuan untuk benar-benar menculik, serta penggalangan massa untuk memperkeruh suasana.

Peristiwa penghakiman terduga penculik juga terjadi secara sporadis diberbagai tempat dalam waktu yang hampir bersamaan, yakni di Lombok Barat, Lombok Tengah dan Lombok Timur. Ditengarai ada juga provokator yang bermain dalam setiap kejadian. Di Kute Lombok Tengah misalnya, korban adalah penjual parfum dan tukang pijat. Salah seorang warga yang pernah menggunakan jasa korban sempat memberi kesaksian dan mencoba menenangkan massa. Tetapi seorang yang diduga provokator terus berusaha menyulut emosi massa yang sudah mulai reda. Situasi tiba-tiba menjadi tidak terkontrol ketika gelombang massa berdatangan dari berbagai penjuru. Kedatangan warga dari kampung-kampung yang secara jarak relatif berjauhan itu ditengarai karena ada penggalangan massa yang dilakukan melalui SMS dan desas-desus. Masa yang datang belakangan itulah yang merangsek serta hampir melukai anggota polisi yang berusaha melindungi korban.


MEMAHAMI “POLITIK TEROR”

Meskipun bisa saja, sebuah aksi kekerasan atau teror juga merambah dunia bisnis, namun dalam konteks isu penculikan di Lombok, spekulasi itu akan langsung saya abaikan. Bukan karena bisnis memiliki cara-cara yang lebih 'cerdas' yang juga bisa dibaca sebagai teror atau kekerasan teks  seperti melalui iklan dan pemaksaan lainnya, adanya mafia bisnis, melalui praktek monopoli, oligopoli dsb, namun serangkaian isu penculikan di Lombok sangat sulit dihubungkan dengan dunia bisnis. Pun dengan persaingan bisnis dalam konteks lokal seperti pariwisata dan sebagainya. Saya bahkan meragukan bahwa peristiwa ini adalah konspirasi lokal atau memiliki target dekat seperti pemilu kada. Isu ini hanyalah sejenis parasit yang mampu menunggangi situasi lokal; masyarakat yang mudah terprovokasi dan bola politik yang sedang memanas.

Sejak dahulu kala, Kekerasan, Teror, sangat lekat dengan persoalan politik. Sejarah telah menyuguhkan banyak kekuasaan yang ditegakkan melalui kekerasan dan teror ini. Biasanya hal tersebut dilakukan oleh para Tiran yang sangat berkuasa. Seiring dengan berjalannya waktu, terutama sejak munculnya modernisme dan tuntutan demokratisasi di mana-mana, kekuasaan para tiran ini satu persatu berguguran. Apakah dengan demikian kekerasan dan teror bisa hilang atau setidaknya berkurang? Sejarah justru menyatakan sebaliknya. kita ingat serentetan kekerasan dan teror sejak Orde baru berkuasa seperti pembantaian PKI 65, Malari, Priok, Petrus, way Kambas dsb. Ketika Orba menjelang runtuh dan akhirnya tumbang juga muncul beberapa aksi teror seperi kaus Ninja diBanyuwangi, kerusuhan etnis diberbagai tempat, mei 98, Berbagai kasus SARA dan terorisme yang berlanjut ketika orde reformasi berkuasa. Di era otonomi daerah, kekerasan juga terus meningkat seiring dengan dinamika politik lokal, dari kasus konflik pemilukada, konflik antar kampung, sengketa lahan dsb. Sudah tak terbilang lagi berapa sudah korban yang ditimbulkan.

Politik sering dipahami sebagai sebuah upaya ‘negosiasi’ yang tujuan akhirnya adalah merebut kekuasaan. Hal itu tentu bisa bermakna positif maupun negatif. Para penganut anarkhisme seperti Machiavellisme misalnya, berpendapat bahwa Kekerasan itu bisa dibenarkan untuk menciptakan ketundukan yang diperlukan.  Bahwa otoritas itu hanya mungkin diciptakan melalui paksaan, dan itu hanya bisa diperoleh melalui kekerasan. Maka tafsir atas kekerasan ini pun berkembang. Dari kekerasan fisik hingga kekerasan simbolik (tekstualis). Bahkan Gramci mengingatkan bahwa kekuasaan sering dilakukan dilakukan melalui hegemoni.  Menurut Antonio Gramci, agar yang dikuasai mematuhi penguasa, yang dikuasai tidak hanya harus merasa mempunyai dan menginternalisasi nilai-nilai serta norma penguasa, lebih dari itu mereka juga harus memberi persetujuan atas subordinasi mereka.  Inilah yang dimaksud Gramci dengan “hegemoni” atau menguasai dengan “kepemimpinan moral dan intelektual” secara konsensual.

Dalam kontek ini, Gramci secara berlawanan mendudukan hegemoni, sebagai satu bentuk supermasi satu kelompok atau beberapa kelompok atas yang lainnya, dengan bentuk supermasi lain  yang ia namakan “dominasi” yaitu kekuasaan yang ditopang oleh kekuatan fisik. Dominasi, berarti menguasai kesadaran, dimana orang atau masyarakat yang dikuasai tidak sadar bahwa ia sedang di’perdayai’. Bahkan mereka bisa dengan suka rela dan menganggap si dominator sebagai ‘dewa penolong’.

Bagaimana hegemoni itu bisa diraih? Dalam konteks komunal atau yang lebih luas diperlukan sebuah pemahaman ideologis agar kekuasaan tersebut bisa hadir kedalam ‘diri’ masing-masing orang. Dalam  psikoanalisa, proses ini seperti sebuah terapi yang berusaha mempengaruhi atau meng-infiltrasibawah sadar seseorang. Dalam konteks tertentu effek kejut atau yang disebut sebagai shock-therapy sangat diperlukan. Terutama untuk pengalihan atau melakukan hipnotisasi terhadap ‘pasien’. Dalam konteks kedokteran efek kejut ini biasanya dilakukan untuk brainwashing atau cuci otak . Tujuannya adalah untuk mengeleminasi ingatan dominan dan menggantikan dengan ‘pemahaman’ baru. Karena itu alat-alat yang lekat dengan kekerasan seperti penggunaan  strum, jarum suntik dsb sering digunakan. Dalam konteks kekuasaan politik ‘tekhnik’ penyikasaan ini juga seringkali digunakan, terutama di dalam tahanan-tahanan militer. Tujuan dari penyiksaan itu sendiri sebenarnya juga lebih dilandasi oleh aspek teror (dengan menciptakan bayangan kesakitan) daripada menyakiti atau membunuh.

Di era modern atau multi media seperti sekarang, penggunaan teror sebagai “bahasa politik” nampaknya sangat lazim digunakan.  Teror sedikit berbeda dengan kekerasan langsung. Teror justru muncul ketika politik kekerasan itu dianggap kurang effektif lagi untuk mendapatkan atau mempertahankan kekuasaan. Tujuan teror adalah agar semua orang merasakan kekerasan. Namun, tujuan utama teror adalah sampainya pesan politik dari kekerasan itu. Dalam perspektif ini, kekerasan bisa diartikan sebagai media komunikasi simbolik. Teror memang jauh lebih efektif dan ‘murah’, terutama oleh beberapa aspek pelipat-gandaan efek yang ditunjang dengan penyebarannya yang cukup cepat dan sangat kuat mempengaruhi pemikiran pemirsanya dibanding korban-korbannya secara langsung.

Dalam konteks teror dan kekerasan di Lombok misalnya, bahkan penculikan itu hanya merupakan sebuah issue. Kemudian muncul korban lain yakni orang yang diduga sebagai pelaku. Dan efeknya sungguh jenius dimana teror dan ketakutan itu menghantui lebih banyak lagi orang baik di lombok maupun di daerah lainnya. Semua tentu disebarkan melalui media, baik media massa, jejaring sosial maupun media mulut ke mulut. Pemberitaan-pemberitaan tersebut dengan segera akan membentuk sebuah opini baru tentang situasi negara yang seakan chaos, alat keamanan yang mandul, serta meningkatnya kebutuhan akan rasa aman. Maka dalam hukum permintaan pasar, hal tersebut sudah bisa dihitung dan dijelaskan secara gamblang. Dalam masyarakat modern, peran media massa, seperti dijelaskan oleh Noam Chomsky seringkali memiliki fungsi sebagai propaganda and control public mind. Itu artinya, siapa menguasai media--apapun jenisnya-- akan mampu mengendalikan pikiran publik dan mengarahkannya sesuka hati. Meminjam teori Pierre Bourdieu tentang Language and Symbolic Power, para "Dalang" berbagai peristiwa ini seakan ingin mengukuhkan kekuasaannya dengan sebuah pesan bahwa mereka mampu menciptakan situasi dan pengendalian seperti yang mereka kehendaki, sementara identitas mereka tetap tidak diketahui oleh publik sebagai representasi dari "kekuasaan yang tidak mudah tersentuh".


SIAPA DALANG TEROR ITU?

Penggunaan istilah dalang tentu saja mengacu pada teori wayang, dimana dalang tidak hanya memainkan wayang tetapi juga bersembunyi dibalik kelir. Namun penonton yang jeli tentu sangat tahu siapa dalang tersebut  bahkan dari karakter suara, cara menggerakkan wayang hingga lakon yang dipilihnya.

Untuk mengetahui siapa dalang dibalik aksi teror, tentu kita harus melihat dulu siapa korbannya, baik langsung maupun korban tak langsung--pola 'permainannya' serta para aktor (jika dimungkinkan), serta yang terpenting adalah mengungkap motif dan episteme (nalar) dari peristiwa. Tidak mudah memang. Sebab dalam konteks seperti ini justru yang dikehendaki oleh sang dalang seringkali  adalah effek domino dari keberadaan teror itu sendiri.  Dalam hal ini, korban langsung sudah cukup  jelas yakni anak-anak, para orang tua, terduga penculik dan masyarakat yang menjadi pelaku penghakiman sepihak. Lhoh kok masyarakat yang menjadi pelaku juga dianggap korban langsung? karena bisa saja ia berurusan dengan hukum dan menjadi tersangka baru dalam kasus kekerasan. bukan mustahil juga akan terjadi balas dendam dari keluarga, kerabat atau teman-teman korban penghakiman.

Sedangkan korban tak langsung adalah mereka yang mendapatkan dampak paling dirugikan atas peristiwa tersebut. Siapa mereka? Tentu saja daerah Lombok, propinsi NTB, berikut aparatur pemerintahan dan kepolisian. Untuk hal yang terakhir, tentu membutuhkan analisa tersendiri. Propinsi NTB atau Lombok tentu sangat merasakan dampaknya. Seorang kawan saya DR. Muazar Habibie —yang juga kepala sekolah anak saya—menulis... Kalau seperti ini, tidak ada lagi seorang ayah yang akan berani mengantarkan anaknya berangkat sekolah, apalagi bila anaknya sekolah sambil menangis karena kurang sanggu sekolahnya! Lalu dijalan dicegat, belum diintrograsi sudah dikatakan sebagai penculik! Lalu dikroyok tame-rame hingga tewas! Apalah besok masih ada para tukang ojek yang berani antarkan anak sekolah! Apakah besok masih ada angkutan yang berani antar anak sekolah, bahkan mungkin tukang cidomo yang mengangkut anak-anak bisa dijadikan sasaran masa! Sungguh bangsaku sakit jiwa!

Dampak dari peristiwa ini Nama NTB seperti tercoreng. Citra pemerintahan dan pariwisata juga ikut tercemar. Intinya, semua orang dan lembaga di NTB dirugikan. Demikian juga dengan aparat kepolisian yang bertanggungjawab terhadap keamanan dan ketertiban.  Jika mengacu kepada fakta-fakta tersebut, kita akan menggiring kepada efek yang yang lebih besar. Oleh karena itu, mustahil kejadian ini di rancang oleh orang atau kelompok dengan lingkup NTB. Akal kita pun menggiring ke problem yang lebih luas lagi yakni skala nasional.

Ada kejadian apa di panggung politik nasional belakangan atau hari-hari ini?

Dengan cepat pula mata kita akan tertuju ke berbagai media, terutama yang berkaitan dengan keamanan nasional. Fokusnya tentu terkait dengan situasi keamanan dan aparat keamanan itu sendiri. Dalam hal ini tentu kepolisian RI, TNI, BIN dan semua lembaga yang bertanggungjawab atas keamanan negara. Peristiwa yang terjadi di Lombok ternyata juga tidak berdiri sendiri. Bersamaan dengan munculnya berbagai peristiwa kerusuhan antar kampung yang terjadi di Bima dan Isu Penculikan di Lombok, juga terjadi berbagai aksi kekerasan dan teror di tempat lain.

Pada Senin kemarin (22/10/2012), terjadi dua kali ledakan di Kota Poso, Sulawesi Tengah, sekitar pukul 06.15, tepatnya di pos lalu lintas Poso. Akibatnya, dua orang terluka, yakni Bripda Rusliadi yang terkena serpihan bom pada pantat dan tangan serta seorang satpam BRI yang mengalami luka di tangan kiri. Ledakan ini juga mengakibatkan pos lalu lintas rusak di bagian belakang. Peristiwa ini terjadi setelah pekan lalu dua anggota kepolisian, yakni Brigadir Sudirman dan Briptu Andi Sapa ditemukan tewas di Taman Jeka, tidak jauh dari kawasan pelatihan militer kelompok teroris. Keduanya ditemukan tewas dengan leher tergorok senjata tajam dan terkubur dalam satu lubang. Bahkan baru saja saya--ketika sedang menulis catatan ini-- mendapat kabar jika di Palu, ibukota Sulawesi Tengah beredar issu tentang BOM.

Dengan maraknya berbagai isu tersebut sorotan masyarakat tentu tertuju kepada aparat keamanan. Seperti diberitakan Kompas Online pagi ini (23/10/2012), Anggota Komisi III DPR dari Fraksi PDI Perjuangan Trimedya Pandjaitan, mengemukakan :"Tidak menutup kemungkinan ini adalah sebuah grand design kalau Polri tidak mampu menangani, bisa jadi urusan keamanan kembali ke tentara. Ini yang selalu kami ingatkan ke pimpinan Polri," ujar Trimedya. Dugaan adanya upaya melemahkan Polri, lanjut Trimedya, terlihat dari kasus-kasus yang menjatuhkan citra kepolisian seperti kasus simulator, kasus Mesuji, kekerasan di Nusa Tenggara Barat, dan terbunuhnya dua anggota kepolisian yang hilang di Poso.

Di sisi lain beberapa elemen masyarakat, terutama di Jakarta, sedang berusaha menolak RUU KAMNAS yang diajukan oleh pemerintah karena dianggap bisa merusak demokrasi dan berpotensi mengembalikan dominasi militer dalam kehidupan sipil. LSM Imparsial misalnya, menginventarisir sejumlah pasal yang dinilai bermasalah dalam RUU Kamnas. Pengurus Imparsial, Batara Ibnu Reza, menjelaskan ada hal penting yang harus diwaspadai.Pertama, ancaman multitafsir, represif dan bersifat subversif sesuai pasal 16 junto pasal 17 beserta penjelasannya. Kemudian soal penangkapan di pasal 15 huruf e junto pasal 20 dan. Penyadapan (pasal 51 huruf e junto pasal 20 yang dinilai mengadopsi UU Intelijen Negara dan Bab III. Ada pula status tertib sipil di pasal 10 (a) junto pasal 44 dan pembentukan komponen cadangan pertahanan negara (militerisasi sipil) dengan Keputusan Presiden di pasal 33 (3) junto pasal 32 (6) junto pasal 33 (1- 4). Kemudian, soal dewan keamanan nasional pasal 24 poin b, forum koordinasi keamanan nasional daerah.

Pansus RUU Kamnas sebenarnya telah mengembalikan draf RUU Kamnas ke pemerintah untuk memperbaiki sejumlah substansi yang dikritik. Semua fraksi di Pansus menilai bahwa draf usulan pemerintah itu bisa mengganggu prinsip demokrasi, HAM, supremasi sipil, dan penegakan hukum. Selain itu, substansi RUU Kamnas juga bertentangan dengan banyak UU lain.Namun, pemerintah malah mengembalikan draf itu kepada DPR tanpa ada perubahan. Pemerintah ingin diberi kesempatan terlebih dulu menyampaikan pandangan mengenai RUU Kamnas.

Apakah dengan demikian kita bisa menuduh tentara, lebih spesifik lagi TNI yang menjadi dalang dibalik semua ini? Tentu saja tidak sesederhana itu. Sebab dalam teori konspirasi, dalang, aktor dan korban seringkali bercampur aduk. Begitu juga jika membicarakan tentang kepentingan, tidak ada satu kepentingan yang bisa terlihat berdiri sendiri. RUU KAMNAS yang sedang memanas itu misalnya, juga terkait dengan beberapa faktor. Selain kekuasaan politik, juga terdapat keterlibatan modal atau kapital di dalamnya. Sudah bukan menjadi rahasia umum bahwa untuk mengegolkan sebuah Undang-undang membutuhkan biaya yang cukup tinggi. Itu berarti para politisi, berikut para makelar politik  juga sangat diuntungkan. Anggota DPR Eva Kusuma Sundari bahkan menyatakan ada 76 Undang-undang yang draffnya dilakukan dan didanai asing. Sumber lain lagi menyebut bahwa 80% UU kitaadalah produk asing. Apakah UU KAMNAS yang sedang memanas itu juga bagian dari produk asing ini?

Aparat keamanan (baca; polisi & TNI), bahkan pemerintah, juga sering memanfaatkan isu, kejadian, peristiwa dan kasus demikian untuk mendongkrak anggaran, penerimaan bantuan asing, atau menutup kasus satu dengan lainnya (blamming the Victim) dsb. Disisi lain juga muncul diskursus tentang penguasaan Sumberdaya Alam dan eksploitasi manusia melalui ekspansi modal atau kapital dengan memanfaatkan celah melemahnya civil society yang diikuti dengan bayangan 'empuk' bisnis pengamanan, baik legal maupun illegal. Maka kekerasan, teror, terus dibiakkan di negeri ini. Dan tak bisa dipungkiri, media juga seringkali diuntungkan dengan isu-isu seperti ini.

Ujung-ujungnya, masyarakat juga yang merasakan akibat buruknya....



Tulisan ini Didedikasikan untuk para korban dan keluarganya,,, semoga tidak menjadi martir yang sia-sia!

Leave a Reply

DisClaimer Notes: Jika di Blog kami ditemukan kesengajaan dan atau tidak sengaja menyakiti siapa pun dan dalam hal apapun termasuk di antaranya menCopas Hak Cipta berupa Gambar, Foto, Artikel, Video, Iklan dan lain-lain, begitu pula sebaliknya. Kami mohon agar melayangkan penyampaian teguran, saran, kritik dan lain-lain. Kirim ke e-mail kami :
♥ amiodo@ymail.com atau ♥ adithabdillah@gmail.com